Ilustasi Ujian Nasional/ www.salehhusin.net

HARI pertama Ujian Nasional (UN) SMA, saya dikejutkan oleh sebuah pesan pendek. Pukul 06.50 WIB, 10 menit sebelum UN pelajaran pertama dilaksanakan pada Senin 14 April 2014, ponsel saya bergetar. Isinya, “Tiga tahun sekolah, tiga hari ujian, kunci jawaban beredar. Hadehhh….. endonesa”. Tentu saja saya kaget karena hampir sepanjang pelaksanaan UN selalu saja kunci jawaban beredar. Spontan sms itu saya jawab, “Anak bapak harus tetap jujur. Apa pun yang terjadi”. Pesan pendek itu lalu saya sebarkan kepada guru SMA di Kota Cirebon. Tak berapa lama ia menjawab, “Jangan percaya kunci jawaban. Bohong itu!”. Lantas saya Tanya ulang, “Siapakah pelakunya?”. Dia pun kembali menjawab, “Tidak tahu”.

Ketika di media sosial heboh mengenai dua paragraf yang menuliskan tentang sosok Joko Widodo pada UN Bahasa Indonesia, saya malah berpikir tentang kunci jawaban yang beredar di kalangan pelajar SMA. Entah benar atau salah kunci jawaban itu, yang pasti selalu saja terjadi hal serupa hampir pada setiap UN digelar.

Membaca pemberitaan di Madura, kabarnya siswa peserta UN yang hendak ke toilet pun diantar polisi. Trauma nyontek yang tidak pernah hilang dari sistem belajar mengajar di Indonesia memungkinkan siswa untuk mengambil jalan pintas. Yang penting nilai UN bagus dan mulus bisa masuk ke Perguruan Tinggi Negeri yang ia dambakan. Jika nilai UN bagus dan ditambah dengan nilai Indeks Prestasi Komulatif (IPK) yang bagus pula, maka PTN yang didambakan pun bisa diperoleh melalui jalur undangan. Dulu namanya Proyek Perintis 2.

Kembali ke masalah UN. Beberapa tahun lalu, UN menuai protes dari pakar pendidikan dan beberapa tokoh yang konsern di bidang itu. Ada yang mengusulkan supaya UN ditiadakan saja, mengingat belum meratanya kemampuan siswa se-Indonesia. Kedua, daya serap pelajar se-Indonesia terhadap mata pelajaran pasti berbeda sehingga banyak siswa yang tidak mampu menjawab soal-soal UN. Ketiga, UN berbanding terbalik dengan pola otonomi sekolah. Ketiga, UN berpeluang terjadinya kebocoran kunci jawaban.

Padahal soal ujian dikawal oleh kepolisian yang menggengam senjata laras panjang. Namun tetap saja kunci jawaban UN beredar di kalangan siswa. Sebuah pemandangan yang kontras senantiasa terjadi pada saat menjelang UN digelar. Soal-soal UN yang berupa kertas diperlakukan seperti pengawalan terhadap seorang teroris.

Melansir berita di sebuah koran, tersiar kabar berikut ini. Posko UN 2014 Kemendikbud selama H-2 hingga hari kedua pelaksanaan UN, Selasa (15/4/2014) menerima aduan sebanyak 159 kasus. Hal ini jauh berbeda dibandingkan pada 2013 lalu, dimana Kemendikbud menerima 381 kasus di posko pengaduan.

"Pengaduan tahun 2014, turun jauh dibandingkan pengaduan tahun 2013. Ini karena kami selalu berusaha lebih baik dibanding tahun sebelumnya, kami terus melakukan perbaikan," terang Wamendikbud Bidang Pendidikan, Musliar Kasim, Selasa (15/4/2014) di Kemendikbud. Dari 159 kasus yang masuk, pihaknya mendata ada 9 kasus menonjol dalam pelaksanaan UN. Kesembilan kasus itu yakni : perubahan jadwal UN, kualitas kertas UN, variasi 20 paket soal UN, isu kecurangan.

Kemudian kasus menonjol lainnya yaitu kekurangan naskah, pungutan UN, isu kunci jawaban, terukar soal UN, dan isu kebocoran. "Kasus menjol yang paling banyak aduan yaitu isu kunci jawaban, tahun 2013 ada 2 laporan. Tahun 2014 ada 7 laporan. Lalu isu kebocoran tahun 2013 ada 1 laporan, tahun 2014 meningkat dari 7 laporan," tambahnya.

Urun Rembug

Mendapati fakta tentang kebocoran kunci jawaban UN sebaiknyalah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memformat ulang keberadaan UN. Kalau perlu ditiadakan saja. Dan kalau masih dianggap perlu maka (sekalian saja) bentuk soal UN berupa esai sehingga susah untuk dicontek peserta UN, dan susah pula proses “pembocoran” kunci jawabannya.

Menanggapi banyaknya kunci jawaban yang beredar di kalangan siswa, Wamendikbud Bidang Pendidikan, Musliar Kasim mengatakan kebenaran kunci jawaban itu tidak dapat dijamin. "Soal kunci jawaban beredar si sosial media dan di kalangan pelajar, siapa yang jamin itu benar ?," tegas Musliar, Selasa (15/4/2014) di Kemendikbud.

Musliar mengatakan kunci jawaban yang beredar itu sangat tidak diyakini kebenarannya. Pasalnya selama pencetakan hingga pendistribusian, soal dijaga oleh empat pengawas terkait, termasuk kepolisian. "Di percetakan semuan dijaga ketat. Saya saja masuk ke percetakan dilarang membawa HP dan dompet bahkan sepatu juga dibuka," kata Musliar. Pihaknya turut mengusut beredarnya kunci jawaban tersebut. Apabila kunci jawaban yang beredar itu benar, maka pelaku yang membocorkan akan ditindak seadil-adilnya.

Jawaban Wamendikbud sepertinya gamang. Pada kesempatan pertama ia mengatakan siapa yang bisa menjamin bahwa kunci jawaban benar, namun pada kesempatan kedua ia mengatakan apabila kunci jawaban yang beredar itu benar maka pelaku yang membocorkan akan ditindak seadil-adilnya. Jawaban gamang dan ambivalen ini seharusnya tidak terjadi. Dengan kata lain pihak kemendikbud berada di tingkat keraguan mengenai kunci jawaban UN yang beredar itu.

Selasa (15/4) saya juga mendapat pesan pendek dari pelajar SMA peserta ujian. “Soalnya susah, pak”. Pesan pendek itu betapa pun miris isinya meyakinkan saya bahwa sang peserta UN itu menjawab soal-soal UN hari kedua dengan mendayagunakan kemampuannya, tidak menyontek, dan tetap jujur serta yakin akan kemampuan dirinya. Tentang berapa nanti IPK hasil UN nya ia tak peduili. Karena tak lama setelah itu, ia pun kembali berkirim pesan pendek, “Teman-teman yang pinter pada bilang soalnya susah. Tapi yang biasa kelihatan tenang karena nyontek”.

UN yang menuai polemik sebaiknya dihapuskan saja. Bukankah untuk menjadi mahasiswa setelah kelulusan UN diumumkan, ribuan pelajar tetap saja harus mengikuti test seleksi masuk perguruan tinggi negeri?***

(rr)