Dadang Kusnandar* - BeningPost
Menambah catatan pada kolom saya di BeningPost 27 Juni 2012 yang berjudul Cirebon vis a vis Kompeni, ada tambahan data yang patut diketengahkan bahwa Cirebon saat itu tidak hanya mengalami konflik politik teramat berat lantaran kekuatan VOC mengharubiru Nusantara. Kekuatan VOC dengan kepiawaiannya memasuki ranah kebudayaan Jawa dan Cirebon khususnya memastikan kekuatan agama Islam sebagai benteng pertahanan yang harus diperkuat. Benteng dimaksud tak lain adalah keinginan kuat warga masyarakat yang telah memeluk agama Islam untuk lebih memahami serta mendalami ajaran suci agama yang dibawa melalui jalur perdagangan laut sejumlah saudagar ini di Kesultanan Kanoman Cirebon.
Cirebon akhir abad 17 Masehi dalam sejarah adalah masa keemasan ketika pribumisasi islam ~pinjam istilah Gus Dur~ disebarkan melalui pendekatan kultural. Kesultanan Cirebon yang terbagi dua karena Sultan Banten Ki Ageung Tirtayasa menobatkan pangeran keturunan Putra Panembahan Adining Kusuma (Kerajaan Mataram) yakni Pangeran Badriddin Kartawijaya dan Pangeran Syamsuddin Martawijaya. Kartawijaya bergelar Sultan Anom dan Martawijaya bergelar Sultan Sepuh. Maka berdirilah dua kesultanan di Cirebon yakni Kesultanan Kanoman dan Kesultanan Kasepuhan.
Ada yang menarik dari kisah sejarah kerajaan Islam di Jawa saat itu. Banten yang mengalami puncak kekuasaan pada pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa, Mataram Yogyakarta yang juga mengalami puncak keemasan pada pemerintahan Sultan Agung turut membidani lahirnya dua kesultanan Cirebon. Namun ia bukan bernama hegemoni politik dan kekuasaan, melainkan lebih karena pernikahan antarkeluarga kesultanan. Cirebon, Banten, dan Mataram terikat hubungan darah lalu melahirkan keturunan untuk meneruskan peradaban Islam yang harus dikawal hingga kini.
Tahun 1677 Masehi merupakan tahun peresmian Kesultanan Kanoman. Ajaran agama Islam menempati posisi unggul hingga mendatangkan para pencari ilmu agama. Kehadiran santri para pencari ilmu tak urung menginspirasi seniman kesultanan Kanoman untuk memvisualisasi aktivas keagamaan itu dalam bentuk kesenian. Demikian Kemantren hadir. Kemantren sebagaimana dijelaskan semula, merupakan visualisasi seni ketika sekumpulan santri tengah asik memperdalam ajaran agama Islam. Kemantren diambil dari kata mantri, kemantrian, kemantren yang artinya ahli atau orang yang bertugas tentang urusan khusus yang membawahi beberapa desa. Mafhum terjadi pada bahasa daerah Jawa Barat seseorang yang ahli di bidang pengairan dinamakan mantri cai, ahli khitan dinamakan mantri sunat, ahli pertanian dinamakan mantri pertanian dan sebagainya. Padanan kata mantri dalam bahasa Cirebon juga biasa dinamakan juru (misalnya juru tulis, juru runding).
Keraton Kanoman Cirebon pada kirab budaya Festival Keraton Nusantara (FKN) Buton September 2012 akan menggelar Kemantren. Diawaki sekira 55 orang yang terdiri atas Prajurit Tumbak Pancaran, Prajurit Kemantren Dalem Keraton, Payung Agung, Keluarga Kesultanan Kanoman, Gamelan Keraton, Prajurit Jagabayan dan Jagasatru.
Tumbak Pancaran bermakna memancarkan (cahaya) maka posisinya harus berhadapan dengan pasukan kirab. Pancaran (cahaya dan wewangian dari pedupan/dupa) bukan mistifikasi, akan tetapi mengabdi kepada sesuatu yang lumayan (ini sering dinamakan kebul menyan). Di antara Prajurit Kemantren Dalem Keraton ada Manggala Yudha dan Duaja Naga Banda. Manggala Yudha artinya komandan, sementara Duaja Naga Banda yang diperagakan tiga prajurit dengan membawa panji bergambar Macan Ali, Kesultanan Kanoman dan Panji berwana kuning merah tanpa gambar sebagai penanda keagungan dan kesejukan. Naga Banda sendiri adalah tombak dengan ujung berbentuk tiga kepala naga menyatu. Maknanya adalah tri tunggal ika, merujuk dari kata silih asah, silih asih dan silih asuh ~filosofi indah dari Kerajaan Pajajaran.
Di barisan berikutnya Mahapatih Kesultanan Kanoman yang dipayungi oleh Prajuit Pemayung Agung dengan pengawalan Prajurit Jagasatru yang bersenjata pedang, lalu barisan Keluarga Kesultanan, Pasukan umbul-umbul perlambang kebesaran, yang diiringi oleh nayaga penabuh Gamelan Keraton, dan diakhiri oleh penjagaan pasukan tombak dari Prajurit Jagabayan.
Kirab agung ini sama dan sebanding dengan makna ajaran agama bagi manusia dan kehidupan. Cahaya yang terpancar harus menerangi kegelapan ~dalam bahasa Islam: minadh dhulumati ilannur. Komandan sepadan dengan ahli atau ulama yang mengajarkan keilmuan duniawi dan ukhrawi. Naga Banda senapas dengan kesadaran atas diri bahwa dalam hidup setiap kita harus senantiasa memelihara silih asah, silih asih (kasih sayang) dan silih asuh. Adaptasi keilmuan Kerajaan Pajajaran menerakan bahwa Kerajaan Cirebon terkait erat dengan Pajajaran, utamanya ketika dipimpin Prabu Siliwangi. Itu sebabnya logo macan ditetapkan sebagai lambang Kesultanan Kanoman. Namun karena telah menganut agama Islam, simbol itu pun dinamai Macan Ali, adopsi dari sahabat Nabi Muhammad saw yakni Ali bin Abi Thalib.
Agama Islam yang akhirnya menjadi agama resmi kesultanan harus terus dapat memancarkan cahanya kepada semua orang. Mahapatih dan Prajurit yang melindungi rakyat. Perlindungan dan rasa nyaman beragama itulah yang dalam kata-kata Ratu Raja Arimbi Nurtina (juru bicara Kesultanan Kanoman pada FKN Buton) menjadi kekuatan Kesultanan Kanoman menjaga peradaban Islam. Senada dengannya, Patih Pangeran Raja Mochamad Qodiran menyebut Kanoman sebagai pusat peradaban Kesultanan Cirebon. Sedangkan menurut Pangeran Mamat Nurachmat, Koordinator Seni dan Budaya Kesultanan Kanoman pada PKN Buton, “Banyak tradisi Cirebon yang terus dipertahankan di Kanoman, namun sayang sepi publikasi”.
Di tempat terpisah, Sultan Kanoman Sultan Raja Mochamad Emirudin mengatakan, “Usaha mempertahankan tradisi Cirebon yang berbasis ajaran agama Islam menandakan bahwa Kanoman sampai sekarang tetap berpegang pada kemuliaan yang memancarkan cahaya”. Sultan Emirudin menambahkan, “Ada pun penetrasi budaya yang tampak dalam visualisasi kesenian, pada mulanya adalah rutinitas dan keasikan para santri memperdalam ajaran agama Islam.”
Event budaya dan atau pentas kesenian, bagi Kesultanan Kanoman Cirebon tak pelak merupakan sarana dakwah agama Islam. Ini terbukti dengan kesiapan yang tampak pada FKN Buton dengan menampilkan kemantren sebagai pembuka acara. Kebudayaan Cirebon terkait dengan kekuatan pengaruh agama Islam.
*Penulis lepas, tinggal di Cirebon
Posted: 20/08/2012 21:31:42 WIB