inilah

Sewindu haul Cak Nur, yang berlangsung Kamis, 29 Agustus kemarin berlangsung semarak, khidmat, dan mencipratkan aura positif dan menebar inspirasi indah dalam jiwa para hadirin. Ratusan orang memenuhi aula utama Gedung Radjawali Nusantara Indonesia (RNI), Kuningan, Jakarta. Berkumpul di sana, keluarga, murid, kolega, dan pengagum pemikiran beliau. Cak Nur—sebagaimana Gus Dur—tidak hanya dicintai umat Islam. Non-muslim menyintainya. Mereka turut hadir. Saya lihat beberap pendeta, romo dan bikhu ikut hadir di sana. Melihat semua itu, saya lega dan optimis. Bangsa dan umat beragama di Indonesia sangat waras, sehat akalnya, dan nuraninya bening. Mereka rindu pribadi yang jernih, sejuk, bervisi keragamaan, mau hidup harmonis dalam perbedaan, dan menawarkan solusi bagi problem kemanusiaan.  

ISLAM ITU CARA HIDUP BAIK DAN  LURUS

Saya tahu nama Cak Nur awal pertama saat jadi ustadz di Gontor. Suatu hari, di dapur khusus untuk para ustadz, cover buku Islam Doktrin dan Peradaban bergantung di papan pengumuman Dewan Mahasiswa. Menurut banyak pihak, buku ini merupakan magnum opus beliau. Ada kertas putih disediakan bagi mereka yang mau berkomentar. Seingat saya, banyak komentar tak simpatik, sinis, ada kalimat kasar, dan sepertinyaasbun. Saya tidak tahu apa para ustadz itu sudah membaca dan memahami isi buku itu. Sebagai ustadz baru, saya belum paham, sangat awam, tidak ikut menulis komentar. Belum sampai maqam saya. 

Apa yang menarik dari pemikiran Cak Nur? Kelak, bila ada kesempatan, saya akan tulis sisi personal beliau. Sebuah pribadi yang bersahaja, santun dan penikmat keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Dulu, saat nyantri dan jadi ustadz di Gontor, saya awam tentang Islam. Secara sosio-budaya, tentu saya NU totok. Islam itu baca syahadatain, shalat, puasa, zakat, haji, dzikir asma’ al-husna, yasinan, selamatan, tahlilan, jimat dan “amalan-amalan” kanuragan dan senang hal-hal mistik. Ini dimensi ibadah, ritual dan tradisi keagamaan. Tapi tidak cukup bila hanya mengerjakannya secara mekanistik. Harus ada internalisasi pesan moralnya, diobyektifkan, biar sekadar jadi jargon dan diceramahkan, dikontekstualisasikan agar bermakna searah seruan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Bila tidak, sampai kiamat pun umat Islam hanya puas di atas mimbar, majelis taklim dan tak pernah mencapai kembali  peradaban emasnya.  

Islam, sebagaimana kemudian saya belajar dari Cak Nur, adalah ajaran dan nilai-nilai kebaikan. Etos kemajuan dan ruh peradaban. Sudah pernah tercapai sebelumnya. Agama ini merupakan panduan hidup, cahaya akal dan jiwa manusia untuk kehidupan. Kaum muslimin memang banyak. Tapi, nilai-nilai kebenaran, cara hidup lurus, penuh kepasrahan kepada Tuhan tidak akrab dalam hidup kita. Korupsi, alam digunduli, moralitas amburadul, generasi tanpa karakter, saling menindas, keadilan dikebiri, ekonomi dan pendidikan umat terbelakang dan kaum muslimin justru jadi beban peradaban. Salah satu tawaran Cak Nur adalah, beliau menawarkan Islam pada  makna generiknya. Islam itu pola hidup pasrah, lurus akhlak, hidup bermoral luhur dan nikmat  dalam sinar kebenaran Ilahi.  

Islam, tak cukup sekadar klaim. Atau dicantum sebagai asasi dalam organisasi. Juga hanya diteriakkan dengan keras di jalanan. Saat PKS terjerembab dalam kasus kuota impor daging, kita semakin insyaf  jargon “Islam Yes Partai Islam No”, yang Cak Nur tebarkan dalam kesadaran publik tetap akan relevan. Jangan terpesona dengan baju, pekikan, sekadar embel-embel semata. Cak menyadarkan kita bahwa Islam itu harus dimplementasikan. Sekedar mengaku seorang muslim, tanpa bukti ketundukan dan kepasrahan kepada nilai-nilai yang Allah ajarkan tak beda dengan robot. Tubuh tanpa jiwa.  

Dulu, sewaktu masih santri di Gontor, bahkan sampai sebelum berkenanlan Cak Nur,  saya rasa keislaman saya bersifat eksklusif, harfiyah, tidak memahami konteks teks, dan bernafsu memusuhi non-muslim. Saya ingat, bila mengadakan perkemahan pramuka, saya bersemangat, teriak-teriak dan siap baku hantam pakai  tongkat bambu di daerah-daerah kristenisasi Seakan-akan berantem, atau melakukan kekerasan kepada non-muslim jalan pahal dan tiket ke surga. Cak Nur lah yang menawarkan sikap ramah, teduh, harmonis dan dialogis dalam perbedaan. Ibrahim bapak 3 agama (Abrahamic religion) itu saya kenal awal dari buku-buku Cak Nur. Saya yakin, elaborasi mendalam tentang tiga saudara kandung awal pertama dikenalkan oleh beliau.  

Yakin saya, Cak Nur itu ustadz kata dan kalimat yang tidak menusuk dan meyakiti. Bila kita membaca karya-karya intelektual beliau, yang kita temukan adalah narasi, kata dan kalimat yang mendalam, penuh informasi, dan kuat data. Mengajak kita berpikir, memperluas wawasan, dan menawarkan kearifan. Tidak akan ditemukan kata dan kalimat kasar, melukai hati pembaca dan mengotori hati penyimaknya. Salah satu kalimat yang beliau ajarkan adalah  “al-hanafiyat al-samhah”, semangat dan sikap beragama yang lapang. Tidak merasa paling benar, paling paham dan seakan-akan wakil Tuhan. Pun saya memahami sebagai sikap positif untuk menerima ajaran, pemahaman, dan ideologi apapun sepanjang memuat ajaran keadilan, kebenaran, kebijakan dan keindahan. Tuhan bisa bersemayam dalam hati manusia. Makhluk Tuhan paling mulia dan terhormat. 

Sebagai informasi, karya tulis saya untuk program master di ICAS-Paramadina bertemakan hak asasi manusia (HAM). Sebagaimana ditegaskan oleh Kiai Husein Muhammad, wacana tentang pentingnya memahami dan menghormati posisi agung manusia ini awak pertama dielaborasi oleh Cak Nur. Beliau lah yang menegaskan, bahwa deklarasi awal wacana ini terjadi saat Nabi Muhammad melakukan Haji Wada’ di Padang Arafah. Tiga (3) tiang utamanya: dima’, amwal, a’radh (soul, property & dignity). Sayang sekali sekalipun, sebagian kita berkali-kali wukuf, wawasan kita berat untuk memahami, apalagi menghormati dan melindungi penegakannya dalam riil kehidupan.  

Tanpa maksud hiperbolistik, bisa saja benar bila ada yang mengatakan: Indonesia tidak akan pernah total jadi lahan  Islam keras, konservatif, radikal dan ortodoks. Ibarat 2 wajah dalam koin uang, saat sebagian muslim berghirah tinggi menampilkan wajah monster, mudah mengkafirkan, alergi perbedaan, dan anti kebhinekaan, saat yang sama gelombang jiwa yang rindu hidup damai, senyum dalam perbedaan, harmonis dalam kebhinekaan juga menguat. Jiwa-jiwa yang rindu menerapkan sifat rahman. Sifat yang tidak diskriminatif dan tidak bersekat apapun.  

Saya yakin, saat ini kita sangat butuh tafsir Islam Cak Nur. Kita butuh Islam yang mampu menyatukan hati, perasaan dan jiwa bangsa. Kita harus membunyikan tegas-tegas pentingnya berdamai dalam perbedaan. Kita harus bukakan mata sebagian saudara kita yang rabun melihat indahnya kebhinekaan. Kita harus menyadarkan bahwa sebagian kita yang bersemangat untuk mengimpor aura Islam panas ala padang pasir. Kita harus pahamkan, Indonesia adalah  sepetak surga di dunia sebelum surga yang sesungguhnya. Ayo kita lakukan edukasi publik dengan Islam dalam tafsir Cak Nur! (msm)