MS. Mubarok - BeningPost

Tak kenal maka tak tahu.Tampaknya kalimat bijak ini harus tersentuh untuk yang pura-pura tidak tahu, lebih lagi untuk kalangan mahasiswa yang menjadi bagian dari pasukan The Yellow Jackets.Terekam jelas dalam ingatan publik apa  yang tengah terjadi pada zaman orde lama 1966, pelengseran Soekarno dan zaman orde baru 1998, tepatnya empat belas tahun silam, pelengseran Soeharto terjadi. Tangan–tangan para Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) bermain banyak di sana.

Era orde lama merupakan masa revolusioner, dibawah komando Presiden RI Soekarno telah mengikrarkan suatu wilayah dari Sabang hingga Merauke dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Rasi bintang politik dalam negeri yang begitu dinamis dan labil tidak menggoyahkan Bung Karno sebagai Pemimpin Besar Revolusi.

Bagaimana dengan percaturan politik luar negeri? Jangan tanya, Bung Karno, begitu akrab Soekarno dipanggil, telah renggut kesuksesan menjadi kampiun dunia yang disegani oleh sekutu maupun seteru. Gerakan Non Blok dan Konferensi Asia - Afrika cukup menjadi bukti keperkasaannya dalam percaturan politik sejagad. Sayang, waktu kekuasaan Bung Karno harus berakhir pasca diterbitkannya surat yang penuh kontroversial, Surat  perintah sebelas maret (Supersemar). Nah, pada tahun tersebut (tahun 1966), di sini mahasiswa-mahasiswa UI begitu agresif, gencar bersuara dan bersatu, bahu membahu meruntuhkan Soekarno.

Usai itu, dilantiklah Jendral Soeharto sebagai Presiden RI ke 2 oleh MPRS pada tanggal 27 Maret 1968. Namun, lagi-lagi Presiden diktator menjadi ‘mangsa’ bagi para mahasiswa UI. Reformasi digulirkan dan Presiden RI Soeharto menyatakan mengundurkan diri sebagai Presiden mandataris MPR, atau istilah yang dipopulerkan para pencari warta kala itu Soeharto “lengser keprabon”.

Meskipun pemicu utama gerakan reformasi bermula dari kampus lain, namun di Kampus Universitas Indonesia (UI),  baik yang berlokasi Salemba mapun Depok, aksi-aksi demo berlangsung juga. Emosi makin menjadi ketika mahasiswa yang tengah berdemo ditembaki oleh penembak jitu yang tidak dikenal sehingga 4 mahasiswa mengakhiri nafasnya karena tertembus peluru.

Pepatah mengatakan sejarah tidak akan berulang , atau kasarnya tidak akan datang dua kali kesempatan, maka peristiwa demo-demo reformasi di dalam kampus UI dianggapnya adalah peristiwa langka, yang barangkali saja tidak bisa diulang untuk kedua kalinya. Oleh sebab itu, ketika iklim politik di tanah yang gemah ripah loh jinawi ini sedang hits menuntut pengunduran diri Soeharto sebagai mandataris MPR, maka demo pun tumplek blek, semua elemen ada. Baik yang mengatasnamakan kelompok mahasiswa di luar Senat Mahasiswa (SM) UI, atas nama BEM UI juga. Ada juga Demo atas nama Ikatan Alumni UI (ILUNI).

Tidak cukup sampai di situ. Atas prakarsai ILUNI, di Kampus Depok diselenggarakan acara bertajuk “malam renungan reformasi” yang diadakan di tengah-tengah lapangan di depan Gedung Rektorat (Pusat Administrasi Universitas). Mendiang W.S Rendra pun diundang, beberapa seniman dan pemain musik ternama masa itu. Dalam satu paket kesempatan, demo besar-besaran dilakukan para mahasiswa UI, rombongan demo diajak ke Garbatama, pintu keluar kampus yang dekat ke jalan raya menuju Lenteng Agung.

Singkat cerita, sebelum delegasi mahasiswa UI memberikan pernyataan, beberapa wakil dosen UI sebetulnya sudah memberikan pernyataan penolakan keras kepada Soeharto sebagai mandataris MPR. Bahkan pimpinan UI dengan beberapa dosen senior sudah bertemu dengan Soeharto di Cendana.

Itu dulu, lalu bagaimana sekarang?

Di zaman yang serba complicated dengan iringan megaskandal kasus penggasakan uang rakyat, hingar bingar aksi-aksi patriotik yang melibatkan ‘orang sekampung’ tak bergaung lagi. Melempem seperti kerupuk yang tersiram dinginnya air, hembusnya angin. Padahal yang ada di mata, di dalam ‘selimut’ mahasiswa UI ada borok yang makin menggerogot.

Gumilar Rusliwa sang Rektor UI menjadi pangkal biangnya. Beragam potensi tindakan cacat telah di jamahnya; tidak pernah sungguh-sungguh bekerjasama dan tak menggubris komitmen kerja dengan Majelis Wali Amanat (MWA), membangun Gedung ‘The Chrystal Knowledge’ Perpustakaan Pusat yang megah lagi canggih tanpa konsultasi biaya kepada MWA dan masih banyak dosa-dosa Gumilar terhadap UI yang tak tersebut karena akan bikin pusing tujuh tikungan.

Makin terang benderang bahwa kalangan UI hanya tajam pada kekuasaan membabibuta di eksternal saja namun majal terhadap yang ada di dalam, tak becus hadapi sengkarut petinggi kampus. Begitu lamban tangani 'emporium' Gumilar. Atau, jangan-jangan benar apa yang dikatakan Pimpinan Kajian dan Pengembangan Soft Competency FE UI pada Beningpost; Orang-orang UI itu banyak yang pintar, tapi SQ-nya jongkok.