muslim.or.id

ERA komunikasi dan kemudahan informasi disambut riang gembira. Agaknya hanya pengamat pendidikan atau komisi penyiaran yang kadang jadi jerih dengan lompatan era inkom ini. Bagi kaum muslim tentu saja hal ini menggembirakan. Terutama dalam kaitannya dengan dakwah bil qalam (bil tulisan) yang dapat disampaikan melalui smartphone di genggaman tangan.

Dakwah semakin variatif. Tanya jawab masalah apa pun dapat dilakukan tanpa tatap muka. Anjuran amar makruf nahi munkar secara santai dilakukan sambil berbaring. Semoga kemajuan inkom ini menggerakkan kita untuk mampu menempatkannya dalam rangka memacu dan memicu keimanan (yang kadang mudah jatuh bangun) kita.

Namun demikian, lantaran asiknya bermanja-manja dengan teknologi inkom, kita kebablasan. Kita menganggap bahwa memajang status di media sosial yang menceritakan amalan saleh kita sebagai sebuah kebajikan.

Alkisah, belum sepekan saya menerima posting ini melalui aplikasi whatsapp keluarga.  "Sering banget akhir akhir ini baca status media sosial yang isinya

“Alhamdulillah puasa hari pertama lancar, seneng banget”

“OTW masjid, mau tarawih”

“Alhamdulillah selesai muroja'ah 1 juz”

“Semoga puasaku lancar sampai beduk maghrib nanti”

“Rasanya tenang banget setelah sujud di sepertiga malam” dan seterusnya.

Urusan Privat

Sahabat fillah, simpanlah ibadahmu, jadikan sebagai privasi, tidak perlu publikasi ^^

Orang lain tidak perlu tahu, cukuplah Allah yang tahu. Simpanlah dengan rapat ibadahmu, seperti kamu menyimpan rapat aibmu. Tidak perlu dipublikasikan, karena itu tidak akan membuatmu mulia di mata mereka Mengingatkan itu beda dengan memamerkan. Sia- sia saja amalanmu jika akhirnya kau publikasikan.

“Jangankan kamu menghilangkan pahala sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan si penerima, seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia, dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu ia bersih (tidak bertanah), mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yg mereka usahakan” (QS Al-Baqarah : 264)

Sayang banget kan hanya karena sebuah status amalan kita jadi hilang sia sia. Udah capek-capek beribadah, tapi nggak dapet pahala gara gara riya? Duuuuhh…… naudzubillahi min dzalik.

Agama dan utamanya peribadatan kepada Yang Mahakuasa merupakan urusan privat. Ia ada di dalam ruang pribadi yang hanya diketahui oleh sang pelaku. Jangan dulu berharap amalan saleh yang dialogis dengan Tuhan ini akan diterima oleh Al-Khaliq. Suatu waktu da'i kondang asal Bandung, KH Miftah Faridl bercerita begini.

"Ya Allah.... ternyata saya hebat. Ketika orang banyak tengah lelap tidur, hamba berwudlu lalu menghamparkan sajadah dan menghadapmu dalam tahajud sepertiga malam." Anekdot yang saya dengar pada sebuah ceramah beliau di Mesjid Salman ITB tahun 1980-an itu sepertinya tertulis di banyak status media sosial.

Penulis status yang mungkin saja hendak mengajak yang lain untuk melakukan amalan shalihan tiba-tiba terjatuh menjadi pamer alias riya atau ingin memperoleh pujian orang lain. Reaksi pembaca status itu pun beragam. Tidak terkecuali ada pula yang mengolok.

Dengan kata lain, mengajak bukan memamerkan dan ibadah privat tidak untuk dipublikasikan. Betapa sayang apabila amalan shalihan yang telah kita lakukan akhirnya sirna tidak mendapat ridho Allah Ta’ala karena sudah memperoleh pujian dari sesama makhluk/ manusia.

Meminjam ujaran Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah, Maka perkara apa saja yang merupakan perkara agama Allah jika hanya diserahkan kepada Allah maka Allah akan menerimanya, adapun jika diserahkan kepada Allah dan juga diserahkan kepada selain Allah (siapapun juga ia) maka Allah tidak akan menerimanya, karena Allah tidak menerima amalan yang diserikatkan, Dia hanyalah menerima amalan agama yang kholis (murni) untukNya.

Allah akan menolak dan mengembalikan amalan tersebut kepada pelakunya bahkan Allah memerintahkannya untuk mengambil pahala (ganjaran) amalannya tersebut kepada yang dia syarikatkan, hal ini sebagaimana disabdakan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, yang artinya:

Sungguh benar sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam bahwasanya riya itu samar sehingga terkadang menimpa seseorang padahal ia menyangka bahwa ia telah melakukan yang sebaik-baiknya. Dikisahkan bahwasanya ada seseorang yang selalu sholat berjama’ah di shaf yang pertama, namun pada suatu hari ia terlambat sehingga sholat di saf yang kedua, ia pun merasa malu kepada jama’ah yang lain yang melihatnya sholat di shaf yang kedua. Maka tatkala itu ia sadar bahwasanya selama ini senangnya hatinya, tenangnya hatinya tatkala sholat di shaf yang pertama adalah karena pandangan manusia.

Riya merupakan penyakit kronis yang mengendap dalam jiwa seseorang yang sulit untuk dihindarkan dan dihilangkan kecuali bagi mereka yang betul-betul mengikhlaskan ibadahnya kepada Allah ‘Azza Wajalla. Penyakit ini mampu menyelusup pada semua amal perbuatan dan membatalkannya, penyakit yang sangat tersembunyi dan lebih halus dari rambatan semut serta tak seorang pun yang dapat mendeteksinya. Hal ini termasuk jebakan syetan yang paling besar dan berbahaya yang berupaya terus menerus untuk memalingkan hamba-hambanya yang mukhlisin (iklas). 

Urusan privat sekali lagi jangan dipublikasikan, termasuk dalam status media sosial yang kita miliki. Pada mulanya hendak mengajak akan tetapi terjerembab menjadi riya`. Ibadah secara privat cukuplah kita dan Sang Mahakuasa saja yang tahu. Tidak harus orang lain tahu lantas (diam-diam) kita menginginkan pujian bahwa kita adalah seorang muslim yang mukmin dan saleh. Wa kafa billahi syahida, cukuplah Allah sebagai saksi.***

(rr/DK)