Dalam hal pemilihan calon presiden, ternyata Amerika Serikat (AS) tidak sepenuhnya demokratis.
Selama bertahun-tahun, baik Partai Demokrat maupun Republik telah menggunakan proses berbelit untuk memilih calon presiden, proses yang hanya melibatkan pemilih biasa secara tidak langsung. Ketika rakyat Amerika berbondong-bondong memilih kandidat dari luar partai, gerakan ini dibatasi oleh aturan main partai, dan mereka disadarkan dengan realitas. Kebingungan dan kemarahan mereka menambah kerentanan pemilihan umum atas tuntutan keadilan dan kesetaraan.
Di Nashviile pekan lalu, pendukung Donald Trump menuduh elit Partai Republik berusaha mengubah jatah delegasi negara bagian Tennessee dengan orang-orang anti-Trump. Tim sukses Trump membalas dengan menuliskan nomor ponsel Ketua Partai Republik di Twitter, sehingga ia dibanjiri dengan panggilan telepon. Sementara itu, puluhan orang hadir di pertemuan pemilihan delegasi partai, menggedor jendela, dan menuntut untuk masuk.
Pendukung Senator Bernie Sanders, yang tak habis pikir mengapa Sanders terus menang di berbagai negara bagian, tetapi tidak dapat mengejar selisih delegasi dengan Hillary Clinton karena keunggulannya dengan “superdelegate”, telah menggunakan Reddit dan Twitter untuk menjalankan kampanye agresif untuk membalik keadaan.
Jika pendukung Trump dan Sanders merasa terhalang oleh proses delegasi, hal tersebut dirancang bertahun-tahun lalu persis untuk mempersulit kandidat seperti mereka untuk menjadi calon presiden—kandidat yang dianggap oleh para pemimpin partai tidak dapat menang di Pemilihan Presiden bulan November nanti.
Pada awal sejarah demokrasi AS, anggota kongres menentuan calon presiden, menyisihkan rakyat Amerika dari proses. Sistem konvensi nasional kemudian berubah lebih dari satu setengah abad untuk mendesentralisasi pengambilan keputusan secara bertahap. Akan tetapi, tidak sepenuhnya berubah.
Peran superdelegates Partai Demokrat diciptakan setelah pemilihan tahun 1980 agar pemilih biasa tidak dapat mudah memilih kandidat. Superdelegate termasuk pejabat Partai Demokrat terpilih, seperti gubernur dan anggota kongres; pemimpin partai tingkat nasional dan negara bagian; dan tokoh partai seperti mantan Presiden Jimmy Carte dan Bill Clinton. Partai Demokrat terus menambah jumlah superdelegate selama bertahun-tahun, dan tahun ini jumlah superdelegate sebesar 16% dari keseluruhan delegasi.
Setiap suara dari superdelegate memiliki bobot yang sama dengan delegasi yang dimenangkan dari pemilihan pendahuluan dan kaukus. Sebagai contoh, di New Hampshire, Sanders memenangkan 150,000 suara dan 15 delegasi tradisional. Hillary Clinton memenangkan 9 delegasi tradisional. Namun, karena 6 superdelegates New Hampshire mendukung Clinton, ia akhirnya menang seri dengan Sanders di negara bagian tersebut.
Partai Republik memiliki lebih sedikit superdelegate. Namun, cara partai tersebut menyelenggarakan pemilihan---sistem yang kompleks dan berlapis di mana delegasi lokal memilih delegasi negara bagian yang kemudian memilih delegasi nasional—dapat menyulitkan pemain baru, seperti halnya Trump, untuk bermain secara efektif.
Bahkan jika Trump memenangkan suatu negara bagian, delegasi yang seharusnya memilih dia pada konvensi nasional dapat secara diam-diam mendukung salah satu lawannya. Bahkan, jika tidak ada bakal calon yang mengamankan nominasi sampai konvensi pertama, delegasi ini dapat dibebaskan dari kewajiban untuk memilih calon yang dipilih negara bagian yang diwakilinya.
Rasa kegagalan di antara pendukung Trump dan Sanders, yang merasa mereka memiliki misi yang kuat, percaya bahwa kecurangan sistem politik telah membuat mereka tersingkir dan tidak berdaya.
Jika superdelegate tidak ada, Sanders tetap tertinggal 200 delegasi dari Clinton. Harapannya untuk mengejar Clinton dengan delegasi tradisional semakin menipis dengan sebagian negara bagian besar cenderung memilih Clinton, termasuk New York dan Pennsylvania. Namun, pendukungnya merasa suaranya semakin tersingkir oleh bobot superdelegates.
Meskipun Sanders telah mengkritisi “kecurangan sistem politik”, ia menyerah terhadap pengaruh superdelegates, menyadari bahwa ia perlu membujuk mereka untuk dapat menang. Sebagian pendukung Sanders telah mengikuti caranya dan membuat daftar superdelegates untuk dihubungi dan dipengaruhi.
Kecemasan terhadap proses ini lebih parah terjadi di Partai Republik karena Trump, yang kini unggul, dapat kehilangan kesempatan untuk menjadi calon presiden. Trump terancam tidak dapat mencapai ambang batas 50+1 persen delegasi yang ditetapkan oleh Komite Nasional Partai Republik untuk dapat mengamankan nominasi sebelum konvensi.
Trump dan pendukungnya telah mengkritik proses tersebut secara agresif, menggelar kampanye agar delegasinya tidak “tercuri” saat konvensi. “Jangan sampai Pencurian Massal terjadi tanpa protes”, kata Roger Stone, kolega lama Trump di suatu radio konservatif.*** (Igp/JWP)
Sumber: The New York Times
Posted: 11/04/2016 16:35:00 WIB