inshomniyah.com

KEMISKINAN kian menjadi, angkara murka kian meraja, tindak semena-mena sudah menjadi hal biasa. Semua itu sudah menjadi konsumsi perangkat penguasa negeri. Nyaris menyeret dan menenggelamkan Raden Said atau Syarif Abdurahman, salah seorang putra Tumenggung Wilatikta atau Bupati Tuban.

Keadilan tidak lagi ditemukan, kearifan telah berganti menjadi kedholiman, jeritan hati naka negeri adalah jeritan hatinya juga. Nuraninya berontak, angannya meruak, namun apa hendak dikata penguasa negeri adalah ayahanda sendiri. Usul dan saran tak pernah dihiraukan malah dijawab dengan rentetan kata umpat kemarahan.

Ibu telah tiada, mewariskan negeri Tuban yang merana.Mewariskan kebobrokan ahlak dan moral, kekacauan pun timbul di mana-mana.Penguasa tak lagi punya karimsa, hukum tak lagi punya wibawa, yang berlaku adalah hukum rimba.Siapa yang kuat dialah yang menang. Negeri Tuban benar-benar di ambang kehancuran.

Raden Said selaku pewaris tunggal tahta negeri dalam dilema. Bak makan buah simalakama, ia berada di simpang jalan. Memangku tahta berarti memilih hancur bersamanya. Meninggalkan tahta berarti membiarkan anak negeri menderita selamanya.Hatinya diliputi kebimbangan dan keraguan.

Setelah dipikir, dipertimbangkan, dihitung, dicermati, sampai pada suatu kesimpulan yang tak bisa ditunda lagi.Dipilihnya jalan tengah yang menurutnya bijaksana. Segala kekayaan negara dari hasil pungutan dibagi-bagikan kepada rakyat yang lebih berhak.Harta istana dibagkan secara merata. Ia hanya menyisakan 2000 dirham. Banyak yang protes atas sikapnya termasuk paman Patih Sutiman. Semua tak dihiraukan. Apa artinya limpahan harta benda dari perasan keringat dan darah rakyat yang menderita. Terakhir tinggallah satu-satunya tahta, itu pun ia serahkan pula kepada Patih Sutiman pamannya disertai segala amanat dan pesan kebajikan.

Berbekal uang 2000 dirham, bermodalkan tekad bulat ia pergi meninggalkan negeri yang ia cintai, dan sanak saudara yang ia kasihi. Ia mengembara dan terus mengembara memperturutkan langkah kaki dan bisikan hati dengan harapan menemukan keadilan sejati dan kebenaran hakiki. Kini jadilah pengembara yang bukan hanya menjelajahi dunia dhohir, namun juga dunia spiritual. Perlahan namun pasti ia mulai menemukan jati dirinya.

Tak terhitung berapa jauh perjalanan telah ditempuh. Tak terbilang berapa banyak dusun dilalui, ia berjalan dan terus berjalan. Sesekali menoleh ke belakang menerawang kota kelahirannya dan negerinya tercinta yang semakin jauh ia tinggalkan. Tak istirahat sebelum lelah sekali, pantang makan sebelum terasa amat lapar, pantang minum sebelum terasa sangat haus.

Sampai di Jepara tak jauh dari perbatasan negerinya Raden Said bertemu dengan seorang manusia misterius. Tua namun tak renta, mukanya terang bercahaya, sikapnya menarik sangat simpatik, sorot matanya tajam namun tak kejam, senyumnya tersungging di balik lebatnya misai yang memutih, berjubah dan sorban putih, bertongkatkan ranting kayu kastuba, berterompak bakiak bungkulan. Ia berdiri sopan di tengah jalan, sengaja menunggu Raden Said. Keduanya saling bertegur sapa berbasa-basi dengan etika bahasa, bahasa mulut dan bahasa sandi.

“Sampurasun Angger”, sapa orang tua. “Rampes”, jawab Raden Said dengan sopan. Seterusnya Raden said berujar pula, siapakah eyang ini dan mengapa di sini seakan ada yang ditunggu. Orang tua itu pun menjawab pula, tak usah heran angger cucuku. Eyang adalah orang tua tak bernama jauh dari negeri sana, tempatnya insan-insan tak berdosa. Supaya cucuku tidak bingung, panggil saja eyang Ki ajar Sakti walau bukan namaku yang sejati. Cucuku benar eyang di sini ada yang ditunggu dan anggerlah orangnya.

Raden Said bertambah heran dan ia pun bertanya mengapa menunggu saya. Bukankah antara kita baru bertemu sekarang? Tak usah risau cucuku, eyang tahu siapa dan mengapa perihal dirimu, eyang senang dan berdoa atas perjalanan hidupmu. Semoga cucuku selalu mendapat ridlo dan perlindungan dari Hyang Murbeng Dumadi. Eyang hendak memberi bekal untuk pegangan yang tak boleh dilupakan. Bukan harta benda bukan pula sandang boga tetapi berupa sandi sastra yang berisi tutur sinandi. Namun syaratnya sangat berat.Sanggupkah engkau cucuku? Seberat apa pun akan aku upayakan eyang. Namun kalau boleh tahu apakah syaratnya eyang? Bahwa tutur sinandi ini harus kau beli dengan 2000 dirham kontan tak boleh kurang barang sedikit pun.

Tidak ragu Raden Said mengeluarkan uang dari dalam bendinya yang belum dipakai sedikit pun, pas sejumlah permintaan eyang. Iklas terimalah uang ini. Cucuku Raden, eyang pun iklas memberimu tutur sinandi. Dengarkan cucuku, “Ana rusia aja dibuka, Rejeki cilik aja ditampik, Rabi ayu aja sinarean”.  Artinya ada rahasia jangan dibuka, jangan menolak rejeki sekecil apa pun, secantik apa pun istri yang baru dinikahi jangan terburu dicampuri. Ingatlah selalu cucuku, jangan sampai kaulupakan.“Terima kasih eyang, akan selalu kuingat”, jawab Raden Said.Bagus, engkau betul-betul tulus cucuku. Engkau relakan harta benda demi kebajikan. Engkau mulai belajar mati di dalam hidup. Suatu ajaran yang harus dimiliki oleh semua orang arif demi mencapai kebahagiaan dunia akhirat.Untuk itu terimalah hadiah dari eyang, baju Si Gundil cukup lumayan khasiatnya. Akan berguna sekali manakala cucuku membutuhkannya, “Terima kasih eyang”.

Dulu namamu Raden Said sekarang engkau kuberi nama Syarif Abdurahman. “Sekali lagi, terima kasih eyang. Kalau boleh bertanya pantaskah nama itu untukku eyang?” Tidak salah angger, tepat sekali engkau menyandang nama itu. Syarif karena masih mengalir darah rasul, Abdurahman berarti abdi (hamba) Sang Maha Pengasih dan Maha Peyayang. Pada saatnya nanti engkau akan menjadi hamba Allah yang mumpuni. Mengertikah engkau cucuku, Abdurahman? Apa yang harus kuberikan telah kusampaikan. Kini berangkatlah cucuku, teruskan perjalananmu. Mengabdilah engkau kepada Raja Urawan di negeri Sukadana. Barangkali dari sanalah yang akan menentukan perjalananmu selanjutnya. Uangmu akan kuberikan semua kepada fakir miskin karena engkau tidak pantas membawanya. Do`aku menyertaimu.

Belum sempat Syarif Abdurahman mohon diri si kakek telah raib tak tahu ke mana perginya. Walau sedikit kurang puas, namun tak kecewa. Suatu pengalaman spiritual yang sangat berharga. Baju Si Gundil dipakainya dan ia pun berangkat kembali. Syarif Abdurahman telah mendapatkan ketetapan hati, keraguan tidak ada lagi.Siang hari tak merasa kepanasan, malam hari tak merasa kedinginan.Lapar dan dahaga pun tak terasa lagi.Tak berapa lama Syarif Abdurahman telah sampai di ibukota negeri Sukadana.

Syarif Abdurahman

Dengan mudah Syarif Abdurahman menghadap Sang Prabu Urawan yang juga disebut Sang Prabu Panji Bergola. Oleh sang prabu ia diterima dengan baik, permohonan mengabdi pun dikabulkan. Ia ditugaskan sebagai abdi dalem yang selalu harus mendampingi raja bersama Raden Jaka Taruna putra Jodipatih yang telah lama bertugas.

Sembilan bulan sudah Syarif Abdurahman mengabdi tak pernah mendapat tegur cela dari Sang Prabu. Malah kedekatan serta kasih sayang Sang Prabu semakin nyata, terlebih Sang Permaisuri. Sering ia diberi tugas yang tidak seharusnya diberikan kepadanya. Dalam lingkungan pergaulan sesame hamba istana ia sangat disenangi. Namun ada juga yang iri, terutama Raden Jakataruna. Diam-diam ia memendam rasa dendam, berpikir dengki. Mengapa sikap dan perlakuan khusus hanya diberikan kepada Abdurahman. Bukankah dirinya lebih lama mengabdi, lagi pula dirinya anak pejabat istana. Ia menunggu kesempatan agar Abdrurahman tersingkir dari istana.

Perihal perlakuan khusus permaisuri terhadap Abdurahman ia merasa sangat cemburu. Bukankah sebelum ada Abdurahman sang permaisuri sangat dekat dengan dirinya. Jakataruna merasa kehilangan kasih sayang permaisuri yang cantik molek.

Wanita mana yang tidak tergetar hatinya melihat Syarif Abdurahman, hamba sahaya yang rajin, jujur cakap pula. Budi pekertinya terpuji tutur bahasanya sopan santun, rona mukanya menarik mengundang simpatik, penampilannya tiada cela.

Diam-diam Sang Permaisuri jatuh hati, asmara semakin membara. Berbagai upaya dilakukan untuk menarik hati Abdurahman. Namun Syarif Abdurahman telah mendapatkan ketetapan hati dan iman. Di istana ia adalah hamba sahaya, ia ingin meningkatkan pengabdian dan kesetiaan kepada Gusti dan atasannya.

Sang Permaisuri bertepuk tangan, hatinya semakin penasaran saja. Siang dan malam hanya Syarif Abdurahman yang ia pikirkan. Terhadap Gusti Prabu selaku suami ia kurang peduli. Segala siasat telah diatur segala cara telah ditempuh, namun hasilnya sia-sia saja. Perjaka yang satu ini tak mudah ditaklukkan, demikian keluh Sang Permaisuri. Padahal jauh sebelum itu Jakataruna dengan mudah jatuh ke dalam pelukannya. Setiap kesempatan ia gunakan untuk berselingkuh memadu cinta dalam gelimang dosa penuh rahasia. Namun bukan tak mungkin di antara hamba sahaya ada yang mengerti juga. Di antara mereka adalah Syarif Abdurahman sendiri. Apalagi akhir-akhir ini sengaja seakan mempertontonkan adegan mesra permaisuri dengan Jakataruna kepada Syarif Abdurahman agar terpancing gairah dan rasa cemburunya. Namun Syarif Abdurhaman tidak bergeming apalagi terpancing. Dalam hatinya selalu istighfar dan mohon perlindungan. Sebaliknya sang permaisuri semakin penasaran.

Suatu saat pada “Mangsa Kapat” menjelang musim penghujan Sang Prabu Urawan dikawal para punggawa menuju hutan Wanacala untuk berburu binatang. Tradisi yang biasa dilaksanakan tiap tahun. Syarif Abdurahman beserta Jakataruna tak ketinggalan ikut serta dalam rombongan.Bedua selalu dekat mendampingi raja. Di hutan perburuan Wanacala telah dibangun anjungan, bangunan kokoh bertiang tinggi lengkap dengan segala sarana yang dibutuhkan Sang Prabu. Berbagai jenis senjata dibawa dan perbekalan makanan disiapkan untuk satu minggu.

Belum setengah hari perjalanan rombongan sudah sampai di tempat. Sang Prabu memasuki ruangan sementara para punggawa dan abdi dalem tersebar pada tempatnya masing-masing sesuai dengan tugas dan pangkatnya. Rombongan beristirahat sambil memeriksa serta mempersiapkan kebutuhan berburu.

Pada hari pertama perburuan Sang Prabu memanggil Syarif Abdurahman karena senjatanya tertinggal yaitu telempak senjata pelumpuh, senjata khusus kesayangan Sang Prabu yang biasa dibawa pada saat-saat penting. Tempat penyimpanannya di sudut ruangan peraduan Sang Prabu. Diutuslah Syarif Abdurahman untuk mengambilnya. Jakataruna merasa iri.Tidak sembarang orang dipercaya memegang senjata telempak raja, kecuali abdi kinasih yang paling dipercaya. “Bedebah kapan mampusnya dia!”, gerutu hati Jakataruna.

Setelah mohon ijin Syarif  Abdurahman berangkat. Jarak yang tidak terlalu jauh ditempuh dengan berlari-lari kecil sehingga cepat sampai ke tujuan.Istana lengang karena sebagian punggawa ikut bersama raja.Para penjaga istirahat di posnya masing-masing. Para emban inang pengasuh sibuk bergurau dan bermain di serambi keputren. Hari itu Sang Permaisuri minta ditinggal sendiri, hatinya sedang risau dan gelisah. Bukan lantaran rindu ditinggal Sang Prabu, melainkan bayangkan Syarif Abdurahman tak mau lepas dari ingatannya.

Kedatangan Syarif Abdurahman yang tiba-tiba disambut permaisuri penuh gairah. Manakala Syarif Abdurahman menyampaikan maksudnya dengan senyum manis permaisuri mempesilakan untuk mengambil sendiri di sudut kamar peraduan. Semula Syarif Abdurahman ragu namun karena desakan Sang Permaisuri maka dengan langkah pelan dan hati-hati ia masuk ke dalam kamar peraduan. Tak disangka permaisuri mengikuti dari belakang.

Di dalam kamar peraduan Syarif Abdurahman dipeluk erat-erat seakan tak mau dilepaskan.Syarif Abdurahman berusaha keras untuk melepaskan diri sambil memohon ampun. Pelukan Sang Permaisuri semakin menjepit, posisi Syarif Abdurahman semakin susah. Namun bagai kemasukan tenaga gaib ia bisa lepas dan dengan cepat menyambar Telempok lalu lari keluar. Sang Permaisuri tidak mau melepaskan begitu saja, ia lari mengejar. Pada jarak yang sangat dekat baju Syarif Abdurahman terpegang bagian belakangnya hingga robek. Syarif Abdurahman terlepas, permaisuri sambil berlari merobek bajunya sendiri yang sedang dipakai. Ia mempercepat larinya berusaha mendahului Syarif Abdurahman.

Dengan napas tersengal Syarif Abdurahman menghaturkan Telempok kepada Sang Prabu. Hampir bersamaanSang Permaisuri tiba dan langsung menjatuhkan diri ke pangkuan Sang Prabu sambil menangis ia mengadu. Dikatakannya bahwa Syarif Abdurahman adalah abdi dalem yang kurang ajar, ia berusaha memperkosa dirinya. Permaisuri memohon agar Syarif Abdurahman dihukum seberat-beratnya.

Sang Raja murka. Namun melihat fakta ia meragukan pengaduan permaisuri. Mengapa baju bagian belakang Syarif Abdurahman robek.Bukankah itu berarti Syarif Abdurahman yang dikejar dan dipaksa? Di sisi lain sikap dan perilaku kesehariannya tidak tercela. Sang Raja sesungguhnya tidak meragukan sedikit pun akan kesetiaan, kejujuran serta pengabdian Syarif Abdurahman. Raja bimbang.

Syarif Abdurahman diam tertunduk, duduk bersimpuh di hadapan Sang Prabu. Dia tidak akan berusaha menyangkal segala pengaduan tentang dirinya. Ia pasrah diri kepada Yang Maha Adil, Padahal ia tahu perselingkuhan Permaisuri dengan Jakataruna. Ia teringat tutur sinandi bahwa jangan membuka rahasia orang lain. Syarif Abdurahman memilih diam. Tindakan apa pun yang akan dilakukan Sang Prabu kepadanya akan diterima dengan iklas.

Demi gengsi, kehormatan dan harga diri, walau dengan berat hati Sang Prabu mengambil keputusan. Ditulisnya nawala/ surat untuk patih Jodipati yang isinya bahwa si pembawa surat ini hendaknya dihukum mati dengan “tigas jangga” (tebas leher). Diberikannya surat itu kepada  Syarif Abdurahman untuk diantarkan kepada patih.

Karena gangguan situasi maka perburuan binatang batal dilaksanakan.Semua rombongan kembali ke istana. Jakataruna putra Jodipati yang sejak awal memperhatikan apa yang terjadi rupanya salah pengertian. Sang Prabu dianggap tidak adil, bukan hukuman yang dijatuhkan malah diberi anugerah sebagai calon pengganti ayahnya selaku Jodipati. Bukankah ia adalah putranya dan telah lama mengabdikan diri. Wajar kalau suatu saat ia menggantikan ayahnya, bukan Syarif Abdurahman.

Hati dan pikirannya hasud, iri dan dengki mendorong Jakataruna untuk lebih yakin mengenai isi surat Sang Prabu yang menurutnya berupa anugerah. Diam-diam ia tidak kembali ke istana sebagaimana rombongan lainnya. Ia berusaha menyusul Syarif Abdurahman dengan langkah cepat.

Perjalanan Syarif Abdurahman sendiri sudah cukup jauh. Digenggamnya surat dengan hati-hati, dijaganya dari kelalaian dan kerusakan. Segala dawuh sang Prabu harus diamankan dan dilaksanakan. Begitu tekadnya.

Sampai di suatu pedukuhan tampak pabuaran (kelompok kandang kerbau).Di tanah yang agak lapang, tampak anak-anak gembala sedang mengerumuni makanan berupa tumpeng beserta lauk pauknya. Rupanya hari itu sedang ada kenduri karena kerbaunya melahirkan. Tradisi waktu itu makanan yang tersedia diperuntukkan bagi siapa saja yang kebetulan tahu atau lewat akan diajak makan bersama.

Syarif Abdurahman melewati pabuaran itu, ia diajak makan bersama anak-anak gembala. Syarif Abdurahman agak enggan menerima tawaran makan bersama itu karena sedang mengemban dawuh Sang Prabu yang harus segera dilaksanakan. Namun ia teringat lagi salah satu sandi pariwara eyang bahwa rejeki sekecil apa pun tidak boleh ditolak. Akhirnya dengan senang hati ia ikut makan bersama para penggembala kerbau.

Tidak berapa lama Jakataruna datang. Ia sinis dan tak peduli atas ajakan makan para penggembala. Ia mengumpat dan mengatakan Syarif Abdurahman telah melalaikan dawuh Sang Prabu. Surat direbut dengan kasar dan ia segera pergi menuju kepatihan ayahnya. Ia berjalan dengan pongah penuh kebanggaan dan harapan.

Di pendopo kepatihan Jodipati sedang duduk santai.Kedatangan anaknya disambut gembira dan rasa kangen karena lama tidak bertemu. Selama ini Jakataruna selalu berada di kotaraja.Apalagi kedatangannya mengemban dawuh Sang Prabu untuk menyampaikan nawala kepadanya.Suatu tugas penting yang hanya diserahkan kepada abdi dalem yang dipercaya Sang Prabu. Dipujinya anaknya serta dielus kepalanya dengan penuh kasih sayang. Jodipati merasa bangga bahwa kini putranya telah menjadi orang kepercayaan Sang Prabu.

Betapa kagetnya Jodipati setelah membaca surat tersebut. Sesaat ia bingung tak tahu mesti berbuat apa. Tidak disangka bahwa putranya adalah orang hukuman yang mesti mati di tangannya. Pasti anaknya telah melakukan dosa besar yang tidak mudah untuk dimaafkan, sungguh perbuatan yang sangat memalukan. Dengan tidak banyak bicara dituntunnya Jakataruna ke suatu ruangan khusus tempat hukuman mati dilaksanakan. Sekali tebas terpisahlah badan dan kepala Jakataruna, darah berhamburan. Dalam kebingungannya Jakataruna tidak diberi kesempatan untuk bicara.

Sesungguhnya pekerjaan ini sangat berat bagi Jodipati, ia harus membunuh putranya sendiri. Tapi apa hendak dikata, ini adalah dawuh raja yang tak layak untuk disepelekan. Sebagai orang tua ia merasa sedih juga, ditatapnya jasad putranya sambil menekan perasaan.

Seketika itu datanglah Syarif Abdurahman. Belum juga basa basi menyampaikan salam, Jodipati mendahului menyambutnya. Kedatangan Syarif Abdurahman dianggap sebagai utusan Sang Prabu untuk memastikan dawuh telah dilaksanakan atau tidak. Dengan sedikit tersendat Jodipati berkata, Angger Abdurahman sampaikan salam kami kepada Sang Prabu. Tugas telah kami lakukan, dan sebagai tanda bukti haturkan kepala Jakataruna kepada Sang Prabu. Dibungkusnya kepala Jakataruna dan diserahkannya kepada Syarif Abdurahman. Syarif Abdurahman menerima bungkusan itu dengan bingung, namun ia mohon diri dan kembali menuju istana.

Sang Prabu Urawan Panji Bergola terheran-heran atas kembalinya Syarif Abdurahman dalam keadaan hidup. Bagaimana ini bisa terjadi? Mengapa pula akhirnya Jakataruna yang dihukum mati? Pertanyaan hati Sang Prabu segera terjawab sendiri oleh kesadaran hatinya. Rupanya keadilan sejati telah berlangsung. Hatinya semakin yakin bahwa Syarif Abdurahman tidak bersalah seperti yang telah dituduhkan istrinya. Dugaan pun mengarah kepada permaisuri yang telah memutarbalikkan fakata. Namun pocap sabdaning ratu tan wurung, ucapan raja adalah undang-undang.

Syarif Abdurahman tetap dikenai tindakan, ia harus meninggalkan Istana Sukadana dan harus mengabdi kepada Nyai Ratu Kidul yang juga disebut Nyai Ratu Dewi Angin Angin di negeri Giri Lawungan. Syarif Abdurahman segera mohon diri dan berangkat.

Ia meninggalkan negerinya yang kedua, ia bersyukur kepada Yang Maha Suci atas segala perlindungannya. Tinggallah permaisuri dalam kesedihan, kekecewaan dan penyesalan berkepanjangan. Dalam hati ia menyadari bahwa kematian Jakataruna adalah akibat ulahnya. Ia menangis sedih, bayangan Jakataruna selalu menghantuinya.

Keris Kalamunyeng

Tak jauh dari perempatan jalan berdiri gedung besar dengan taman yang indah. Kala itu suasana tampak sepi, hanya terlihat beberapa prajurit yang sedang mengobrol di pos gerbang depan. Terik matahari pada “Mangsa Ketelu” membuat orang malas keluar rumah. Mereka memilih tinggal di dalam rumah sambil mengerjakan apa saja.

Syarif Abdurahman terheran-heran. Hatinya tertarik akan apa yang dilihatnya saat itu. Rasa penasaran membawa dirinya melangkahkan kaki.Ia berjalan pelan memasuki pintu belakang gedung yang kebetulan tidak dijaga. Langkahnya semakin mendekati pintu belakang gedung yang sedikit terbuka.Ia mencoba membuka lebih lebar dan menyibakkan tirai kelambu sutra yang menghalangi pandangannya. Kagum sekaligus kaget manakala di dalam gedung yang seindah itu hanya berisi ratusan kuburan yang semuanya masih tampak baru.Dalam keheranan batinnya bertanya, kuburan siapakah gerangan?

Syarif Abdurahman mundur selangkah demi selangkah namun prajurit jaga datang meronda. Kegaduhan pun terjadi. Syarif Abdurahman ditangkap, tangannya dirantai kemudian digiring ke istana. Dari obrolan menuju istana diketahui bahwa kuburan baru sebanyak itu adalah para suami Ratu Kidul Dewi Angin Angin.

Di hadapan sang ratu dia diperiksa, Syarif Abdurahman menjelaskan perihal dirinya yang berniat mau mengabdi kepada Sang Ratu. Kesalahan Abdurahman diampuni. Syarif Abdurahman boleh berdiam di istana dengan syarat harus mau melayani ratu bukan sebagai abdi dalem tetapi sebagai suami.

Walaupun sedikit kaget, keputusan ratu diterima. Sang Ratu nampak puas dan senang. Maka upacara pernikahan tidak ditunda lagi dan dilaksanakan pada waktu itu juga. Rupanya penampilan Syarif Abdurahman membuat Sang Ratu tidak sabar lagi untuk menunggu.

Malam hari di kamar peraduan istana terpasang indah ranjang kencana dengan hamparan kasur beralaskan sutra jingga, kelambu bertatah intan berlian beraroma surge semerbak menyentuh seisi ruangan.Lampu dlepak minyak wijen menyala terang di sudut ruangan.

Syarif Abdurahman duduk bersila di sudut peraduan, matanya setengah dipejamkan, bibirnya bergerak perlahan. Bermuajahah kepada Tuhan, bersyukur dan memohon perlindungannya. Sementara itu si cantik jelita Ratu Kidul tampak  gelisah. Tidur telentang di sampingnya, sengaja membuka semua aurat untuk menarik gairah kelaki-lakian suaminya. Sebentar-sebentar ia mengelus bagian sensitif suaminya. Namun Syarif Abdurahman diam tidak bereaksi.

Sesungguhnya Syarif Abdurahman sedang berjihad keras. Perang besar berkecamuk di dalam dirinya. Sebagai laki-laki normal sudah tentu dia sangat tertarik dan bergairah. Apalagi yang dihadapinya adalah wanita yang sangat cantik dan istri syahnya sendiri. Syarif Abdurahman masih berpegang pada tutur sinandi, “Rabi ayu aja sinarean” (menikah dengan istri secantik apa pun jangan buru-buru ditiduri). Untuk itulah Syarif Abdurahman tetap berjuang keras meredam gejolak hati dan perasaannya.

Lain halnya dengan Nyai Ratu Kidul, ia sangat gelisah dan tak sanggup lagi bersabar menahan gejolak nafsu asmaranya. Semakin larut malam dahaga asmara semakin berkobar hebat. Pada puncaknya ia tertidur karena sudah di ambang batas daya tahan dalam menahan gelombang asmara. Syarif Abdurahman masih tetap tafakur duduk bersila.

Tiba-tiba Syarif Abdurahman dikejutkan oleh suara misterius yang datang dari selangkangan Nyai Ratu. Ia semakin waspada dan diawasinya terus sumber suara. Bersamaan dengan itu dari barang terlarang Nyai Ratu keluar binatang aneh sebesar betis orang dewasa. Rumbai badannya menjijikkan, merah menyala penuh ancaman. Mulut menyeringai siap menerkam. Binatang itu bergerak cepat ke arah Syarif Abdurahman. Secepat itu pula Syarif Abdurahman menangkap dan membanting binatang yang ternyata Kelabang Kures. Anehnya bunyinya gemerincing bagai logam jatuh terbanting. Setelah diamati ternyata Kelabang Kures buas itu telah berubah menjadi sebilah keris. Maka diambillah keris itu, kelak keris itu merupakan benda pusaka yang disebut Keris Kalamunyeng.

Syarif Abdurahman naik lagi ke atas ranjang meneruskan tafakurnya. Sementara itu di halaman dalam agung, para abdi dalem sudah mulai sibuk. Mereka menyiapkan segala sarana yang dibutuhkan layaknya untuk upacara kematian, seperti keranda, kayu tingkeb, nisan dan lain-lain karena sudah terbiasa manakala Ratu kawin esok hari suami yang baru dikawininya itu meninggal dunia. Jumlah korbannya sudah ratusan.

Matahari setinggi satu tombak, sang pengantin baru bangun. Di pintu kamar abdi dalem sudah siap-siao menggotong jenajah. Namun betapa kagetnya setelah pintu kamar terbuka sang pengantin suami istri masih lengkap, suaminya masih hidup dan sehat. Akhirnya para abdi dalem bubar ke tempatnya masing-masing.Patih Lawean kagum, rupanya suami yang sekarang bukan orang sembarangan dan pasti sangat sakti yang memiliki ilmu andalan. Demikian pikirnya, spontan dia hormat menyembah.

Empat puluh hari masa pengantin baru telah berlalu, Syarif Abdurahman masih tetap bertahan. Ia belum mau melaksanakan kewajiban sebagai suami untuk sanggama dengan istrinya. Sang Ratu kini menjadi wanita normal yang gairah birahinya tidak seperti dulu lagi. Ia menjadi wanita alim dan penyabar serta patuh kepada suami yang sangat dicintainya.

Keduanya terikat dengan janji suci bahwa mereka walau sebagai suami istri namun di dunia tidak akan bercampur. Kelak di akhirat mereka akan bertemu sebagai Jaka dan Lara. Syarif Abdurahman sendiri masih harus meneruskan pengembaraannya untuk menuntut ilmu sebagai bekal kehidupan kelak di kemudian hari.Keberangkatan Syarif Abdurahman didorong keiklasan hati serta isak tangis istrinya.

Sepeninggal suaminya Ratu Kidul menjadi pendiam.Tugas-tugas penting kenegaraan diserahkan kepada para pembantu dekatnya. Sang Ratu banyak menghabiskan waktu di dalam Sanggar Pamujan, suatu tempat khusus untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Akhirnya Sang Ratu mengambil keputusan meninggalkan semua yang bersifat duniawi. Sebagai pimpinan negeri dia menunjuk kerabat dekatnya yang dipercaya.

Sang Ratu mengikuti jejak suaminya mengembara menjelajahi alam metafisik. Konon dengan ketinggian ilmunya Sang Ratu bertapa menyelam di Laut Kidul sampai akhir jaman. Di sana Sang Ratu mengendalikan bangsa siluman, sileman, dedemit, peri, jin dan merkayangan agar tidak mengganggu umat manusia. Hal itu sangat mungkin karena Sang Ratu sangat ditakuti oleh mereka malah dianggap sebagai ratu sesembahan.

Syarif Abdurahman pun terus mengembara, berbagai pengalaman baru didapatnya. Dalam pengembaraannya lama ia berdiam di Cirebon untuk memperdalam metafisik islam/ sufisme islam. Di Cirebon bahu membahu bersama Sunan Gunungjati mengembangkan syariat Islam. Syarif Abdurahman mencapai gelar wali sebagai anggota Dewan Wali Sanga dengan gelar Sunan Kalijaga.***

(rr/DK)