Ilustrasi/www.pusakamadinah.org

SETIAP lembaga/ organisasi/ institusi pasti ada saatnya untuk memperbarui kepengurusan/ kepemimpinannya sesuai dengan AD/ART masing-masing. Pembaruan kepengurusan secara regular itu menandakan bahwa lembaga tersebut melaksanakan mekanisme kepengurusannya dengan baik. Sebaliknya jika kepengurusan suatu lembaga tidak berubah, konstan, atau tetap diisi wajah-wajah lama, mempertahankan status quo --maka lembaga tersebut mengalami stagnasi serta gagal dalam hal kaderisasi kepengurusan.

Tidak terkecuali lembaga agama seumpama Muhammadiyah. Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Cirebon 2010-2015 telah berakhir masa baktinya pada Sabtu 19 Maret 2016 dan Minggu 20 Maret 2016  menggelar Musyawarah Daerah (Musda) di SMK Muhammadiyah Kota Cirebon di Jl. Syarif Abdurahman (dulu bernama Jl. Bahagia). Musda dimaksud sebagai proses rutin lima tahunan demi mewujudkan seonggok harapan dan impian Muhammadiyah Kota Cirebon dalam menyikapi berbagai tantangan ke depan yang lebih kompleks.

Sejak terbentuknya Panitia Pemilihan (panlih) sebagai pelaksana pemilihan calon-calon pimpinan Muhammadiyah Kota Cirebon, sejumlah nama telah terdaftar. Proses pemilahan berdasar syarat admnistrasi pun telah dilakukan panlih. Hasilnya akan dirapatkan pada muspimda (Musyawarah Pimpinan Daerah) bersama panlih Sabtu 19 Maret di sekretariat PDM (Pimpinan Daerah Muhammadiyah)  Kota Cirebon di Jalan PIlang Raya. Muspimda akan mengumumkan 33 nama terpilih untuk seterusnya digogok panlih sesuai mekanisme keorganisasian Muhammadiyah keesokan harinya. Dan Minggu 20 Maret 2016 akan dipilih 11 nama untuk menduduki jabatan PDM Kota Cirebon.

Sebagaimana layaknya pemilihan untuk melanjutkan dinamika persarikatan, Muhammadiyah Kota Cirebon Musda kali ini agaknya terlihat riuh dan cukup memabukkan. Beberapa nama yang berkehendak merebut jabatan Ketua PDM Kota Cirebon mengambil ancang-ancang menyusun strategi agar kehendaknya terkabul. Ada yang berkumpul dengan beberapa Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) guna memformat 11 nama terpilih. Ada yang mengemas pertemuan atas nama pengajian rutin di mesjid. Ada pula yang melakukan pertemuan sambil makan minum di rumah makan tertentu dengan mengundang organisasi otonom (Ortom), lembaga di bawah PDM yang memiliki hak suara, yang difasilitasi oleh timses. Termasuk ada yang melakukan kampanye diam-diam melalui media cetak (koran) lokal, dan media sosial. Bahkan ada yang menjanjikan sejumlah uang apabila namanya dipilih pada Musda Minggu 20 Maret.

Sejatinya musda merupakan proses biasa dalam persarikatan Muhammadiyah. Akan tetapi mengingat bahwa Muhammadiyah (khususnya Kota Cirebon) adalah lembaga keagamaan yang kaya raya, memiliki Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang punya prospek bagus, tak pelak membuat beberapa nama tergiur merebut jabatan Ketua Muhammadiyah Kota Cirebon periode 2015-2020. Lima tahun ke depan ia bisa mencetak warna dan arah persarikatan dengan merujuk jabatannya. Lima tahun ke depan pula (jika ada) keinginan meraup perolehan finansial akan lebih mudah dan terbuka peluangnya.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa Muhammadiyah Kota Cirebon memiliki sebuah rumah sakit di Jl. Dr. Wahidin Sudirohusodo, sebuah klinik pratama di Grubugan, dan beberapa sekolah menengah serta Akademi Kebidanan di Jalan Kalitanjung. Berbekal media pendidikan swasta  dan usaha kesehatan swasta, PDM Kota Cirebon tergolong mampu mengakumulasi keuntungan berupa rupiah untuk menjalankan program persarikatan. Namun di balik itu tetap ada keinginan memperoleh keuntungan pribadi berupa finansial dan atau akses jabatan menduduki posisi penting pada AUM di bawah kekuasaannya.

Moral dan Etika

AUM Kota Cirebon tergolong sukses. Baik dalam hal pelayanan pendidikan maupun kesehatan sehingga berpeluang meningkatkan pendapatan persarikatan. Seiring peningkatan pendapatan AUM, tak terelakkan muncul hasrat duniawi untuk mencicipi lezatnya uang organisasi. Cara yang ditempuh pun kadang tidak etis dan menyalahi aturan persarikatan. Tetapi karena kuatnya hasrat duniawi sebagai ciri dasar manusia yang selalu kurang dan ingin menguasai banyak hal, sang ambisius tidak bergeming. Ia ngotot supaya Musda Muhammadiyah Minggu 20 Maret terpilih menjadi Ketua PDM Kota Cirebon.

Blusukan, “gerilya”, serangan shubuh, penyebaran pesan singkat (sms) melalui telepon genggam (hp), bisik-bisik di pertemuan, koordinasi untuk mengikat komitmen, menggunting dalam lipatan, kampanye diam-diam melalui melalui koran atau media sosial, atau pressure kepada para pemilik suara ~menjadi bagian tak terpisahkan dari prosesi Musda Muhammadiyah. Cara-cara di atas menggambarkan betapa Muhammadiyah yang dibangun Ki Ahmad Dahlan dengan susah payah, dengan darah dan air mata, 104 tahun kemudian persarikatan yang dibangun beliau menjadi ajang perebutan kekuasaan atas nama dakwah di bidang sosial keagamaan. 

Para ambisius itu lupa bahwa Ki Dahlan membangun Muhammadiyah bukan untuk menumpuk dan memupuk kekayaan pribadi yang sangat duniawi. Para ambisius itu hanya ingin agar hasrat duniawinya terpenuhi melalui persarikatan Muhammadiyah. Jadi jangankan mendoakan Ki Dahlan di alam barzah, sepanjang keikutsertaannya di Muhammadiyah ia tidak pernah tahu keluarga/ keturunan Ki Dahlan, tidak tahu letak makam/ kuburan Ki Dahlan, serta tidak peduli sudahkah memuliakan keluarga/ keturunan Ki Dahlan. Sang ambisius hanya ingin satu hal: Jadi Ketua PDM Kota Cirebon 2015-2020 lalu mengambil posisi puncak lain pada AUM yang ada di wilayah kekuasaannya. Dengan menduduki jabatan Ketua PDM Kota Cirebon lima tahun ke depan, mimpi indah dan hasrat peroleh kemilau duniawi akan mudah didapat.

Jika Musda Muhammadiyah Kota Cirebon pada Minggu 20 Maret 2016 meloloskan sang ambisius memimpin persarikatan, jangan harap memberi maslahat dan atau manfaat bagi persarikatan. Jangan harap juga AUM di bawah PDM akan meningkatkan prestasi perolehan keuangan yang diberikan kepada anggota, lantaran ia sang ambisius mendahulukan kehendak pribadinya menjadi orang nomor satu sekaligus menguasai AUM. Demikian pula apabila peserta pemilik hak suara pada Musda Muhammadiyah Kota Cirebon tergiur janji-janji sang ambisius (uang misalnya atau kedudukan penting pada AUM) maka wajah persarikatan tidak akan mampu mencerahkan. Tidak mampu menyinari sekeliling bumi seperti  12 pancaran sinar yang tertera pada logo Muhammadiyah.

Dengan demikian untuk menjadi pimpinan daerah pada persarikatan keagamaan yang telah berusia lebih dari 100 tahun, mestinya dilandasi oleh keinginan pengabdian dengan bekal moral dan etika yang baik sehingga memberi manfaat bagi seluruh anggota Muhammadiyah dan masyarakat Kota Cirebon umumnya. Bukan dengan keinginan pemenuhan hasrat duniawi individu yang tiada ujungnya.

Untuk menjadi pucuk pimpinan Muhammadiyah Kota Cirebon dibutuhkan integritas berorganisasi dan leadership yang memadai. Keduanya bertaut dengan moral/ etika/ ahlak yang baik. Integritas dan leadership bermuara pada kekuatan pribadi guna memajukan persarikatan dengan referensi pengalaman maupun pendidikan formal, sementara ahlak bermuara pada keindahan pribadi dengan memberikan teladan yang baik bagi masyarakat.

Tiga hal tersebut di atas harus dimiliki oleh para calon PDM Kota Cirebon bila ingin melihat Muhammadiyah ke depan lebih baik, lebih diperhitungkan, dan nilai lebihnya mampu diberikan kepada seluruh anggota persarikatan. Berbalik diametral dengannya, PDM Kota Cirebon hanya akan menjadi buih yang mudah menguap. Seperti bunyi sebuah pepatah Arab: Engkau saat itu berjumlah banyak. Namun seperti buih karena hubud dun`ya wa karihatul maut (cinta dunia dan takut mati).

Agar tidak menjadi buih yang gampang dihembus angin, semua anggota Muhammadiyah mesti menancapkan kesadaran tertinggi bahwa keberadaan dalam ormas keagamaan berbanding lurus dengan kesungguhan melaksanakan amanat persarikatan. Semuanya tertuang dalam AD/ART sebagai pengejawantahan pemikiran bening atas maha karya Ki Ahmad Dahlan sejak tahun 1912 di Yogyakarta.***

(rr/DK)