www.beningpost.com

Saya baru saja selesai bernostalgia menonton film The Godfather I, II, III. Sangat inspiratif dan memberi sedikit clue tentang hingar-bingar perpolitikan nasional. Dalam The Godfather I, Vito Corleone sebagai salah satu tokoh sentral, kerap membuat iri tokoh-tokoh mafia lain karena koneksi politiknya yang kuat, sehingga mereka meminta agar Vito Corleone mau sharing dengan mereka dalam ‘mengendalikan’ para politisi dan penegak hukum tersebut.

Salah seorang tokoh mafia yang juga penyalur heroin, Virgil Sollozzo, mencoba mengajak Vito Corleone untuk berkongsi dalam bisnis. Tapi ajakan ini ditolak mentah-mentah oleh Don Vito karena menurutnya bisnis narkoba tidak baik dan akan merusak koneksi politik yang membuat bisnis keluarga Corleone selama ini berjalan lancar

Corleone berkata kepada Sollozzo:

“I must say ‘no’ to you …. It's true, I have a lot of friends
in politics, but they wouldn't be friendly very long if they knew my business was drugs
instead of gambling, which they rule that as a harmless vice. But drugs is a dirty business.”

Jika para mafioso dan pebisnis pada umumnya membutuhkan dukungan para politisi dan penegak hukum;  maka politisi dan penegak hukum membutuhkan dukungan publik. Untuk itu, mereka harus pintar memahami isu-isu kunci yang menjadi penentu dukungan publik bagi kepentingan jangka panjang mereka.

Dalam kancah politik nasional saat ini, bagi saya PDIP dan Jokowi sudah berperilaku seperti mafioso yang melalukan dirty business. Jokowi mengangkat orang-orang yang tidak kompeten atau memiliki reputasi meragukan menjadi Jaksa Agung, Menteri atau Wantimpres. Ini bukan yang publik harapkan. Tapi that’s fine. Ini ibarat bisnis perjudian di kalangan mafioso yang tidak secara langsung menyentuh kepentingan publik.

Jokowi dan PDIP menggunakan tangan tersembunyi mengobok-obok Partai Golkar dan PPP  sehingga berpotensi merusak tatanan politik dalam negeri dan melahirkan pemerintahan ‘diktator’ karena proses check and balance yang tidak berjalan baik. Penghancuran partai oposisi bukan politik ala Jokowi yang publik harapkan. Tapi it’s no big deal juga. Publik tidak terlalu peduli dengan norma kepartaian dan sebagian muak dengan perilaku politisi dan partai politik. Ini ibarat bisnis prostitusi di kalangan mafioso.

Tapi ketika PDIP dan Jokowi memaksakan Budi Gunawan “rekening gendut” menjadi calon tunggal Kapolri yang kemudian memicu kriminalisasi KPK, maka mayoritas publik dari kalangan pengusaha kaya hingga tukang ojeg paham bahwa Jokowi dan PDIP tengah bermain api dalam isu pemberantasan korupsi—isu yang sangat sensitif di mata pubik dan telah membuat jatuh Partai Demokrat.

Dalam kacamata Vito Corleone, PDIP dan Jokowi sudah mencoba masuk bisnis narkoba yang membuat publik ill feel dan sadar bahwa mereka telah salah memilih PDIP dan Jokowi di pemilu lalu.

Saya 99.9% yakin Jokowi tidak akan melantik Budi Gunawan menjadi Kapolri. Tapi ‘luka politik’ yang ditinggalkan di diri Jokowi dan PDIP sulit untuk dipulihkan. Kegagapan Jokowi dalam mencari solusi kasus Budi Gunawan dan kriminalisasi telah mengaburkan kualitas kenegarawanannya yang sempat dipuji setinggi langit oleh banyak pihak.

Bagi saya, identitas politik Jokowi saat ini tidak berbeda dengan nasib mobil esemka yang menjadi kendaraan politik pertama Jokowi menuju kursi kepresidenan.

Tindakan penyelamatan PDIP oleh Hasto dkk. dengan membeberkan pertemuan dengan Abraham Samad untuk meng-counter isu kriminalisasi KPK tidak akan banyak membantu memulihkan citra PDIP sebagai partai pro-koruptor dan anti-pemberantasan korupsi.

Jika memakai kiasan bursa saham, Jokowi dan PDIP adalah saham berharga tinggi atau blue chip stocks yang sudah downgrade menjadi saham murahan atau penny stocks. Saya memperkirakan para pialang ‘saham politik’ mulai serius mempertimbangkan jual cepat atau short sell ‘saham’ Jokowo dan PDIP karena kasus Budi Gunawan vs KPK membuka mata publik bahwa mereka tidak bisa berharap banyak dari pemenang pilpres dan pileg 2014 tersebut.

Konsekuensi terdekat yang segera kita saksikan adalah PDIP akan kedodoran di pemilukada karena yel-yel ‘tolak kenaikan BBM’ dan ‘tolak politisi korup’ akan terdengar janggal jika keluar dari mulut politisi PDIP. Konsekuensi lain adalah Jokowi yang baru memimpin selama 100 hari akan mulai ditinggalkan para pendukungnya.

Lupakan pemerintahanan Jokowi Periode II. Gaung ‘Susi for President’ atau ‘Susi for 2019’ mungkin tidak lama lagi akan membahana karena menteri lulusan SMP ini lebih bernyali dari presiden lulusan UGM. Selain Susi, tokoh-tokoh alternatif lain akan mulai dicari para pialang saham politik untuk 2019.

Ahok for 2019? Forget it! Bagi sebagian kalangan Ahok tak lebih dari pejabat publik yang malas dan bernyali rendah karena mencari popularitas di kalangan pegawai pemda DKI dengan cara ‘menyogok’ mereka dengan gaji dan tunjangan yang gila-gilaan, di tengah naiknya popularitas partai-partai KMP, termasuk partai pengusungnya, Gerindra, yang sudah ditinggalkannya.

Memanjakan pegawai Pemda DKI dengan gaji dan tunjangan yang menggiurkan tidak menjamin kenaikan kinerja dan hilangnya praktek KKN di DKI. Mengelola karyawan atau pegawai yang baik selalu memasukkan unsur nurturing yang sifatnya edukatif. Itulah sebabnya orang tua bertanggung jawab dengan masa depan anak-anak, misalnya, tidak akan memberi mereka uang jajan berlebihan atau akses Internet cepat 24 jam karena ini tidak baik bagi bagi masa depan mereka.

Jadi kita akan segera melihat orang-orang bicara tentang Jokowi (dan Ahok) sebagai tokoh-tokoh masa lalu; dan menyaksikan dimulainya prequel Pemilu 2019 dengan tokoh-tokoh muda baru yang lebih menjanjikan!

(rr/MN)