Foto: Prareswara

Isu carut marutnya pendidikan tinggi di Indonesia kini semakin terasa bahkan cenderung memanas. Tercatat setidaknya sudah 4 kampus yaitu UNDIP, UB, UNNES, dan UGM, melancarkan usaha terakhir berupa aksi massa, setelah upaya silaturahmi, audiensi, dan advokasi tidak membuahkan hasil.

Hal ini berkenaan dengan munculnya landasan hukum dari pemerintah yang memberikan ruang kepada perguruan tinggi untuk melaksanakan komersialisasi di bidang pendidikan, sehingga dunia pendidikan menjadi sebuah komoditas baru, bukan lagi sebagai aspek pembangunan manusia.

Selain itu, rendahnya pemasukan negara berimplikasi pada menurunya Bantuan Operasional Perguruan Tinggi Negeri (BOPTN), sehingga pihak kampus harus memutar otak untuk mendapatkan income yang dapat menutupi kekurangan ini.

Kini kampus ibukota, Universitas Negeri Jakarta pun merasakan efek domino dari fenomena ini. Tahun ini terjadi kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) di seluruh program studi dengan alasan yang sangat normatif. Menggunakan rumus Biaya Kuliah Tunggal (BKT) = BOPTN + UKT, secara otomatis BOPTN yang turun akan meningkatkan nominal UKT. 

Dengan pernyataan ini dapat terlihat bahwa mahasiswa dijadikan tumbal untuk memenuhi kebutuhan kampus. Padahal, untuk memenuhi kebutuhan kampus TIDAK HANYA mengandalkan UKT, tetapi juga mengoptimalkan berbagai sektor seperti badan usaha dan pemasukan riset.

Pimpinan cenderung mengambil jalan pintas yang instan dalam menanggapi kisruh pendidikan nasional, dan belum muncul itikad baik dalam pemenuhan 100% BKT melalui pemasukan non UKT.

Peraturan menteri mengenai besaran nominal UKT pada tahun 2016 sebenarnya belum di rilis. Artinya, sandaran hukum UNJ dalam menentukan besaran nominal UKT masih mengacu pada Permenristek tahun 2015.

Bila seperti itu, seharusnya tidak ada kenaikan UKT bagi mahasiswa UNJ 2016. Lantas mengapa UKT naik? Ketika hal ini ditanyakan kepada jajaran wakil rektor I, II, dan III, ketiganya berdalih mengenai faktor inflasi negara, nilai tukar rupiah, pemenuhan kebutuhan internal kampus seperti pembangunan gedung Sarwahita dan  Parkiran, sehingga butuh pemasukan ekstra bagi kampus.

Lagi-lagi, mahasiswa dijadikan tumbal dalam penyelenggaraan pendidikan di kampus sendiri. Padahal dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, disebutkan  adanya kewajiban memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.

Mahasiswa geruduk kantor rektorat

Tidak hanya sampai disitu, konsistensi makna dari Uang Kuliah Tunggal mengalami krisis. Pasalnya, 2016 ini UNJ menetapkan besaran pungutan di luar UKT berupa uang pangkal dari mahasiswa yang diterima lewat jalur mandiri. Tidak tanggung-tanggung, jumlah yang ditetapkan sebesar Rp15.000.000,00.

Mengandalkan Permenristek No 22 tahun 2015, UNJ bersikukuh untuk mempertahankan nominal dan keberadaan uang pangkal tersebut. Bahkan pihak pimpinan UNJ mengatakan, “Kalau sampai ada perguruan tinggi lain yang berakreditasi A, dan memiliki uang pangkal lebih rendah dari UNJ, saya akan turunkan uang pangkal UNJ sebesar nominal kampus tersebut,” sebagaimana yang disebutkan dalam rilis yang diterima redaksi BeningPost.com, di Jakarta, Senin (30/5).

Semakin kuat saja asumsi kita bahwa pendidikan yang berkualitas pasti mahal.

Jumlah besaran uang pangkal sebesar itu pun tidak mampu dijelaskan secara gamblang peruntukannya. Terindikasi kuat, dana tersebut digunakan untuk menyukseskan program pembangunan 4 tower setara gedung R.A. Kartini di 4 Fakultas.

Lagi-lagi, mahasiswa dijadikan objek dalam peningkatan pemasukan anggaran pendidikan, tanpa adanya usaha lebih untuk menjamin keberlangsungan pendidikan tanpa memberatkan mahasiswa.

Adanya penarikan uang pangkal terhadap mahasiswa jalur mandiri ini jelas mendiskriminasi mereka, karena dibedakan dengan jalur masuk yang lain. Hal ini menjadi antithesis dengan UU No. 20 tahun 2003.

Pola kuota penerimaan mahasiswa SNMPTN sebesar 40%, SBMPTN 30%, dan Mandiri 30%, tetapi jika kuota 40% SNMPTN tidak terpenuhi maka akan dialihkan ke SBMPTN, begitu seterusnya hingga jalur mandiri.

Sementara pada pasal 9 Permenristekdikti No 22 tahun 2015, disebutkan bahwa hanya 20% mahasiswa dari jalur mandiri yang dikenakan uang pangkal. Artinya, kelebihan muatan sebesar 10% ditambah dengan alokasi kuota tambahan dari akumulasi SNMPTN dan SBMPTN akan memaksimalkan prosentase penarikan uang pangkal dari jalur mandiri, sementara UNJ belum mengantisipasi kemungkinan tersebut.

Berdasarkan kajian diatas, maka Aliansi Mahasiswa UNJ Bersatu meminta Rektor UNJ sebagai pemegang otoritas kampus untuk:

1. Menurunkan nominal UKT, minimal sama dengan tahun 2015
2. Mencabut keberadaan uang pangkal dan segala bentuk pungutan diluar UKT

 

(rr/RF)