www.tribunnews.com

ADALAH Jared Diamont penulis buku Collaps yang pada akhir tahun 2000 lalu mengkategorikan 14 negara di Asia sebagai Negara Gagal. Ini ditandai dengan ketidakmampuan pemerintah Negara tersebut memberi rasa nyaman warganya dalam berbagai kegiatan ekonomi pembangunan, selain buruknya birokrasi dan pelayanan umum, maupun kerusakan lingkungan hidup. Salah satu negara yang dikelompokkan gagal itu adalah Indonesia.

Situasi ekonomi empat bulan terakhir yang terus memburuk di Indonesia mempertegas bahwa Indonesia merupakan Negara Gagal, Failed State. Nilai tukar rupiah yang terus melemah terhadap dolar AS menjadi tengara tak tertolak bahwa segala konsep dan teoritika ekonomi tidak berdaya melawan terjangan ekonomi global. Kendati Presiden Jokowi mengganti beberapa menterinya, tetap saja ekonomi buruk. Secara umum kemampuan daya beli masyarakat menurun seiring menurunnya produktivitas masyarakat.

Beberapa hari lalu seorang kawan pengusaha menelpon saya bahwa pekerjaan konstruksinya di Flores Nusa Tenggara Timur terhambat. Pertama karena susahnya dana pemerintah cair, dan terutama (kedua) menurunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sehingga harga material dan bahan baku konstruksi terus naik. Menimbang hal itu untuk sementara ia menghentikan pekerjaannya di Flores. Apalagi katanya, waktu tempuh dari Kupang menuju Flores sekira 12 jam perjalanan darat.

Sejak enam bulan lalu kawan saya seorang pengusaha pertambangan mengalami keterpurukan usaha. Konon berubahnya aturan dan sistem dalam bisnis pertambangan menjadi pulukan telak bagi pengusaha pertambangan. Belum lagi korupsi yang melanda dunia pertambangan sejak terbongkarnya kasus Rudy Rubiandini serta jaringan mafia migas yang sempat ramai menjelang Pilpres 2014 lalu. Entah sampai kapan. Yang pasti kawan saya yang tahun lalu tergolong milyader kini sepertinya kurang gairah dan ghirah lagi menekuni bisnis pertambangan.

Padahal, sebagaimana pemberitaan media massa, jumlah ekonom dan ahli ekonomi Indonesia alumni almamater ternama di Amerika Serikat dan Eropa cukup banyak. Padahal secara intelektual di negeri kita tidak kekurangan orang pandai yang paham seluk beluk ekonomi untuk mendongkrak produk domestik bruto maupun keuntungan finansial negara. Padahal pula  berbagai janji yang disampaikan pejabat negara tentang akan membaiknya ekonomi Indonesia pada kuartal ketiga tahun 2015 ini –hingga kini sama sekali tidak terbukti.

Termasuk apa yang dikatakan Presiden Jokowi bahwa uang kita masih banyak. Ekonomi kita aman. Cadangan devisa masih mampu membiayai seluruh pengeluaran, dan sebagainya. Ujaran sang presiden agaknya dimaknakan sebagai “penyejuk” untuk tidak menambah besar riak ekonomi yang sudah pada tingkat parah ini.

Laju perkembangan ekonomi Tanah Air akhir-akhir ini cukup mencemaskan. Rupiah terus melorot ke ambang paling kritis seperti saat krisis moneter 1998. Gelombang PHK pun makin nyata. Tak hanya itu, ketersediaan dan harga kebutuhan pokok semakin tak terjangkau oleh masyarakat miskin. Prediksi pemerintahan Presiden RI Joko Widodo bahwa pertumbuhan ekonomi akan meroket di kuartal terakhir tahun ini juga meleset. Hal ini lantaran rendahnya penyerapan fiskal serta merosotnya investasi riil. Celakanya lagi, utang luar negeri diam-diam terus dilakukan pemerintah.

Destruksi Krisis Ekonomi

Disamping itu daya beli masyarakat terus melemah akibat merosotnya produktivitas masyarakat.  "Semua ini mengingatkan kita pada ancaman fenomena failed state atau negara gagal," kata juru bicara Partai Demokrat, Kastorius Sinaga, sebagaimana dikutip Harian Republika. Fenomena negara gagal tidak hanya ditandai oleh pertikaian politik seperti di negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Untuk negara-negara demokratis baru atau emerging market seperti Indonesia, gejala negara gagal selalu dimulai dari ranah ekonomi dan kapabilitas negara di dalam mengelola krisis yang muncul dari sektor ekonomi. 

Pemerintah Jokowi-JK harus menyadari ini dan jangan menganggap remeh akan kemungkinan munculnya spiral destruksi krisis ekonomi yang dialami Indonesia saat ini. Saat ini kalangan masyarakat menengah ke bawah mengalami tekanan krisis yang sangat hebat. Dan tidak jelasnya langkah yang dilakukan demi perbaikan ekonomi dapatlah dikatakan para pemimpin negara ini gagap. Gagap dalam mencari penyelesaian sehingga dinamika ekonomi masyarakat kembali berderak, kembali tumbuh dan berkembang. Tidak terjebak pada asumsi dan janji belaka bahwa pada tahun depan (2016) ekonomi Indonesia akan membaik.

Jikalau kenyataan ini tidak segera ditangani maka bisa mengerus tingkat kepercayaan masyarakat terhadap kapasitas pemerintah di berbagai bidang, seperti ekonomi, hukum dan jaring pengaman sosial.

Kegaduhan politik di tingkat elit kabinet dan parlemen secara langsung telah mengkikis harapan mereka akan adanya perbaikan dari ranah elit politik. Semua ini, ibarat bom waktu yang bisa menghantar Indonesia ke ambang negara gagal. Kegagalan yang seharusnya tidak terjadi seandainya segera ditemukan format ekonomi nasional untuk keluar dari ancaman krisis ekonomi sebagaimana pernah berlangsung menjelang tahun 1998 lalu.

Bukankah gagal dari sisi ekonomi yang berujung pada gejolak politik? Dan jika terjadi gejolak politik maka kategorisasi Negara Gagal semakin terbukti. Untuk itu, pemerintah harus bekerja ekstra keras untuk mengendalikan krisis dan memberi signal positif ke masyarakat akan adanya tanda-tanda perbaikan ekonomi. Jangan saling sibuk menyalahkan dan berlindung di balik kesulitan faktor global.

Untuk itu pula diperlukan kerja keras dan sungguh-sungguh dalam membenahi faktor internal. Di dalam negeri, terutama di aras pemerintahan dan birokrasi –sebaiknya dilakukan perombakan total dan kejelasan punishment terhadap birokrat yang melanggar  kewenangan dalam hal keuangan. Korupsi dengan kata lain harus diusut tuntas dan transparan. Yang paling penting untuk tidak dikatakan gagal dan gagap, tentu saja pemerintah mesti segera mencanangkan suatu gerakan nasional berbasis perbaikan kembali ekonomi masyarakat untuk menghindari destruksi krisis ekonomi.***

(rr/DK)