www.beningpost.com

INGAT nama Pangeran Diponegoro ingat Perang Jawa. Perang besar dan menyeluruh berlangsung selama lima tahun (1825-1830) yang terjadi di Jawa, Hindia Belanda, antara pasukan Belanda di bawah pimpinan Jendral De Kock melawan penduduk pribumi Indonesia dibawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Berdasarkan dokumen-dokumen Belanda yang dikutip oleh ahli sejarah, perang ini menewaskan sekitar 200.000 orang warga pribumi. Sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000. Perang Diponegoro merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara. Peperangan ini terjadi secara menyeluruh wilayah Jawa, sehingga disebut Perang Jawa.

Jika alam bawah sadar kita layangkan kepada nama Diponegoro alias Ontowiryo alias Hamengku Buwono IV dapat dipastikan memunculkan heroisme. Terbayang bagaimana suasana batin masyarakat Jawa ketika secara suka rela atau terpaksa harus melawan kediktatoran kaum penindas. Dan alam bawah sadar itu pun seperti mencabik manakala pedang di kanan keris di kiri (pinjam sebaris sajak Chairil Anwar: Diponegoro) sambil berkuda menyepakkan kakinya ke dada lawan. Cabikan nan gemuruh itu memberi tanda bahwa pada tiap orang ada unsur perlawanan. Melawan terhadap kebatilan dan keserakahan yang menimbulkan terkoyaknya rasa publik.

Pangeran Diponegoro telah lama kita sematkan sebagai pahlawan nasional. Sebagai idola dan tertulis dengan tinta emas sejarah, boleh pula kita sematkan Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Serit, Ki Bagus Arsitem, Ki Bagus Jabin sebagai idola pada masa tertentu. Masa ketika sejumlah santri dari Desa Kedongdong Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon melakukan perlawanan dan angkat senjata sederhana melawan kelaliman Belanda.

Pangeran Diponegoro, source: diponegorosi.blogspot.com

Bagus Rangin, Bagus Serit, Bagus Arsitem, Bagus Jabin pada masanya bukan saja idola masyarakat Cirebon khususnya pada akhir abad 18 dan awal abad ke-19. Melainkan menjadi panutan lantaran sikap kekiaian yang dituangkan dalam kiprah nyata dengan fakta bahwa penindasan suatu bangsa atas bangsa lain adalah haram hukumnya. Itu sebabnya Perang Cirebon 1818 yang berawal dari pergolakan dari dalam keraton Kasepuhan Cirebon dengan dibunuhnya Sultan Sepuh V Sultan Muhammad Shofiyuddin, alias Sultan Matangaji (1786 M) menjadi pemicu pertama yang merangkai pada Perang Cirebon 1818.

Sejarawan Cirebon menyebut kondisi tak harmonis dalam kekuasaan di Kesultanan Cirebon menuai pertikaian keluarga hingga masyarakat mengenal istilah Cerbon Peteng. Dan begitulah adanya. Masa keemasan sejarah Kerajaan Islam Cirebon sejak era Syekh Syarif Hidayatullah yang meneruskan kepemimpinan Mbah Kuwu Cirebon, Pangeran Cakrabuana alias Ki Somadullah alias Pangeran Cakrabumi, mengalami masa kemunduran lantaran kepentingan dan kekuasaan politik internal  memperoleh asupan energi yang bernama devide et impera. Lengkap sudah kemunduran itu.

Puncak kemarahan masyarakat Cirebon terhadap hegemoni dan imperialise Belanda akhirnya terjadi pada tahun 1818. Dari desa kecil yang tidak terdata di google map, ratusan santri menyatakan diri perang melawan tindak kekejaman Belanda. Tanah air Nusantara ini, tanah air Kerajaan Islam Cirebon ini tidak rela dijarah, dirajah dan dijajah. Perang besar yang berlangsung 7 (tujuh) tahun sebelum Perang Jawa atau Perang Diponegoro ini dengan bagus ditulis dalam buku kecil karya Van der Kemp yang berjudul Cirebon 1818 (Idayu, Jakarta 1952) luput dari catatan penting sejarah Indonesia.  Padahal kata fotografer Belanda itu, Belanda menderita kerugian besar hingga mendatangkan puluhan armada perang lautnya ke Cirebon.

Pahlawan Nasional

Saya melayangkan ingatan pada sebuah acara Studi Islam Intensif  (SII) di Mesjid Salman ITB 1984, Angkatan XX. Waktu itu giliran Prof. Ahmad Mansur Suryanegara menyampaikan materi sejarah. Sebelum masuk ke pembahasan, Pak Mansur bertanya, “Ada peserta dari Cirebon?”. Dengan enteng saya menacungkan lengan kanan. “Saya tanya kepada Anda, siapakah pahlawan Cirebon?”. Spontan saya menjawab beberapa nama sesuai nama jalan raya yang ada di Kota Cirebon. “Kapten Samadikun, Suratno, Kapten Damsur!”, jawab saya mantap.

Spontan guru besar sejarah Unpad itu meneruskan kalimatnya, “Saudara tidak tahu sejarah Cirebon”. Lantas ia menulis di white board, Ki Bagus Rangin. Di bawah nama Ki Bagus Rangin yang menggunakan underline itu ia menuliskan Pemberontakan Santri I di Indonesia. Tentu saja saya tersipu malu. Sebagai orang Cirebon justru tidak mengenal nama pahlawan kampung sendiri. Segera setelah itu Pak Mansur menjelaskan Perang Cirebon 1818 dengan penekanan perlawanan santri dan kiai untuk kali pertama di Indonesia berlangsung di Cirebon.

Andai saja di dinding kelas sekolah-sekolah di Cirebon ada gambar Ki Bagus Rangin, tentu sejak SD kita akan tahu 5W1H Ki Bagus Rangin. Nama besar beliau pun ada di Kota Bandung, dekat Jalan Dipati Ukur. Sementara di Kota Cirebon sendiri tidak ada nama jalan itu. Nama Jalan Ki Bagus Rangin justru ada di Desa Kedongdong Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon. Sangat mungkin masyarakat Desa Kedongdong mengetahui kisah perlawanan beliau terhadap Belanda melalui cerita lisan para orang tua dan hanya menjadi cerita rakyat.

Belakangan ini ada keinginan sebagian masyarakat Cirebon mengusulkan nama Ki Bagus Rangin sebagai pahlawan nasional. Entah sampai di mana perjalanan dan proses tersebut. Sepenuhnya saya menyambut gembira dan berharap agar nama besar beliau dicatat dalam tinta emas sejarah Indonesia. Bandara internasional yang tengah dibangun di Kertajati Kabupaten Majelengka, pun disinggung oleh peserta seminar sejarah Cirebon dalam acara Festival Seni dan Budaya Pesisiran dan Haul Sunan Gunungjati ke-461 di Keraton Kasepuhan, 7-10 Oktober 2014 yang baru lalu; agar dinamai Bandara Bagus Rangin.

Bagi masyarakat Sunda, nama Ki Bagus Rangin dikisahkan pernah bertempur melawan Pangeran Cornel. Tentu saja Pangeran Cornel yang dibuatkan patungnya di ujung bukit Cadas Pangeran dan gambarnya yang tengah bersalaman dengan Gubernur Jendral Belanda menggunakan tangan kiri, sementara Daendels menggunakan tangan kanan ~memunculkan sedikit pertanyaan. Kenapa sampai bertempur, padahal sama-sama memusuhi dan berperang dengan Belanda. Sejarawan menulis hal itu terjadi karena salah paham, lantas keduanya bersatu melawan Belanda.

Heroisme Ki Bagus Rangin yang begitu memikat perhatian Belanda sudah seharusnya dijadikan penilaian khusus untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Bukan lantaran sentimen kedaerahan (Cirebon) semata. Akan tetapi pertempuran yang berlanjut dan estafet kepemimpinan (panglima perang) dilanjutkan oleh anak keturunan Ki Bagus Rangin, Ki Bagus Jabin, Ki Bagus Serit, dan Ki Bagus Arsitem menorehkan catatan penting bahwa santri dan kiai Cirebon sejak akhir abad ke- 18 hingga tahun 1818 mengangkat senjata dan melakukan peperangan hebat atas tindak kesewenangan Belanda di tanah air Nusantara ini.

Dikisahkan Belanda pada malam hari seperti melihat ribuan santri membawa obor lantas ditembaki oleh senapan mesin. Tapi mereka tidak mati-mati. Bahkan bertambah banyak. Sejarawan Cirebon Kartani menuturkan. “Padahal itu adalah ribuan kunang-kunang”. Posisi Belanda dengan mudah diketahui pasukan santri Ki Bagus Rangin yang dengan mudah membantai pasukan Belanda.

Jargon pilih tanding yang abadi hingga sekarang ialah ucapan beliau ketika mensuport para santri di tanah terbuka Desa Kedongdong, “Sekien isun wani. Besuk isun wani. Kapan bae isun wani”. Wani atau berani melawan kepada Belanda sang penjarah, salah satu alasannya ialah hendak membumikan ajaran agama Islam di tanah Jawa khususnya dan Nusantara pada umumnya. Wajar jikalau muncul berbagai kisah metafisik yang disematkan pada Perang Cirebon 1818 ini. Kisah metafisik itu merujuk kepada kisah burung ababil tatkala penyerangan Ka`bah oleh Raja Yaman, Abrahah.

Seandainya keinginan mempahlawannasionalkan Ki Bagus Rangin dicreate sungguh-sungguh, tentu saja ada kerjasama yang terintegrasi pada seluruh kalangan. Tentu kalangan dimaksud ialah mereka yang hendak memposisikan Ki Bagus Rangin pada kedudukan pahlawan nasional. Kreasi sungguh-sungguh dan terintegrasi itu antara lain pembuatan berbagai simbol dan atau perangkat yang mempublikasikan nama beliau. Misalnya pembuatan T-Shirt, tas, topi, gantungan kunci, kalender (dan handy craft lain) bertuliskan nama Ki Bagus Rangin, pembuatan website khusus (umpamanya kibagusrangin.com) yang menjelaskan perjuangan beliau menentang kelaliman pihak Belanda. Penyebaran buku dan poster Ki Bagus Rangin ke sekolah-sekolah. Termasuk penelusuran tapak tilas perjuangan beliau dari Desa Kedongdong Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon hingga Cadas Pangeran di Kabupaten Sumedang.***

(rr)