www.republika.co.id

Sebagaimana media publik beritakan beberapa hari yang lalu, bahwa Menteri Agama, Lukman Hakim Saifuddin mewacanakan bahwa Kemenag dalam hitungan 6 bulan ke depan akan mengajukan RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) ke DPR. Kabarnya, RUU ini merupakan produk dari focus group discussion (FGD) yang diikuti oleh unsur agama dan tokoh-tokoh agama-agama, dan kepercayaan. Ide ini tentu sangat menarik dan penting untuk dipahami bersama oleh para stakeholder kehidupan keagamaan dan kepercayaan dan seluruh mereka yang disebut warga negara. Dan saya berharap bisa mendapatkan detail dan kedalaman konsepnya. Mengapa?

Saya ingat era pemerintahan SBY tahun sebelumnya. Saat itu pemerintah menggodok RUU Kerukunan Umat Beragama (RUU KUB). Konsep, muatan dan isi pasal dan ayat-ayatnya dipertanyakan oleh aktivis masyarakat sipil. Sudah pasti ormas dan organisasi keagamaan mempertanyakannya juga. Indonesian Conference on Religion and Peace (ICRP) menunjuk saya sebagai Ketua Tim Perumus Naskah Akademis dan  Draf Tandingan (Counter Legal Draft) dan juru bicara. Sebagai informasi, beberapa saat jelang jelang pelantikan Kabinet Kerja, Jaringan Gus Durian mengadakan rapat expert meeting. Rapat pakar itu membahasa problem keagamaan dan berencana membuat deklarasi berisi butir-butir analisa keagamaan sebagai bekal bagi siapapun Menteri Agama yang bakal jadi. Doa dan harapan kami saat itu, Presiden Jokowi tetap mempertahankan Lukman Hakim Saifudin. Kini terjawab dan qobul do’a kami itu.

Expert meeting diikuti tokoh-tokoh aktivis dan organisasi lintas agama. Ada Alisa Wahid, Suaedy, Sudhamek, Kiai Husen Muhammad, Imdadun Rakhmat, romo, pendeta dan perwakilan dari kepercayaan. Secara kelembagaan hadir Wahid Institute, ICRP, AMAN, LBH,  PUSAD Paramadina, Sejuk, Hivos, Setara, Fahmina Institute, dan Interfidei. Hasil rumusan forum ini kemudian kami sampaikan dalam bentuk deklarasi saat berlangsung seminar: Bagaimana Arah Pelayanan Umat Beragama di Era Pemerintahan Jokowi-JK? Menag Lukman Hakim Saifudin sendiri hadir saat itu.  

Bagaimana dengan RUU Perlindungan Umat Beragama ini? Itulah yang ICRP akan soroti. Kami belum mendapatkan draft dan naskah dari rencana besar ini. Tetapi, sebagaimana tahun sebelumnya, pasti kami akan melakukan gerakan untuk meresponnya. DPR, Kementerian Dalam Negeri, Kepolisian, Kejaksaan dan Presiden pun akan kami datangi. Sebagaimana RUU yang lalu, kami solid dan mutlak menolaknya. Mengapa kami menolaknya?     

Dalam kajian kami, Naskah Akademis (NA) RUU KUB yang diajukan oleh pemerintah SBY saat itu, sesungguhnya telah berupaya memaparkan secara menyeluruh latar belakang, konstitusional, yuridis, filosofis, teologis, sosiologis, antropologis, dan sosial-ekonomi-politik berbagai konflik, sikap dan aksi-aksi intoleransi dan kekerasan atas nama agama yang mendorong keharusan adanya UU yang dinamai sebagai UU Kerukunan Umat Beragama. Namun demikian, sekian catatan kritis harus kami sampaikan untuk menjadi pemahaman bersama,  bahwa Naskah Akademis dan Draft RUU itu bermasalah secara substansi, tidak komprehensif dan sebagian pasalnya tidak lebih copy paste dari UU yang lain.

Saat itu kami menilai terminologi Kerukunan Umat Beragama, sekalipun sudah dijelaskan, perspektifnya dari pihak pemerintah semata. Terasa sekali UU ini dilakukan sebagai proses paksaan dari atas-bawah (top-down initiative). RUU ini inisiasi pemerintah, dalam hal ini Kemenag semata. Tidak melibatkan publik dan umat beragama secara umum. Padahal kami lah pemangku kepentingan yang sesungguhnya. Kami merasa dipaksa oleh eksekutif dan legislatif. RUU itu tidak menyentuh akar permasalahan. Jelas draf  itu tidak menyentuh akar konflik dan problem kekerasan yang angkanya tiap tahun terus menanjak.

Sejatinya, sebagaimana ketentuan SOP regulasi, masyarakat sipil dan publik dilibatkan secara langsung. Karena mereka lah yang merasakan dan mengalami pahit getirnya ekses-ekses dari UU, peraturan dan ketentuan yang diberlakukan. Apalagi, bila pemerintah gagal menjalankan amanat dan tanggung jawabnya. RUU KUB itu bagi kami tidak lebih sebuah regulasi “kejar setoran” dan asal jadi. Dan kami pun khawatir mendalam bahwa RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang sedang diinisiasi dan digodok ini pun sama dan sebangun dengan RUU KUB yang lalu.

Untuk menyambut RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) termaksud, penting saya memberikan catatan-catatan lapangan. Pertama (1), hemat kami, persoalan mendasar relasi keagamaan di Indonesia terletak pada tidak adilnya perlakuan pemerintah. Bahkan, jelas sekali pada ketidakberanian pemerintah untuk menegakkan konstitusi dan menjamin implementasi hukum (Law Enforcement). Kami melihat pemerintah takut dan tidak bernyali terhadap ormas –ormas pelaku intoleransi dan aksi-aksi kriminal mengatasnamakan agama. Pemerintah selalu melakukan kalkulasi resiko politik. Bukan berpikir pada tanggung jawab penegakan konstitusi.

Kedua (2), pemerintah senagaja berlaku diskriminatif terhadap hak-hak minoritas, bahkan sebagai korban, kaum minoritas terintimidasi dan diperlakukan sewenang-wenang. Jadi persoalannya bukan relasi antar-agama. Karena itu, kami mengajukan evaluasi dan revisi banyak hal. Kami mengajukan terminologi-terminologi sebagai berikut: RUU Kebebasan atau Kemerdekaan Umat Beragama dan Berkepercayaan (RUU KUBB) sebagai ganti dari RUU KUB. Bahkan, kalau mau namai saja sebagai RUU Anti Diskriminasi Agama-Agama dan Kepercayaan. Untuk itu, rencana pengajuan RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) yang disedang digulirkan inipun bila tidak jelas, tidak baik memaksakannya. Kami pasti akan menolaknya.

Saya ingat, dalam RUU Kerukunan Umat Beragama jaman itu, dalam Naskah Akademisnya sudah dibicarakan berbagai instrument-instrumen HAM, baik secara konstitusi, falsafah bangsa, peraturan dan kovenan-kovenan internasional yang telah diratifikasi. Tapi nyata-nyata semangat dan upaya implementasinya dalam pasal-pasal RUU tidak nampak. Kami melihat pada RUU KUB yang lalu, karena memang secara konstitusi berpondamen UUD 1945 dikutip pasal-pasal dari UUD 45. Misalnya, Pasal 28E dan Pasal 29 Ayat 2, dan selanjutnya kovenan-kovenan internasional:International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang sudah menjadi instrumen yang legal melalui UU No.11 dan 12 tahun  2005.

Tetapi, yang terasa, hal itu tidak lebih sekadar pemanis dan gincu semata. Bila sekedar diratifikasi tanpa implementasi, apa guna dan manfaatnya. Kami mendesak harus ada proses reformasi dan sinkronisasi hukum secara serius dan total. Semua UU dan peraturan dibawahnya, mesti direvisi agar searah dengan nafas kovenan-kovenan di atas. Lebih jauh, kami menilai sampai saat ini, upaya sosialisasi pemerintah atau KOMNAS HAM untuk mendiseminasi dan penumbuhan kesadaran dan implementasi nilai-nilai HAM terhadap masyarakat masih sangat rendah.

Ketiga (3), yaitu hal kegagalan civil society dalam kaji ulang (judicial review) atas UU.No.1/PNPS/1965  di Mahkamah Konstitusi (MK). Kandasnya ikhtiar hukum ini merupakan sinyal buruk bagi sehat dan harmonisnya relasi-relasi antar agama dan kepercayaan. Begitupun atas UU No.1 Perkawinan tahun 1974. Pada sidang pertama di MK, pada tanggal 4 November berlalu, nyata-nyata pemerintah (Kemenkunham dan Kemenag) menolak argumentasi pemohon dan meminta MK menolak permohonan kami. Apalagi ormas-ormas model FPI, MUI dan Muhammadiyah. Nah, bagaimana posisi dan korelasi RUU Perlindungan Umat Beragama (RUU PUB) dengan kedua sumber hukum di atas?

Harus disadari, pasangan nikah beda agama itu adalah warga negara yang harus dilindungi hak-hak dan kewajibannya. Bila menikah pemerintah sejatinya harus mencatat dan mengakui legalitas hukum pernikahan beda agama ini. Mereka harus memperoleh akta nikah. Dan itu jelas bagian dari pelayananan dan perlindungan umat beragama. Bila kedua sumber hukum di atas belum ada perubahan, sudah jelas merupakan hal buruk, tidak adilnya hukum dan bencana dalam hal pelayananan umat beragama. Masih ada diskriminasi dan ketidakadilan. Bahkan bila mau sungguh-sungguh sadar, kedua UU di atas merupakan akar konflik, kekerasan dan aksi-aksi kriminal dan pelanggaran prinsip keadilan dan kemanusian universal. Sangat terasa sekali, justru  pemerintah melakukan pemanjaan dan memberikan legitimasi kepada sekelompok dan gerombolan minoritas anarkhis melakukan kekerasan dan kekejaman terhadap kaum minoritas. Karena itu nantinya menjadi aneh bila kedua UU termaksud masih bercokol dalam tatanan hukum nasional dan RUU PUB masih menjadikannya sebagai landasan yuridis dan masuk dalam naskah akademisnya.

Keempat (4), kita ingin menegaskan, nanti dalam Naskah Akademis RUU PUB harus mengelaborasi fakta-fakta sosilogis, antropologis dan teologis adanya ragam agama dan kepercayaan di Indonesia. Yang paling krusial dalam hal ini adalah definisi atau makna agama. Bagaimana entitas keyakinan itu dalam konsep RUU di atas nantinya dijelaskan? Harus dihindari dalam draft RUU ini definisi agama yang hanya mengarah kepada agama-agama besar semata. Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konghucu. Harus diayomi fakta adanya berbagai macam aliran kepercayaan yang ada di Indonesia seperti Sunda Wiwitan (Kanekes, Banten), Agama Djawa Sunda (kungingan, Jabar), Buhun (Jabar), Kejawen (Jateng dan Jatim), Parmalim (Sumut), Kaharingan (Kalimantan), Tonaas Walian (Minahasa Sulut), Wetu Telu (Lombok), Marapu (Sumba) Budi Luhur, Purwoduksino, Naurus (Pulau Seram, Maluku), Pahkampetan, Bolim, Basora, Samawi dsb.

Bila gagal mengadopsi dan memposisikan berbagai macam aliran kepercayaan ini, akan menjadi tangga dan celah lebar perlakukan diskriminatif dan rasis dalam masyarakat. Kami khawatir bila itu terjadi, RUU ini tetap merupakan masalah bagi nasib kaum minoritas. Inilah agama-agama asli bumi Nusantara sebelum kehadiran agama-agama besar dari Asia.

Kelima (5), dalam hal pemenuhan hak-hak sipil warga negara dan sejalan dengan bunyi pasal 27 pada UU No. 12/2005 tentang hak-hak minoritas yang harus dilindungi, maka RUU PUB nantinya harus merefleksikan komitmen pemerintah dalam melindungi semua minoritas yang eksis di negeri ini dengan memberikan pengakuan (recognition), keterwakilan (representation), dan kesejahteraan (refistribution). Sebab, bila terjadi ketidakjelasan pembahasan tentang posisi kaum minoritas dalam RUU KUB, itu akan berdampak pada ketidakjelasan peran FKUB yang banyak didominasi oleh perwakilan agama-agama yang diakui oleh Negara, terutama dominasi Muslim. Di lembaga yang dibentuk dan didanai operasional dan gaji anggotanya dari pajak ini, miskin representasi agama lokal dan aliran kepercayaan. Kaum minoritas tidak terwakili dalam FKUB. Bagaimana suara, perspektif dan pembelaan hak-hak mereka muncul dalam kebijakan yang dirumuskan? Kami menguatirkan RUU PUB juga belum tuntas membahas hal ini.

Hal paling krusial dan genting untuk dibahas secara mendalam dalam RUU PUB ini adalah persoalan perseorang/lembaga/ormas sosial-keagamaan yang sering membuat ulah dan melakukan aksi-aksi perusak keharmonisan kehidupan dan relasi antar agama. Bukan rahasia lagi bila publik akan menunjuk hidung FPI, FUI dan MUI atau ormas-ormas lain manapun.  Agitasi dan provokasi sengaja atau tidak sengaja rajin muncul dari lembaga-lembaga di atas. Karena itu, kami berani menuduh pemerintah berkhianat kepada rakyat dan konstitusi. Sudah selayaknya masyarakat dan sipil society melakukan class action. Harus dibicarakan dalam bagaimana bila negara mengabaikan dan memelihara keabadian intoleransi dan membiarkan kekerasan atas nama agama itu terjadi. Maka, bila itu terus terjadi sebagaimana pada 10 tahun rezim SBY, kami bernyali  untuk mengatakan: bahwa pelanggaran dan pengabaian itu secara nyata dilakukan oleh negara (by comission). Jadi negaralah/pemerintah lah pelaku kekerasan dan pelanggaran terhadap nilai-nilai HAM itu.

Keenam (6),  hal yang penting untuk muncul dan dijadikan mainstreaming program  dalam Naskah Akademis RUU PUB itu adalah pentingnya kita  beragama yang sehat, penuh toleransi terhadap perbedaan dan sikap rational dan tidak diskriminatif terhadap agama-agama dan kepercayaan apapun. Harus muncul dalam Draft RUU PUB ini bagaimana seharusnya pemerintah mendewasakan cara pandangan rakyat atau warga Negara  terhadap agama-agama di bumi Indonesia. 

Terakhir, dalam pemahaman kami,  esensi dan substansi sebuah UU ataupun peraturan-peraturan adalah kebaikan/keamanan/keadilan/kesehatan public. Sebuah UU atau pun peraturan  diproduksi untuk mengantisipasi berbagai masalah dan diproyeksi untuk masa yang panjang. Nah, kami berharap besar  RUU PUB ini benar-benar berikhtiar untuk menyelesaikan masalah dalam relasi lintas agama yang sehat, damai dan harmonis serta benar-benar mendudukkan semua warga Negara secara terhormat dan adil di depan hukum. Law enforcement benar-benar ditegakkan dan dilaksanakan.  Itulah modal utama dan mendasar kerukunan umat beragama.

 

(rr)