foto: beningpost.com/deri

Deri Darmawansyah, Mubarok - BeningPost

Setelah Hatta Ali, Ketua Mahkamah Agung terpilih, tentu kita 'berharap' pada pundaknya, agar keadilan makin tak timpang. Kita juga tak ingin mendengar putusan pihak yang berwajib (apapun stratanya) tidak selalu janggal, tapi juga tak melukai rasa keadilan publik dan melawan akal sehat. Cukup sudah vonis konyol beredar di skala orang miskin dan semacamnya.

Mendudukkan kasus sesuai porsinya tentu perlu keseriusan dan sangat penting. MA bisa melihat, yang dihadapi AS (20), warga Kahuripan, Parung, Bogor, yang kematiannya diamuk massa. Padahal ia tak terbukti sama sekali dalam penjambretan terhadap pasangan suami istri, namun pengadilan masyarakat telah merenggut nyawanya. Ketua Rukun Tetangganya pun tak berbuat banyak--kalau tidak mau dibilang malas mengurusi hal yang 'remeh temeh' ini, pun dengan kepolisian setempat yang ogah untuk menindaklanjut karena tak ada nilai ekonomisnya. Kakak almarhum yang tunanetra dengan sisa pilu menyesalkan keadilan yang parah itu.

Masih tentang pengadilan tangan masyarakat. Ini baru terjadi dalam seminggu ini, GA(26), masih di kota sama, tertangkap basah menjambret tas seorang perempuan yang sedang naik motor bersama temannya. Ketika hendak menjambret, GA terjatuh bersamaan dengan kedua korban, karena perempuan tersebut memegang erat tasnya. Tak sempat berlari, GA dihampiri massa dari segala arah dan teman yang bersama GA tadi sudah minggat duluan. Pertigaan Jampang menjadi saksi mati kematian GA. Lalu polisi? Bak polisi dalam film-film Bollywood yang selalu datang belakangan. Saat polisi yang mendapatkan laporan pengeroyokan itu datang ke lokasi, tubuh korban sudah ditutupi daun. Ia tewas dengan luka disekujur tubuhnya.

”Kami hanya orang kecil, pasrah. Tidak mengerti hukum. Massa yang dihukum terlalu banyak,mana mungkin dapat diadili. Duka juga melanda keluarga kami apa boleh buat," kata kakak AG, ngenes.

Gejala sosial masyarakat main hakim sendiri adalah ketimpangan hukum. Bagaimanapun maling kelas kakap ataupun kelas teri harus mendapatkan ganjaran yang sepantasnya. Hal itu dituturkan Kriminolog UI Prof. Muhammad Musthofa.

Lalu, mengapa masyarakat Indonesia menjadi begitu beringas ketika menghadapi pelaku penjabretan yang tertangkap basah?

“Masyarakat Indonesia di zaman yang tidak jelas sekarang ini, zaman edan. Di mana yang salah dibenarkan, yang benar dibuat salah. Masyarakat sudah tidak percaya terhadap pemerintahan. Kok enak sekali, hukumnya ya sekarang di penjara besok dilepas lagi. Hal ini dikarenakan kurangnya kemampuan penegak hukum, ketidakpuasan masyarakat terhadap pembuat kesalahan dalam memberi efek jera. Masyarakat yang apatis terhadap hukum karena birokrasi penegak hukum yang berbelit-belit buang-buang waktu," terangnya, Selasa (14/2).

Tentu saja pemerintah tidak memenuhi janji Konstitusi Negara, “Rakyat miskin, anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara".

Faktor pembenahan kebijakan tatanan kehidupan tidak akan melahirkan pengangguran yang berimbas pada pemenuhan biologis melalui jalan kekerasan seperti menjambret.

Kesalahan pembunuhan memang jelas bukan kesalahan kepolisian. Namun, kembali kepada  sistem pemerintahan dan warga yang main hakim sendiri. Hanya disayangkan kepolisian harusnya mendidik masyarakat taat hukum(melek hukum) karena mereka yang ikut menghakimi sangat mungkin kemeja hijau.

Forum Komunikasi Antara Polisi dan Masyarakat (FKPM) keberadaannya disfungsi. FKPM itu harusnya tidak hanya mendidik di tingkat Kecamatan tetapi kepada strata yang lebih kecil lagi ruang lingkupnya yaitu Rukun Tetangga, Rukun Warga

Terlepas dari benar terbukti salah atau tidak, kasus seperti di Kahuripan diatas hanya akan berujung kepada pintu kepasrahan saja.