news.okezone.com

PERNYATAAN kontroversi Kabreskim Mabes Polri Budi Waseso bahwa ia adalah orangnya Budi Gunawan, memancing polemik. Terlebih dalam kasus penangkapan paksa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Wijoyanto. Budi Waseso sepertinya ingin membuktikan bahwa KPK bukan lembaga super body dan untouchable. Nyatanya ia bisa memborgol BW di tengah jalan tanpa surat pemberitahuan terlebih dahulu.

Kisah penangkapan BW yang mengundang reaksi keras berbagai kalangan akhirnya terpaut dengan sejumlah praduga politik. Praduga yang tak bermula dari pencopotan Kapolri Sutarman, rekening gendut Budi Gunawan, penundaan pelantikan Kapolri yang sudah lolos uji kelayakan di DPR, hingga isu Mega lawan SBY. Tak pelak melebar kepada sikap Presiden Jokowi yang tidak tegas serta kembali dituding sebagai petugas partai yang manut kepada Megawati.

Jagat politik Indonesia Januari 2015 begitu berkilau memancarkan ribuan cahaya ke langit. Pantulan cahaya itu menyilaukan pandangan mata hingga tak jelas dan tak mampu membedakan warna. Warna cahaya satu dengan yang lain berebut pamor untuk eksis. Ribuan cahaya itu melupakan esensi pembelaan rakyat yang menghendaki adanya satu cahaya dominan untuk memastikan kuasa rakyat. Rakyat yang ingin agar akar korupsi segera terbongkar semakin tak paham ke mana arah pemberantasan korupsi di Indonesia. Ketidakpahaman yang berlangsung lantaran kepolisian sebagai bagian institusi pemberantasan korupsi membuka front berhadapan dengan KPK.

Bola salju terus bergulir. Aktivis antikorupsi dihadapkan pada kenyataan pahit: Kepentingan politik masih kukuh bertengger di atas pemulihan transparansi keuangan rakyat. Padahal di Universitas Tokyo tahun 2014 lalu Dr. Rimawan Pradityo dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Gadjah Mada, mengatakan bahwa kasus korupsi yang ditangani KPK lebih lebih cepat 39,77 persen dibandingkan dengan kasus yang ditangani institusi penegak hukum lain. Hal ini mengindikasikan pengaruh positif dari kinerja KPK kepada seluruh aparat penegak hukum, baik KPK, Kepolisian, dan Kejaksaan.

Kinerja itu tak lepas dari peran Polri karena telah memiliki struktur organisasi mulai dari pusat hingga ke desa sehingga sangat efektif jika digerakan untuk pemberantasan korupsi uang negara dan rakyat hingga ke kecamatan dan desa. Selain KPK, Polri dan Kejaksaan adalah dua institusi negara yang punya hak menyelidiki dan menyeret koruptor ke pengadilan, namun dalam kenyataannya, masyarakat belum melihat gebrakan dan prestasi pemberantasan korupsi dari Polri dan Kejaksaan. Dalam prakteknya, kerjasama pemberantasan korupsi oleh kepolisian dan kejaksaan sering tidak sampai ke pengadilan, karena menyangkut di tengah jalan. Sementara KPK dan Kejaksaan tidak punya perangkat organisasi dan SDM hingga desa. Jalin kerjasama itulah yang memungkinkan optimalisasi penanganan korupsi.

Itu sebabnya mantan Kapolri Da'i Bachtiar mengatakan, KPK perlu memanfaatkan Polri dalam pemberantasan korupsi. Lahirnya KPK juga didukung oleh para staf Polri dan Kejaksaan yang terbaik sehingga KPK bisa seperti saat ini. Seringkali, katanya, berkas korupsi dari kepolisian dikembalikan oleh kejaksaan sehingga kasus korupsi mandek di tengah jalan. Tapi tergantung dari niat dan siapa yang bermain di belakang.

Apa jadinya setelah Polri berhadapan dengan KPK? Masih mungkinkah terjalin kerjasama keduanya dalam pemberantasan korupsi? Pertanyaan ini merupakan pertanyaan getir yang diam-diam menggumpal dalam ingatan kolektif rakyat Indonesia. Pertanyaan yang dilandasi keinginan luhur bahwa sebagai sesama penegak hukum seharusnya senantiasa tercipta harmonisasi sehingga meski ribuan cahaya memancar ke langit namun tetap ada warna dominan. Warna dominan itu ialah adanya kepastian serta kesungguhan memberantas tindak korupsi. Meski korupsi itu dilakukan oleh petinggi negara yang memiliki senjata.

Tegas

Banyak kalangan menuntut ketegasan Jokowi untuk menghentikan karut marut ini. Ketidaktegasan Jokowi membuat masalah ini terus menerus jadi bulan-bulanan dan olok-olok bahwa ia tak lebih sebagai petugas partai yang masih berpikir parsial. Ketidaktegasan Jokowi yang dituntut lantaran ia disematkan sebagai pemimpin yang sepakat untuk memberantas korupsi sejak kampanye pilpres tahun lalu. Kini ketegasan itu dituntut pembuktiannya. Bila saja Jokowi tegas membatalkan Budi Gunawan, mencopot Budi Waseso, memulihkan KPK dari campur tangan PDIP --ia tak sekadar memperoleh dukungan rakyat, lebih jauh lagi ia tidak akan selalu dikaitkan dengan stigma petugas partai.

Melihat sikap Jokowi yang demikian, berbagai pengguna media sosial kian sarat dengan rumor menyangkut ambivalensi yang diperlihatkannya. Bahkan ancaman pencabutan dukungan kepada Jokowi oleh relawan yang dulu berpartisipasi aktif menggalang dan bekerja untuknya tak terhindarkan. Jangan ditanya lagi perbincangan di berbagai forum: Semua menyalahkan sikap tak jelas Jokowi.

Pemberantasan korupsi memang bukan soal mudah dan sepele. Namun ia harus dilakukan, selain untuk mengamankan keuangan negara, pemberantasan korupsi menandakan keberpihakan yang nyata terhadap transparansi publik. Kita kadung percaya sejak jargon pemerintahan yang bersih dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme pada pemerintahan BJ Habibie diundangkan. Dengan demikian seharusnya jangan menghianati kepercayaan publih yang kini tengah demam upaya antikorupsi.

Publik sudah angkat jempol bagi Jokowi setelah penenggelaman kapal-kapal ikan asing atas usul Menteri Susi Pudjiastuti. Begitu pula ia memperoleh applaus manakala 6 (enam) gembong narkoba dihukum mati di LP Nusakambangan beberapa waktu lalu. Publik kini menunggu ketegasan Jokowi lagi dalam karut marut Polri vs. KPK agar upaya pemberantasan korupsi dapat berlangsung dengan menepis kuatnya unsur kepentingan partai politik.

Sebaliknya ketika Jokowi hanya berpikir normatif, menyerahkan semuanya kepada/melalui proses hukum; maka penurunan popularitas diam-diam tengah dibangunnya sendiri. Penurunan popularitas itu berakibat melemahnya tingkat kepercayaan masyarakat Indonesia kepadanya. Kepercayaan yang susah payah dibangun Jokowi and his gank, seketika runtuh apabila Jokowi gagal menggunakan hak prerogatifnya sebagai Panglima Tertinggi.

Mencermati perkembangan politik Indonesia belakangan ini, setidaknya ada dua hal penting yang patut diketengahkan. Dua hal tersebut adalah, pertama keseriusan pemberantasan korupsi. Kedua, momentum ketegasan sikap politik Jokowi untuk berani berbeda dengan PDIP. Sampai kapan Jokowi manut kepada PDIP? Semoga keberanian/ ketegasan sikap politik Jokowi muncul setelah pertemuan Bogor 29 Januari dengan Prabowo Subianto. ***

(rr)