www.iberita.com

Pergulatan bahasan terkait Lesbian Gay Biseksual dan Transgender (LGBT) merupakan perdebatan lampau yang sempat mengalami pasang surut. Saya katakan pasang surut, karena memang sempat menjadi diskusi hangat pada kurun waktu tertentu dan mendingin pada waktu yang lain.

Awal 2016, bahasan ini sempat kembali mengemuka menjadi bahasan publik secara luas setelah muncul publikasi aktivitas komunitas yang menamakan diri Support Group & Research Center on Sexuality Studies (SGRC) yang sempat mendapat respon publik sebagai aktivitas pencatutan nama institusi pendidikan. Pasalnya SGRC menyandingkan nama Institusi setidaknya di UI dan UIN, sehingga terkesan suatu lembaga Riset Resmi milik kampus tersebut. Publikasi SGRC yang dituduh mencatut nama institusi tersebut.

Saya tidak mendalami bahasan terkait pencatutan tersebut karena pasti SGRC punya argumen kenapa ada nama institusi dibelakang nama komunitas riset mereka.

Namun, saya tertarik mendalami terkait upaya kampanye LGBT kepada masyarakat yang sedang dilakukan oleh SGRC. Dalam beberapa publikasinya terlihat jelas komunitas tersebut menginginkan adanya perubahan pandangan masyarakat terkait LGBT. Harapannya, masyarakat berkenan menerima LGBT sebagai suatu hal yang lazim dan bukan suatu hal penyimpangan. Sisi ini yang menjadi fokus saya.

Menurut pandangan saya, pergulatan bahasan ini persis bahasan Pilpres 2014 lalu yang seolah ada polarisasi pemikiran yang berdampak pada hadirnya kubu yang berbeda pandangan. Yang cukup kentara adalah kelompok yang memilih diksi LAWAN LGBT dan kelompok yang memilih diksi SUPPORT LGBT, dalam hal ini SGRC masuk pada kategori kelompok yang terakhir saya sebutkan.

Saya pribadi memilih opsi lain yaitu Sembuhkan LGBT. Barangkali opsi ini bukan hal yang baru, mengingat sudah banyak wacana terkait ini. Hanya saja perlu saya munculkan kembali sebagai bahan pertimbangan bagi masyarakat dalam menilai aksi kampanye yang dilakukan SGRC. Masyarakat punya hak diajak menelaah suatu kondisi sebelum akhirnya menentukan sikap.

Berikut ini beberapa hal yang dapat menjadi bahan pertimbangan masyarakat dalam rangka menanggapi kampanye SGRC:

Pertama, Saya menemukan karya tulis ilmiah yang mengungkapkan bahwa LGBT pernah disepakati dalam diskursus psikologis sebagai suatu penyimpangan kejiwaan. Dalam tulisan tersebut disebutkan, "Dahulu di dalam DSM (Diagnostic and Statistic Manual of Mental Desorder), homoseksulitas dianggap sebagai penyimpangan yang termasuk kedalam gangguan jiwa, akhirnya setelah beberapa kali mendapat kritikan pada tahun 1974 APA (American Psychiatric Association) menghapus homoseksual dari salah satu kelainan jiwa atau kelainan seks. Perubahan paradigma psikologi dalam melihat homoseksualitas ini memiliki dampak yang sangat besar dalam diskursus legalitas homoseksual dan LGBT secara umum. Setelah dideklasifikasi olah APA dari DSM  maka  LGBT dianggap sebagai perilaku yang alamiah dan normal"

Publik layak mendapat asupan ilmiah ini agar bisa menentukan sikap terkait polemik apakah benar Homoseksual adalah hal yang normal dan alami? Pada bagian ini, wajar apabila muncul perdebatan yang membuat publik ragu bahwa homoseksual merupakan hal yang normal dan fitrah.

Setidaknya masih tersisa tanya, kenapa sesuatu yang tadinya dianggap abnormal lantas dianggap normal di kemudian hari? Ini hasil perdebatan sains atau intervensi politis kaum homoseksual yang terlibat didalamnya? Wajar jika publik ragu. Mengingat konsensus APA pada tahun 1974 tersebut ditengarai adanya konflik kepentingan sehingga jauh dari kesan ilmiah. Sekali lagi wajar publik ragu.

Kedua, masyarakat juga layak tahu bahwa mayoritas publik yang tidak setuju LGBT tersebut bukanlah berniat menihilkan hak asasi kelompok yang terpapar LGBT. Sama sekali bukan! Setidaknya, saya pribadi tidak berniat menihilkan hak asasi kelompok tersebut.

Yang kami lakukan adalah justru sikap empati kepada kelompok LGBT agar mereka bersikap objektif menyikapi LGBT sebagai suatu kondisi yang tidak normal layaknya seseorang yang mengidap suatu penyakit medis tertentu sehingga membutuhkan perawatan serta pengobatan.

Contoh sederhana, Flu atau Pilek dikatakan sebagai suatu penyakit karena kondisi ketika seseorang dianggap menderita flu adalah kondisi yang bukan berada pada kondisi normal laiknya seorang yang tidak flu. Hidung tersumbat, kepala pening, nafsu makan rendah serta konsentrasi terganggu. Saya yakin tidak ada yang nyaman dalam kondisi ini, Bahkan orang yang terpapar LGBT pun pasti ingin lekas sembuh dan kembali dalam kondisi normal (gejala-gejala flu hilang).

Saya katakan dalam poin kedua ini hendaknya kelompok LGBT berpikir objektif adalah karena ada perlakuan yang berbeda menanggapi kondisi tidak normal. Saya telusuri pengakuan kelompok LGBT pada awalnya semua mengaku bahwa kondisi mereka pada awalnya adalah kondisi tidak normal. Letak tidak objektifnya adalah, mengapa tidak berobat atau menempuh serangkaian upaya agar kembali normal?

Sayangnya, mereka malah menguatkan dan mencari dukungan bahwa kondisi LGBT-nya adalah fitrah. Dalam konteks pilek tadi, ini seperti orang yang sudah muncul gejala flu namun meminta dukungan publik bahwa Ia sehat-sehat saja dan tidak flu, walaupun -mohon maaf- lendir sudah banyak mengalir dari hidungnya, mata memerah, dan wajah pucat pasi.

Ini sisi tidak objektifnya kaum LGBT, untuk urusan Flu mereka lekas adakan pengobatan, namun tidak untuk LGBT. Untuk itu publik berhak memiliki pandangan bahwa Kaum LGBT perlu dirangkul dan didukung kesembuhannya mengingat gejala luar yang tampak sangat tidak etis dihadapan publik. Saya yakin publik masih melihat negatif bahkan -mohon maaf- jijik, jika melihat laki-laki sesama laki-laki berciuman atau saling mengekspresikan kecenderungannya satu sama lain.

Ketiga, Saya dan masyarakat yang mengajak kaum LGBT berkenan mengikuti rangkaian pengobatan adalah bagian dari masyarakat yang berupaya agar kaum LGBT tidak terjangkit kemungkinan penyakit yang mematikan dalam hal ini HIV/AIDS. Tentu saya juga insyafi tidak melulu LGBT bicara hubungan seksual. Hanya saja tidak bisa disangkal, kemungkinan itu ada dan bahkan ada faktanya.

Dalam hal ini saya menemukan data dan Fakta terkait HIV/AIDS dan perilaku seks sesama jenis,

a) Gay and bisexual men are more severely affected by HIV than any other group in the United States.
b) Among all gay and bisexual men, black/African American gay and bisexual men bear a disproportionate burden of HIV.
c) From 2008 to 2010, HIV infections among young black/African American gay and bisexual men increased 20%.

Saya tidak mengada-ada dalam bahasan point ketiga ini. Sungguh kami berniat menutup peluang sekecil-kecilnya kaum LGBT terseret dan terpapar penyakit yang lebih parah.

Berdasarkan poin 1-3 di atas, sekali lagi saya sampaikan. Pembahasan terkait kontra kampanye LGBT ini tidak diarahkan untuk menihilkan hak asasi kaum LGBT, sekali lagi SAMA SEKALI TIDAK. Justru, hak asasi yang sebenarnya adalah Kaum LGBT layak didukung untuk sembuh dan normal kembali.

Semoga masyarakat dapat menangkap pesan ini dan bisa bersikap tepat terhadap kampanye para penganjur legalitas LGBT. Kami mendukung kaum LGBT sembuh dan Tidak setuju mereka dibiarkan gamang berkepanjangan akibat dukungan semu para penganjur legalitas LGBT.

(rr/Mhk)