blokbojonegoro.com

Kasus calon tunggal melawan bumbung kosong cukup sering tarjadi dalam pemilihan-pemilihan di tingkat desa atau kelurahan. Hal ini umumnya terjadi karena seorang calon bagitu kuat atau berkuasanya di suatu daerah sehingga tidak ada calon lain yang berani maju. Sebagian besar pemilihan kepala desa atau lurah yang melibatkan seorang calon tunggal vs bumbung kosong dimenangkan oleh si calon tunggal.

Mungkinkan pemilihan pilpres calon tunggal vs bumbung kosong dalam pilpres? Kasus seperti ini sebenarnya terjadi di era orde baru. Dalam masa kekuasaanya selama lebih dari 30 tahun, Soeharto selalu menjadi calon tunggal yang diusung oleh 3 parpol saat itu, PPP, Golkar, PDI dalam setiap pilpres, yang saat itu berlangsung secara tidak langsung.

Di era reformasi, pilres dengan calon tunggal boleh dikatakan tidak ada lagi. Termasuk pada Pilpres 1999 ketika pemilihan presiden masih dilakukan oleh MPR. Saat itu ada 3 calon yang maju menjadi Capres yakni Megawati yang diusung PDIP, Gus Dur yang diusung Poros Tengah  dan Yusril Ihza Mahendra yang diusung PBB. Yusril pada akhirnya mundur dari pencapresan dan melimpahkan suaranya ke Gus Dur sehingga Gus Dur menjadi presiden dalam pemilu demokratis pertama di Indonesia, meski dilakukan secara tidak langsung.

Amien Rais yang disukai sebagian orang dan dibenci sebagian (besar) lainnya karena menjadi salah satu motor utama gerakan reformasi, mencoba mengulang sukses Poros Tengah dengan menggagas koalisi Indonesia Raya dengan mengumpulkan lima parpol berbasis massa Islam yakni PAN, PKS, PKB, PPP dan PBB. Meski terkesan kuat karena mampu mengumpulkan lebih dari 25% suara, tapi koalisi ini nampaknya tidak lebih dari bumbung kosong karena capres-cawapres yang diusung tidak jelas. Apalagi PKB yang sudah menjadi partai terbuka akan lebih condong bergabung dalam koalisi nasionalis daripada koalisi Islam. Tapi jika keempat partai lainnya masih ngotot, koalisi bumbung kosong ini bisa saja terbentuk dan memajukan capres-cawapres mereka di pemilu Juli nanti.

Koalisi Golkar kemungkinan akan menjadi koalisi bumbung kosong kedua. Ical nampaknya akan terus nyapres meski elektabilitas masih di bawah Partai Golkar sendiri. Pilpres kali ini memang pertaruhan terakhir bagi Ical. Jangan memakai logika untuk mencari alasan pencapresan Ical. Bayangkan saja babak awal cerita Mahabarata ketika Yudhistira mempertaruhkan tidak saja Kerajaan Hastinapura melainkan juga Drupadi, istrinya serta adik-adiknya menjadi budak dalam perjudian dengan Kurawa yang tidak mungkin dimenangkannya; atau seorang penjudi kambuhan yang sudah mempertaruhkan rumah, istri dan seluruh harta tersisa di meja judi-- sehingga jika dia kalah yang tersisa tinggal tubuh berbalut celana kolor.

Seperti itulah tingkat pengorbanan yang mungkin akan dilakukan Ical sehingga siapapun di Partai Golkar nampaknya tidak akan mampu menggagalkan pencapresan Ical. Kalaupun Golkar mampu menggadeng Hanura dan 1-2 partai lain untuk menjadi mitra koalisi dan memunculkan cawapres yang mumpuni, dengan brand Ical yang nilainya sangat rendah, koalisi pimpinan Partai Golkar ini tetap bumbung kosong bagi koalisi PDIP yang mengusung Jokowi.

Rumor terbaru di media-media yang mengatakan SBY ingin membangun koalisi sendiri dengan Partai Demokrat disandingkan dengan PAN, PPP dan PKB. Ini mungkin menjadi berita besar bagi sebagian orang, bagi saya koalisi pimpinan Demokrat ini tidak lebih dari sebuah bumbung kosong lainnya yang tidak seimbang jika calonnya diadu dengan Jokowi.

Jika skenario ketiga koalisi di luar PDIP-Nasdem ini terbentuk, berarti Gerindra kehilangan mitra koalisi dan Prabowo gagal nyapres. Yang terjadi selanjutnya adalah pertarungan Jokowi vs bumbung kosong dua putaran.

Kalau pilpres Amerika Serikat 2016 menjadi pembanding, Jokowi itu ibarat Hillary Clinton dan Prabowo itu seperti Gubernur New Jersey Chris Christie sebelum terjadinya skandal penutupan Jembatan George Washington pada akhir 2013. Pada saat itu, poling-poling menunjukkan Christie bersaing ketat dengan Hillary, dengan perbandingan 45% vs 48% atau hampir imbang. Sementara elektabilitas capres-capres lain dari Partai Republik terpaut dua dijit dengan Hillary. Artinya bagi Hillary yang elektabilitasnya di kalangan pemilih Demokrat di atas 60% capres-capres  seperti Jeb Bush, Rand Paul, Paul Ryan, Marco Rubio atau Mike Huckabee yang elektabilitas di kalangan Partai Republik sendiri di bawah 20% tidak lebih dari bumbung kosong di pilpres 2016 nanti.

Jadi seperti seharusnya pertarungan pilpres pada Juli nanti? Pilpres 2014 idealnya hanya milik Jokowi dan Prabowo, siapapun wapres untuk masing-masing, karena tidak akan begitu mempengarusi peta persaingan. Dan pemilu akan berlangsung satu putaran

Tapi kalau Ical ngotot—dan nampaknya ini yang akan terjadi—maka pemilu diperkirakan akan berlangsung dua putaran, dengan koalisi Golkar hanya menjadi bumbung kosong atau pelengkap penderita.

Seperti apa peta koalisinya? PDIP dan Nasdem mungkin akan ditempel oleh PKB dan PAN mengusung Jokowi-Hatta Radjasa; Golkar bisa jadi akan digandeng Hanura dan Demokrat mengusung Ical dan wapres pilihan Demokrat; Gerindra mungkin akan berkoalisi dengan PPP, PKS dan PBB dengan mengusung Prabowo dan capres sipil yang disepakati ketiga partai.

Hatta merapat ke Jokowi sebagai bagian dari ‘politik dua kaki’ SBY yang khawatir dengan berbagai kemungkinan buruk setelah dia lengser—Century, Hambalang dll. Sebagai besan, Hatta bisa membantu SBY mengamankan keluarganya dari beragam tuntutan hukum pasca lengser dari kekuasaan.

Marasa lebih senior di TNI dan saat ini masih berkuasa, SBY gengsi merapat ke Prabowo. Dia akan merasa lebih aman berada bersama-sama Golkar, partai yang cukup setia dalam kabinet Indonesia bersatu. Meski peluang Ical untuk menjadi presiden kecil, SBY punya ekspektasi tawar-menawar dalam pilpres putaran kedua atau membangun ulang kekuatan partai dengan menjadi oposisi.

PPP, PKS dan PBB akan lebih safe berada di kubu Prabowo mengingat masa lalu Prabowo yang terkenal dekat dengan kelompok-kelompok Islam sehingga disebut sebagai salah satu pentolan ‘ABRI Hijau’. Keinginan sebagian kelompok PPP untuk merapat ke kubu Jokowi tidak cukup realistis pada saat ini. Pertama, meninggalnya Taufik Kiemas membuat PDIP kurang friendly terhadap mitra-mitra koalisi berbasis masa Islam. Bagaimana dengan islah kubu SDA dengan Romi yang secara otomatis menganulir koalisi PPP-Gerindra? Ini hanya persoalan re-bargaining yang dilakukan Prabowo dengan kedua pihak yang bertikai

Alasan kedua partai-partai Islam tidak mungkin bergabung dengan kubu PDIP-Nasdem adalah karena Jokowi sejak awal sudah mengatakan bahwa koalisi dengan PDIP tidak akan diikuti dengan bagi-bagi kursi menteri, positioning yang dapat dipahami karena tanpa menggandeng partai lain di luar Nasdem, pencapresan PDIP sudah aman. Dengan merapat Prabowo partai-partai Islam bisa melakukan tawar-menawar jumlah dan posisi menteri yang diinginkan sementara dengan Jokowi, tawar-menawar seperti ini bisa dikatakan tertutup.

Sebenarnya, di alam demokrasi modern tawar-menawar dan bagi-bagi kekuasaan dalam pemerintahan koalisi merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Lihat saja proses tawar-menawar posisi menteri antara Partai Likud sayap kanan, dua partai sentris Yesh Atid dan HaTnuah, serta partai Jewish Home yang berhaluan sayap kanan radikal dalam kabinet baru Israel pimpinan Benjamin Netanyahu.

Tapi kita lihat saja nanti, apakah pilpres kali ini akan anti klimaks karena yang terjadi adalah pertarungan Jokowi vs bumbung kosong dalam dua putaran atau pertarungan seimbang antara Jokowi vs Prabowo. Jika yang terjadi adalah yang terakhir, maka kemenangan akan benar-benar ditentukan oleh pemilihan message-message kampanye yang mengambil hati para pemilih di segmen-segmen berbeda—pemilih Jawa-Non, Jawa, perempuan, laki-laki, anak muda, orang tua, pengusaha besar, UKM, petani-nelayan dll—dan Pilres 2014 akan menjadi salah satu case study terbaik bagi demokrasi Indonesia di masa depan!