inspirasi.co

Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie sejak kecil biasa disebut dengan panggilan Ical. Panggilan kecil itu bahkan tetap bertahan sampai ia menjadi “orang besar” dan terkenal seperti sekarang. Hampir semua koleganya —terlebih yang karib— memanggil Aburizal Bakrie cukup dengan panggilan Pak atau Bang Ical.

Namun, sejak Ical ditetapkan sebagai capres dari Partai Golkar untuk Pemilu 2014. Atau barangkali lebih tepat, saat ia mendeklarasikan pencapresannya di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Jawa Barat, pada 1 Juli dua tahun lalu, panggilan “Ical” diganti dengan panggilan “ARB”. Akronim tiga huruf besar ini dianggap lebih mustajab dan mampu mendatangkan keuntungan dan kekuasaan politik bagi diri dan partainya.

Iya, pergantian panggilan atau sebutan nama untuk Aburizal Bakrie itu memang didasarkan pada pertimbangan marketing dan strategi politik pencitraan untuk mendulang dukungan suara pada pemilihan mendatang. Menurut pakar politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Ikrar Nusa Bakti, panggilan “Ical” bukan hanya tidak pas bagi pencapresan Aburizal Bakrie, melainkan juga mengandung asosiasi yang negatif. 

Sebab, terang Ikrar, kata “Ical” dalam masyarakat Jawa Timur mengandung arti “hilang”. Artinya, Aburizal Bakrie bisa dianggap hilang dari bursa pencapresan. Penafsiran hilangnya Aburizal Bakrie dari pencapresan ini, kemudian oleh sebagian publik, dikait-kaitkan dengan persoalan bencana lumpur Lapindo Sidoarjo yang juga menghilangkan banyak rumah, tempat tinggal dan “kehidupan” warga di Sidoarjo. Dengan kata lain, Aburizal Bakrie akan hilang dari bursa pencapresan, karena dihilangkan bencana lumpur yang sama. Suatu hal yang pasti tidak diinginkan terjadi oleh Aburizal Bakrie yang terlihat begitu ngotot jadi presiden. 

Selain itu, penggantian sebutan “Ical” ke “ARB” bisa jadi juga karena diilhami dari sukses besar SBY pada dua pemilu sebelumnya. Dalam politik pencitraan, penyingkatan nama menjadi sekedar akronim memang lazim dilakukan. Di Amerika Serikat, mantan presiden Jhon F Kennedy juga menyingkat namanya dengan akronim JFK. Di tanah air, Jusuf Kalla menjadi populer dengan JK, dan Joko Widodi menjadi Jokowi.

Meskipun sebenarnya, di kalangan internal Partai Golkar sendiri, penggantian sebutan “Ical” ke “ARB” tidak semerta-merta disepakati secara bulat oleh semua kader. Pengurus Demokrat cabang Bali, misalnya, dikabarkan belum bisa menerima dan masih keberatan dengan sebutan “ARB”. Alasannya sederhana, panggilan “Ical” lebih dikenal luas masyarakat daripada “ARB”. Mereka khawatir masyarakat nanti justru malah bingung.

Tapi, pengurus Golkar di tingkat pusat terlihat mantap untuk menggunakan sebutan atau panggilan “ARB” bagi pencapresan Aburizal Bakrie. Panggilan “ARB” kemudian mulai ditekankan, ditebalkan, dan ditonjolkan, terlebih di (dan melalui) media-media. Sementara panggilan “Ical” disamarkan, pelan-pelan dihilangkan. 

Tulisan ini bermaksud melihat bagaimana media merespon perubahan panggilan atau sebutan “Ical” ke “ARB”. Saya melihat sebuah kecenderungan, yang, bagi saya menarik: bahwa tidak semua media menggunakan sebutan “ARB” dalam pemberitaannya, melainkan masih tetap menggunakan sebutan “Ical”. Padahal pilihan media dalam menggunakan sebutan “Ical” atau “ARB” itu bukan pilihan yang alakadarnya dan asal pakai. Pilihan media dalam menggunakan sebutan “Ical” atau “ARB” dalam pemberitaan, pada penilaian tertentu, dianggap bisa menunjukkan gerak media yang partisan dalam politik pencapresan.   

Media Bias dan Mesin Propaganda

Sekilas saya amati, berita-berita di TV-One praktis menggunakan sebutan atau panggilan “ARB” dalam pemberitaan-pemberitaannya terkait seputar pencapresan Aburizal Bakrie. Tak ada lagi panggilan “Ical” dalam pemberitaan yang mereka siarkan. Sementara dalam Vivanews—yang juga merupakan media di bawah kepemilikan Bakrie Group—masih ditemukan pemberitaan yang menggunakan sebutan “Ical”, meskipun berita dengan penggunaan kata “ARB” tampak lebih dominan.

Namun, di antara sekian banyaknya media-media di tanah air, ada beberapa yang tetap memilih menggunakan sebutan “Ical” dalam pemberitaan mengenai pencapresan Aburizal Bakrie. Tentu memang tidak semua media saya amati. Saya hanya melihat kecenderungan media-media besar, terlebih Tempo (itupun Tempo versi online) dalam hal ini. Sejauh yang saya amati, Tempo nyaris tidak menggunakan (untuk tidak mengatakan tidak pernah!) menggunakan sebutan “ARB” saat memberitakan tentang pencapresan dan hal-hal terkait dengan Aburizal Bakrie.

Bagi saya, pilihan media dalam menggunakan sebutan “Ical” atau “ARB” tersebut sangat politis, menunjukkan geliat politik media yang partisan dalam politik pencapresan jelang Pemilu 2014 (terlebih TV-One dan media di bawah kepemilikan Bakrie lainnya). Sebab, penggunaan kata “Ical” atau “ARB”, jika kita melihat kembali konteks dasar perubahannya, itu tak lepas dari pertimbangan politik. Sehingga kita tidak bisa mengosongkan dan melepaskan keduanya dari makna yang tidak bersifat politis. Media-media, diakui tidak, telah berakrobat melalui perangkat-perangkat bahasa untuk memberikan dukungan terhadap capres tertentu. Di sini, bias-bias media mulai terasa.

Pada penilaian yang ekstrim, memang tak ada media yang bisa sepenuhnya netral. Netralitas itu hanya mitos. Atau jargon semata. Apalagi di tengah-tengah peta kepemilikan media di Indonesia saat ini yang terkonsentrasi hanya pada segelintir elit. Yang bukan kebetulan, pemilik media-media itu, di antaranya merangkap sebagai politisi, ketua umum partai dan calon presiden sekaligus. Sungguh, netralitas media seperti sebuah lawakan di negeri ini. 

Prinsip diversity of ownership dan diversity of content tak digubris. Akhirnya sudut pandang media menjadi seragam. Seragam dalam menyuarakan kepentingan satu orang dan golongan saja, yang tak lain, para pemilik modal itu. Jika dahulu kehadiran media dianggap pilar ke-empat (the fourth estate) yang mampu menjalankan fungsi kritisnya di antara fungsi-fungsinya yang lain, atau orang menyebut media sebagai anjing penjaga (watch-dog) bagi kekuasaan (baik ekonomi dan politik) yang menyimpang. Kini malah berbeda. Muncul sindiran yang pesimistis melihat peran media-media saat ini. Media sebagai anjing penjaga sudah dianggap semakin lunak dan dipelihara oleh para juragan . Anjing-anjing itu hanya menggonggong pada orang lain, tapi manut pada sang majikan. Anjing-anjing itu sedang lapar, menengadah menjulurkan lidahnya pada para pemilik modal.

Tak heran, jika kemudian media-media menjadi sangat partisan. Pengamat media kawakan Noam Chomsky terasa benar sekali. Media hampir selalu pasti memiliki bias-bias tertentu. Media-media tak pernah bisa memposisikan dirinya seperti layaknya burung onta yang steril. Media pasti berpihak, karena menghamba pada sesuatu di luar dirinya.Sialnya lagi, media berpihak dan loyal pertama-tama bukan pada warga—sebagaimana ditekankan Bill Kovach Tom Resentiel dalam “Sembilan Elemen Jurnalismenya”—melainkan pada pemilik modal, pada kapital. 

Penggunaan sebutan “ARB” oleh media-media di bawah kepemilikan Aburizal Bakrie sebagaimana dibahas di atas merefleksikan dengan samar-samar kebiasan media seperti tudingan Chomsky. Media telah memainkan peran partisan dalam politik pencapresan yang menghamba pada kepentingan modal si pemilik media dengan menggunakan bahasa sebagai strategi. Media sudah menjadi corong propaganda yang gigih para pemiliknya.

(rr)