Foto: Waspada.co.id

M. Nasruddin, BeningPost

Salah satu penggalan riwayat kehidupan Nabi Muhammad SAW yang paling saya sukai adalah mengenai komitmen beliau terhadap penegakkan aturan.  Dikisahkan pada masa penaklukkan kota Mekkah seorang wanita dari kalangan bangsawan Quraish didakwa melakukan pencurian dan kalangan Quraish kebingungan dalam mengambil keputusan. Mereka kemudian sepakat untuk meminta pengampunan kepada Nabi untuk wanita tersebut.

Tapi kemudian Nabi naik mimbar dan berkata,“Wahai manusia sesungguhnya yang membinasakan orang-orang sebelum kamu adalah apabila seorang bangsawan mencuri mereka biarkan; akan tetapi apabila seorang yang lemah mencuri mereka jalankan hukuman kepadanya. Demi Dzat yang Muhammad berada dalam genggaman-Nya. Kalau seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri. Niscaya aku akan memotong tangannya.”

Karena sikap tegas Nabi tersebut, hukum yang berlaku saat itu—potong tangan—pun dijalankan.

Mungkin karena menyangkut hukum ‘potong tangan’, kisah ini tidak begitu populer di kalangan masyarakat kita. Padahal esensi dari kisah tersebut adalah bahwa seorang pemimpin harus menjadi hamba hukum yang paling taat. Kerabat atau anggota keluarga terdekat sekalipun tidak akan dibela kalau berbuat salah dan demi tegaknya keadilan, kalau perlu kepentingan diri sendiri, keluarga dan kelompok dikorbankan.

Masih ingat Mikhail Gorbachev presiden Uni  Soviet legendaris?  Torehan tandatangan Gorbachev menandai bubarnya negara Uni Soviet yang digdaya dan lahirnya era kebebasan di banyak negara Eropa Timur. Pada saat yang sama, dia pun kehilangan jabatan sebagai presiden negara musuh bebuyutan Amerika Serikat tersebut.

Banyak orang berfikir bahwa pahlawan kebebasan Afrika Selatan adalah Nelson Mandela dan Pendeta Desmond Tutu. Tapi pahlawan kebebasan yang sesungguhnya adalah Frederik Willem de Klerk, presiden kulit putih terakhir di Afrika Selatan. Tindakan FW de Klerk mambatalkan pelarangan Kongres Nasional Afrika dan organisasi kulit hitam yang lain serta pembebasan Nelson Mandela pada awal 1990 merupakan awal menuju perundingan yang mengakhiri apartheid dan hilangnya dominasi minoritas kulit putih hingga hari ini.

Banyak di antara kita yang mungkin merasa takjub atau bahkan terharu ketika presiden SBY dengan tegas menyatakan tidak ikut campur dengan proses pengadilan yang akhirnya menjebloskan besannya Aulia Pohan ke dalam penjara. Tapi rasa takjub itu berubah menjadi cibiran ketika mengetahui bahwa besan SBY itu diketahui mendapat remisi 3 bulan dan  ditengarai menerima perlakuan istimewa selama dalam tahanan.

Dulu SBY pernah dieluk-elukan sebagai pahlawan anti korupsi melalui pemberdayaan KPK. Tapi komitmen anti korupsi SBY mulai dipertanyakan ketika dia bersikap diam pada saat banyak pihak, termasuk partai Demokrat, berkali-kali mencoba melemahkan KPK. Kasus Nazaruddin, bendahara Partai Demokrat yang disinyalir mengeruk triluan rupiah dari proyek-proyek pemerintah untuk membiayai partai dan menyeret banyak tokoh penting di partai bintang mercy ini ke pusaran korupsi, membuat komitmen anti korupsi SBY mencapai titik nadir.

Pertanyaannya sekarang adalah apakah the Thinking General ini pada akhirnya akan dikenang sejarah sebagai pemimpin besar atau hanya sebagai presiden mediocre yang gagal mewujudkan harapan masyarakat banyak atas reformasi? Masih tersisa waktu 3 tahun bagi SBY untuk menjadi tokoh sekaliber Gorbachev atau FW de Klerk yang mengambil langkah besar dengan mengorbankan kepentingan diri sendiri, keluarga atau partainya.

Kita tunggu saja!