www.posmetro.info

Presiden Joko Widodo disarankan untuk mengambil langkah yang bijak untuk meredam kegaduhan di kabinet. Tak perlu langsung menindak semua pihak, Jokowi harus lebih dulu menentukan mana menteri yang sebenarnya salah. Jangan sampai kegaduhan berakhir begitu saja, ya sudah yang penting diam. Atau semua yang ribut diganti, tapi perlu dicari siapa yang benar siapa yang salah, kata Ketua DPP Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Andreas Hugo Pereira awal Maret 2016 yang baru lalu.

Ketika para menteri bertikai dan menimbulkan kegaduhan, lalu apa yang dilakukan Jokowi? Bukankah para menteri seharusnya sevisi dengan Presiden, bukannya ribut soal keputusan yang belum diambil. Politisi PDIP jelas berharap mendengar keputusan segera dari Jokowi. Dengan demikian, kegaduhan bisa berhenti dan kabinet bisa sesuai namanya lagi yaitu Kabinet Kerja.

Berbincang tentang kabinet Kerja berbincang tentang polemik. Ia berbanding lurus dengan seonggok ketidakpastian manakala sejumlah pembantu Presiden diam-diam saling bertikai. Berbagai kepentingan jelas mengemuka. Terlebih ketika sejumlah partai politik pendukung kabinet mulai memperlihatkan sikap inkonsistensi. Kendati tidak ada konsistensi di dalam mekanisme kepartaian, akan tetapi apabila menyangkut kepentingan negara  sebaiknya para politisi bisa menjaga konsistensi sesuai dengan kesepakatan yang telah disepakati bersama.

Prersiden sebagai atasan semua menteri memang memiliki wewenang mengevaluasi menteri-menterinya lalu menilai, meneruskan jabatan sang menteri atau mengganti sang menteri dengan yang lain. Sepenuhnya hak prerogatif presiden. Berbekal hak itu mestinya Jokowi tidak ikut terusik dengan kegaduhan yang ditabuh oleh menteri-menterinya. Justru di tangannya nasib menteri ditentukan. Boleh jadi ada faktor like and dislike alias sangat subjektif. Namun demikian  demi terwujudnya kinerja Kabinet Kerja seharusnya faktor suka dan tidak suka secara pribadi disingkirkan jauh-jauh.

Celaka manakala Presiden Jokowi mampu menepis faktor subjetivitas itu, ternyata PDI Perjuangan sebagai parpol yang mendudukkannya di kursi presiden meminta sesuatu, ia sulit menolak. Maka berlangsunglah kegaduhan dan sang presiden pun terusik. Ada yang berharap agar presiden harus ambil keputusan, sehingga tidak terjadi lagi kegaduhan. Dengan mengibaratkan langkah yang harus diambil bagaikan permainan sepakbola. Pelanggaran yang dilakukan pemain bisa diganjar dengan kartu kuning atau kartu merah.

Presiden Joko Widodo sudah mengingatkan agar para menteri jangan meributkan sesuatu yang belum dia putuskan. Peringatan itu bisa saja berujung pada evaluasi. Kenyataan bahwa Presiden Joko Widodo dinilai sudah tidak nyaman dengan kegaduhan antarmenteri yang terjadi awal Maret ini. Kini, tindakan tegas untuk menghentikannya dinanti. Ada yang berpendapat supaya jangan sampai kegaduhan berakhir begitu saja, ya sudah yang penting diam. Atau semua yang ribut diganti, tapi perlu dicari siapa yang benar siapa yang salah. Presiden perlu arif melihat persoalan sehingga tidak ambil sikap fatalistik, diam semua atau semua keluar, katanya.

Juru Bicara Presiden, Johan Budi sudah mengatakan bahwa Presiden Jokowi unhappy dengan kegaduhan ini. Presiden Joko Widodo juga sudah mengingatkan agar para menteri jangan meributkan sesuatu yang belum dia putuskan. Jokowi pun mengatakan, "Jangan ributkan sesuatu yang belum tuntas, yang belum saya putuskan. Ini sebuah pekerjaan besar. Saya perlu banyak dengar dari kiri, kanan, atas, bawah. Kalau hal kecil langsung saya putuskan. Kalau hal yang menyangkut jangka panjang, betul-betul saya perlu ada masukan, ada input-input yang betul, sehingga keputusannya itu jernih dan benar bagi negara".

Kembali kepada kegaduhan di awal Maret tahun 2016 ini sepertinya bagai kembali melihat dan mengingat pada suasana akhir kepemimpinan Presiden Soeharto manakala satu demi satu menteri kabinetnya mengundurkan diri. Tak lama kemudian Presiden Soeharto terguling/ mengundurkan diri. Tentu saja kita tidak ingin kegaduhan di kabinet yang belum genap dua tahun ini mengulang peristiwa pengunduran diri sejumlah menteri pada 1998. Jokowi dan timnya saya kira cukup piawai memainkan nada-nada politik di tingkat istana.

Seharusnya yang menjadi perhatian ialah kegaduhan yang timbul akibat kegagalan kebijakan, misalnya dalam hal pertumbuhan ekonomi, kemampuan daya beli masyarakat, ketersedian pelayanan publik yang manusiawi dan tidak melulu bernominal uang, maupun kekalahan diplomasi dan proses tawar menyoal kontrak karya dengan pihak asing.

Saya kira belakangan ini Jokowi banyak diuntungkan oleh pemberitaan media. Bukankah kisah secangkir kopi Vietnam berhasil menggeser berita kegagalan pemerintah dalam hal kebijakan meningkatkan kesejahteraan rakyat? Begitu pula kasus LGBT diam-diam terbukti menyihir ketidaktahuan atas besaran APBN 2016 untuk alokasi pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat di segala aspek sosial? Dan demikian pula misuh-misuh pemberitaan PIlkada DKI Jakarta 2017 mendatang sepertinya menutup apa yang tengah dilakukan Jokowi menangani berbagai hal menyangkut upaya konkrit pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Dengan kata lain “keuntungan” yang diperoleh Jokowi itu mestinya dimanfaatkan untuk bekerja optimal dan maksimal dalam kerangka memakmurkan masyarakat. Tentang apa dan bagaimana kriteria serta pencapaian kemakmuran/ kesejahteraan masyarakat, saya yakin seyakin-yakinnya bahwa Kabinet Kerja sudah memiliki konsep yang jelas. Yang belum jelas adalah pelaksanaan konsep tersebut sehingga berdampak secara signifikan bagi peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat.

Sebagai warga negara yang sadar atas pentingnya peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan sebagai warga yang menghendaki kekuatan peta politik serta ekonomi Indonesia di mata dunia internasional, sudah saatnya pemerintah mampu meredam “kegaduhan” masyarakat jikalau gagal mencapai target kesejahteraan masyarakat. Jangan sampai ada seloroh, “Tidak ada presiden pun masyarakat bisa beraktivitas ekonomi sendiri karena paket kebijakan ekonomi yang dijalankan pemerintah tidak berbasis kepada upaya serius peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat”.***

 

(rr/DK)