Alam Akbar - BeningPost
Peningkatan kesejahteraan yang terus digemborkan pemerintah tidak lain adalah bumerang bagi bangsa ini. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan I-2011 sebesar 1,5% pada PDB Indonesia tidak diikuti dengan kesejahteraan rakyat secara nasional. Meskipun pertumbuhan terbesar terdapat pada sektor pertanian, kehutanan dan perikanan sebesar 18%, masyarakat pedesaan khususnya yang berprofesi dalam sektor tersebut masih diambang batas kemiskinan.
Pemberlakuan UU No. 32/2004 dan UU 33/2004, pemerintah menempatkan provinsi dan kabupaten/kota sebagai sasaran pelaksanaan otonomi daerah dan memandang desa untuk siap menjalankan otonominya sendiri, melanjuti dari otonomi asli yang digunakan. UU No. 32/2004 mengenai pemerintah daerah pasal 200 dan 216 juga menyatakan bahwa desa di kabupaten/kota memiliki kewenangan – kewenangan yang dapat diatur secara bersama antara pemerintah desa dan BPD yang dimaksudkan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat.
Melihat isi dari UU tersebut terlihat jelas desa memegang peranan penting dalam pemerintahan sekarang. Dengan jumlah keseluruhan desa di Indonesia mencapai 82 ribu, desa seharusnya menjadi penopang perekonomian, bukan penghambat perekonomian.
Beberapa saat kemarin, Bank Dunia melaui Program Nasional Pemberdayaan Mandiri (PNPM) Mandiri Perdesaan IV memberikan dana kepada 60.000 desa sebesar 531 juta dollar AS. Pinjaman ini bertujuan untuk revitalisasi pembangunan desa dan pemberdayaan masyarakat desa dengan penerapan prioritas pembangunan.
Peran asing yang telah banyak membantu Indonesia untuk kemajuan negara justru dikesampingkan oleh institusi negara ini. Pinjaman demi pinjaman asing datang mengalir, bukan untuk kemajuan bangsa ini tetapi termakan ke rekening pejabat. Bentuk pinjaman cair yang hanya menambah jumlah utang negara harus dengan rela dihabiskan untuk kepentingan pribadi, partai atau kelompok.
“Provinsi Jawa Tengah saat ini sudah bebas dari daerah tertinggal. Hanya 183 kabupaten di seluruh Indonesia yang masih dalam kategori tertinggal yang tersebar di beberapa provinsi,” ungkap Menteri Negara Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), Helmy Faishal Zaini.
Berbicara realita secara umum, peran pemerintah pusat dalam hal ini kementrian dalam peran pemberdayaan desa bisa dikatakan membaik. Lalu, apa yang salah? Apa yang membuat desa malahan semakin terpuruk?
Korupsi yang diduga dilakukan perangkat desa dan kepala desa adalah salah satu faktornya.
Pada pemberitaan yang ditulis Kompas pada 25 Mei 2010, Basuki, Lurah Desa Temuwuh, Kecamatan Dlingo Bantul, terlibat kasus korupsi dana rekonstruksi gempa Jogjakarta senilai 1,6 miliar. Korupsi tersebut dilakukan dengan cara memotong dana rekonstruksi para korban gempa sebesar Rp 3 – 7 juta per orang.
Selanjutnya, Kepala Desa Pangkung Paruk, Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng, Bali, didakwa perkara melakukan korupsi uang ganti rugi pembebasan lahan sebesar Rp177,1 juta atas pemasangan tower listrik milik PLN.
Pertanyaan yang mendengung tidak lagi menyalahkan pribadi layaknya frasa “jangan salahkan orang lain, introspeksi diri sendiri” tetapi aparatur dan perangkat pemerintah yang harus disalahkan. Birokrasi yang berbelit – belit dan tidak transparannya dana yang dilampirkan membuat rakyat semakin tidak sejahtera.
Merujuk pada kebijakan pemerintah terhadap hak primer warga negaranya untuk mendapatkan kesejahteraan dikatakan tidak sesuai. Lihat masih banyaknya desa yang belum teraliri listrik. Sementara Kementerian Komunikasi dan Informasi menggemborkan sebanyak 31.800 desa di Indonesia telah terhubung dengan sambungan telepon dalam rangka realisasi program Desa Berdering 2011. Tidakkah hal tersebut bertimpang tindih?
Konsentrasi pemerintah hanya melihat daftar stastik, kemajuan berdasarkan basis level dan pemusatan kekuasaan. Daerah Indonesia bagian timur yang masih cukup tertinggal hanya mengisap jari. Mereka memang tertinggal atau sengja ditinggalkan? Dengan presentase 70% dari wilayah tersebut masih tertinggal.
Persoalan kesehatan, pendidikan, politik dan perang antar saudara masih rawan terjadi di Indonesia bagian timur. Gejolak buruh Freeport di Irian, kasus kerusuhan antar agama di Ambon dan yang terbaru adalah ledakan bom di pondok pesantren di Bima, NTB. Apakah pemerintah hanya ingin berlomba mendirikan kebun kelapa sawit terbesar atau gedung pencakar langit di kota besar tanpa memperdulikan nasib saudara kita disana?
Posted: 15/07/2011 13:45:19 WIB