antarafoto.com

Mohamad Monib*- BeningPost

Korupsi sudah membudaya di Indonesia. Itulah stigma bagi bangsa Indonesia. Rasanya itu benar adanya. Ia sudah mendarah daging. Khususnya dalam darah birokrasi dan lembaga politik. Lebih-lebih di DPR. Pasca reformasi, lembaga ini benar-benar menjadi super body. Kalau sudah maunya, tidak satu lembaga pun mampu melawannya. Kasus-kasus  mega korupsi belakangan ini aktor dan locusnya  hampir berasal dari DPR. Cek perjalanan dalam pemilihan  Gubernur BI, Kasus Banggar, Wisma Atlit dan Hambalang, renovasi WC dan lainnya. Rakus dan haus harta. Mati dan pertanggungjawaban akhirat seakan-akan tidak ada lagi dalam kamus iman mereka. 

Beberapa tahun lalu Nahdlatul Ulama (NU) pernah membuat himbauan tentang shalat jenasah bagi para koruptor. Waktu itu ada wacana disebagian umat untuk tidak menyolatkannya. Kuatir hal itu terjadi, NU mengeluarkan himbauan. Sekalipun mereka sudah terbukti korup, bila ia mati, wajib hukumnya bagi yang hidup untuk menshalatkannya. Tapi gimana ya?! Rasanya, bila suatu waktu saya diminta menyolatkan jenasah  koruptor, sejenak saya akan berpikir:bila tidak seorang pun menyolatinya  karena sami’na wa ato’na kepada himbauan Nahdlatul Ulama (NU), saya akan menyolatkannya. Namun, bila ada orang lain mau menyolatkan, biarlah saya melakukan aktifitas lain saja.Seperti anda semua, saya muak, kecewa dan marah. Bagaimana tidak, perampokan uang rakyat ini terus semarak, susah di atasi dan membudaya. Pelakunya, ya seperti di atas para penegak hukum:  jaksa, lawyer, polisi,  pejabat public, para politisi. Di swasta pun ada. Tapi tidak sesemarak di birokrasi pemerintah.  Benar-benar menjadi wabah dan penyakit mental kita. Sabda Rasul:su’u al-khuluq yu’di. Akhlak buruk itu menular.

Anda bisa bayangkan dan berikan empati pada saya sebagai salah satu representasi orang yang hidup dari dunia tulis menulis. Royalti buku di Indonesia rentang 10-12%/ eksemplar. Taruhlah, bila harga jual bukunya Rp.50 ribu, maka seorang pengarang akan memperoleh royalti sebesar Rp.5 ribu. Bagi yang memiliki NPWP akan mendapat potongan PPn sebesar Rp.15%. Ketika terkumpul dalam rekening kantor perpajakan, ternyata dikorup oleh staf atau pejabat di sana. Kita pasti kecewa. Tega-teganya mereka menilep secuil rizki kami.

Sanksi sosial-keagamaan hanyalah salah satu cara. Semoga membawa efek jera. Ada pesimisme.Hukum penjara saja tidak membuat jera, apalagi hukum sosial. Sudah lama penulis mengamati trend di masyarakat. Ada fenomena memuakkan. Perilaku buruk, jahat dan maksiat tidak lagi menjadi sesuatu yang memalukan. Kufur, membangkang perintah agama dan maksiat kepada Allah bukan barang “mewah” lagi.Ia dilakukan semudah membeli pisang goreng. Harganya murah dan mudah dilakukan. Rasulullah bersabda:al-hayau min al-iman. Rasa malu itu tanda sehat iman seseorang. Inilah kunci surga yang hilang.
 
INTERNALISASI AJARAN AGAMA

Karena lahir dalam tradisi NU saya mengenal dekat tradisi ziarah kubur wali songo.Ketika di pesantren tradisional tiap kamis malam saya ziarah, fatihahan dan Yasinan di Pesantren Syaichona Kholil Bangakalan Madura.  Saya juga akrab dengan  tradisi safari wali songo. Ke Sunan Ampel, Bonang, Kudus, Gunung Jati dan lainnya.Namun karena 10 tahun nyantri di Gontor, teologis wahabisme sukses sedikit melelehkanya. Alhamdulilah, Cak Nur mengembalikannya. Tanaman  al-muhafadzat ala al-qadim al-shalih wa al-ahdzu ala al-jadid al-ashlah nya tumbur subur dan progresif. Bila ada waktu ziarah makam para wali dan ulama tetap saya lakukan. Yang  pasti paradigma  berislam yang luwes, terbuka, tidak komunalistik dan rasional subur dan berbuah manis secara sosial dan kemanusiaan.

Tidak terhingga rasa syukur kita.  Pola dan metode wali songo inilah yang mengislamkan Indonesia.Islam akan terusir dan tidak akan menjadi agama mayoritas bila bahasa kafir, murtad, tidak islami, fiqh oriented model Islam transnasional yang dikibarkan saat itu.Akan lebih susah lagi bila pendekatan organisasi massa berjubah dan pakai pentungan yang dominan.Saya bersyukur, ada Cak Nur Sang Mujaddid Indonesia dan tokoh-tokoh neomodernisme lainnya serta Gus Dur, wali asyarah (wali ke-10) dalam pentas Islam Indonesia.

Peta sosial-keagamaan di Indonesia berada di tangan NU dan Muhammadiyah. Diluar masalah puasa dan Iedul Fitri kedua ormas besar ini mudah bekerja sama. Dalam konteks akhlak buruk dan amoral, karena mayoritas rakyat Indonesia  muslim, tidak bisa ditolak mau tidak mau diduga pelakunya mayoritas ber KTP Islam.Jadi pelaku  korup, bisnis-bisnis amoral, virus dan bakteri masyarakat  adalah saudara-sauda-ra kita seiman dan seagama.Kita tentu prihatin dan sedih. Karena itu, kepada NU dan Muhammadiyah kita berharap.Kita semua menunggu aksi-aksi ril anda lebih jauh dan nyata lagi.

Apa yang terjadi pada iman saudara kita itu?Apa faktor utama kondisi tersebut?Manakah yang dominan?Ekonomi, budaya atau ideologi instan ingin hidup enak dan kaya?Adakah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan bim salabim?Atau karena kegagalan kita para ulama, ustadz, kiyai dan tokoh-tokoh agama memahamkan makna dan hikmah dihadirkannya agama di muka bumi ini?Begitu kuatkan ideologi hedonisme, kapitalisme dan libidoisme menyergap dan menyelimuti jiwa kita? 

Pola dan pendekatan Islam model apakah yang bisa kita tawarkan? Ada tiga (3) konten Islam:fiqh, ushuluddin dan tasawuf. Inilah muatan kurikulum dan silabus pendidikan Islam umumnya di Indonesia. Muatan itu  ditawarkan oleh para ustadz dan kiai serta kaum cendekia. Baik  yang tradisional, progresif, liberal  dan  populer. Dulu, almarhum Yai Zainuddin MZ meramu muatan-muatan di atas dengan kehebatan retorika dan kisah-kisah tauladannya. Aa’ Gym dan Arifin Ilham menawarkan islam warna sufistik melalui manajemen qalbu dan dzikir-dzikirnya.Ustadz Yusuf Mansur menggunakan pendekatan fiqh zakat dan shadaqah. Ary Ginandjar menawarkan paket—katanya—Islam esensial dan universal yang penanamannya bertumpu pada media audio-visual.  

Sekali lagi. Belakangan ini secara intelektual saya resah dan gelisah.Ruang publik di-gadang-gadang oleh spirit beragama yang rigid, anti keragamaan dan bahasa tangan, pentungan dan sesak nafas dengan kebebasan berpendapat. Saya paham umat kuatir, Islam ternoda dan terancam punah.Islam dalam ancaman ideologi Barat. Katanya mereka takut kepada sekulerisme, liberalisme dan pluralisme. Lho, kok underdog sich mental umat pilihan ini? Katanya kuntum khoiru ummatin. Lakukan dakwah yang intelek, dialogis dan akademis. Jangan lakukan upaya membentengi—katanya—untuk membela dan untuk  kemurnian Islam, namun aksi-aksinya menakutkan manusia. Metode dakwahnya justru membuat objek dakwah menjauh dan alergi terhadap Islam. Anda menodai Islam.

Hemat penulis, karena Islam itu kebenaran abadi (al-hikmat al-khalidah) ia tidak akan luntur, leleh dan sirna hanya karena ideologi-ideologi fatamorgana.Kebenaran selalu bersinar meski diruang gulita.Dan, dunia ini ruang konflik dan perang kebaikan dan keburukan. Maka yang terpenting, selain menjadikan mereka umat yang kreatif dan mandiri secara ekonomi, up grade dan naikkan kelas ilmu umat. Dewasakan mereka dengan spirit berwawasan luas dan berpikiran bebas. Jangan dorong mereka bermental katak dalam tempurung. Ajari mereka kearifan dan keluasan wawasan dan sikap. Mari semaikan Hadis”Innama buistu bi al-hanafiyat al-samhah”.Saya diutus membawa ajaran (agama) yang luwes dan lapang hati. Wallahu a’lam bi al-shawab



*Kontributor BeningPost