SAYA kurang semangat mengikuti pilkada serentak yang digelar di 264 wilayah di seluruh Indonesia beberapa hari lalu. Mungkin karena Kota/ Kabupaten Cirebon (tempat tinggal saya) tidak turut serta maka semangat mengikuti pesta politik itu agak lesu. Namun ada beberapa hal yang patut dicatat. Pertama, hasil resmi siapa yang akan memenangi kontestasi telah dapat diketahui sebelum Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan secara resmi. Kedua, incumbent atau petahana diprediksi bakal memenangkan kontestasi.
Sebagai contoh di beberapa wilayah yang pasangan calonnya ada unsur petahana. Kabupaten Indramayu, Kota Tangerang Selatan, Kota Depok, Kota Samarinda, Kota Surabaya, Kabupaten Karawang, Kabupaten Banyuwangi, Kabupaten Kediri, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Gresik, dan Provinsi Sumatera Barat, adalah wilayah-wilayah yang diprediksi akan dimenangi oleh calon petahana melalui metode hitung cepat.
Dua hal di atas agaknya cukup mengganggu keberlangsungan demokrasi Indonesia. Model hitung cepat yang dilakukan lembaga swasta (katanya independen) cukup mempengaruhi opini masyarakat (pemilih) sehingga KPU tidak perlu bekerja keras. Tinggal meng-cross cheque data hitung cepat dengan laporan dari pelaksana pilkada tingkat terbawah di kelurahan. Padahal boleh jadi data itu kurang akurat. Artinya proses hitung cepat yang dilakukan secara acak (dengan mengambil sampel beberapa TPS) tidak sepenuhnya mewakili jumlah pemilih.
Keberadaan lembaga hitung cepat bisa menjadi pemicu kecurangan bakal calon yang secara finansial memberikan sejumlah uang untuk memenuhi keinginannya, yakni menjadi pemenang pilkada. Inilah yang mengganggu proses demokratisasi Indonesia. Manakala pesta politik masih tetap dipolitisasi demi dan untuk kepentingan kekuasaan. Biasanya langkah ini dilakukan oleh calon petahana. Mungkin lantaran ia telah menyiapkan dana besar bagi kemenangannya. Dan itu bisa direkayasa dengan menggunakan keuangan daerah. Misalnya melalui OPD (organisasi perangkat daerah, misalnya kantor-kantor dinas di bawah pemda), sang calon yang berasal dari petahana “memaksa” untuk memasang baliho, poster, dan penyediaan alat peraga lain yang diperlukan. Celakanya jika berupa uang yang dibagikan langsung kepada pemilih.
Kondisi ini tentu memunculkan pertanyaan, kenapa calon petahana begitu sulit disaingi oleh calon baru? Ini tentu saja tidak menyehatkan demokratisasi di Indonesia, selain tidak menjunjung asas keterbukaan. Misalnya penggunaan dana daerah yang bersumber dari APBD setempat.
Sebagaimana kita tahu, UU nomor 8 tahun 2015 yang menjadi dasar pelaksanaan pilkada saat ini, memberikan batasan terhadap proses kampanye yang dilakukan oleh pasangan calon (paslon). Dalam beberapa hal, proses kampanye yang menjadi inti sosialisasi paslon hanya boleh dilakukan oleh KPU, seperti tertuang dalam pasal 63 ayat 1, 2, 3, dan 4 UU tersebut. Pembatasan ini kemudian dijabarkan dalam peraturan KPU nomor 7 tahun 2015 tentang tata cara kampanye dalam pilkada. Pada pasal 5, proses kampanye paslon untuk penyebaran bahan kampanye kepada umum (ayat 2b), pemasangan alat peraga kampanye (ayat 2c) dan pemasangan iklan di media massa cetak dan/atau media massa elektronik (ayat 2d), hanya boleh dilakukan oleh KPU. Sementara paslon hanya diperbolehkan melakukan kampanye melalui dialog terbatas dengan tatap muka.
Kampanye tatap muka jelas sangat menguntungkan pasangan calon petahana lantaran mereka telah dikenal di masyarakat/ pemilih serta memiliki “amunisi” yang lebih banyak dibanding pasangan calon kompetitornya. Petahan telah memiliki waktu yang sangat panjang, yakni selama lima tahun ketika ia berkuasa untuk melakukan pendekatan kepada pemilih. Sementara kompetitor pada umumnya hanya memiliki waktu satu atau dua tahun. Bahkan ada yang kurang dari itu untuk menyampaikan program-programnya. Dengan posisi start petaha yang berada di depan, mungkinkah kompetitor yang ada dibelakang bisa mendahului dia yang ada didepan? Terlebih energi dan nutrisinya lebih siap.
Parpol Pendukung
Selain faktor undang-undang, perkara kedua yang menjadikan kompetior sangat sulit menyaingi petahana adalah terkait kendaraan politik atau partai politik (parpol) pengusung pasangan calon. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa parpol pengusung pasangan calon dalam menentukan siapa yang akan dihadirkan menjadi kepala daerah adalah mereka yang sudah memiliki elektabilitas baik. Meski sosok populer itu tidak berasal dari kader internal, parpol akan tetap memajukannya guna memperbesar probabilitas untuk merengkuh kuasa.
Tak heran jika kemudian dukungan parpol dalam praktiknya banyak terkonsentrasi pada satu pasangan calon, yang pada umumnya adalah petahana. Karena hanya petahana biasanya yang telah memiliki elektabiltas baik. Bahkan dalam beberapa kasus, parpol tidak memajukan calon sama sekali karena tidak ada yang bisa menyaingi elektabilitas petahana. Dalam seloroh seorang teman, “Di Indramayu orang ramai-ramai mengajukan diri menjadi calon pendamping (wakil bupati) ibu Anna Sofana”. Dengan kata lain ia tidak akan berani bersaing dengan kandidat petahana. Jalan aman menuju kekuasaan yang paling mudah adalah mendampingi/ menjadi calon pendamping calon terkuat.
Dengan kondisi ini, tentu sosok-sosok yang ingin berkontestasi selain dari unsur petahana, akan berpikir ulang untuk melakukan sosialisasi lebih awal guna maju menjadi kandidat. Tak adanya kepastian akan diusung oleh partai politik (karena model rekrutmen papol seperti dibahas diatas) membuat sosok-sosok potensial enggan. Lagi-lagi, kondisi ini tentu sangat meguntungkan posisi petahana.
Padahal unsur utama yang bisa mendewasakan demokrasi adalah adanya persaingan. Ketika persaingan menciut dan politisi hanya ingin menang dengan cara paling aman, maka demokratisasi menjadi kalah oleh keinginan sesaat. Biarlah saat ini menjadi orang nomor dua dulu, lima tahun ke depan bisa maju sebagai calon nomor satu dengan pengalaman sebagai wakil kepala daerah. Alasan klasik ini menjadi pembenar langkah avonturir sejumlah politisi kita.
Ke depan, tentu kondisi ini harus menjadi perhatian serius yakni keberadaan calon petahana dan metode hitung cepat yang tidak tepat. Pemilihan langsung yang berpotensi 'menihilkan' adanya persaingan, tentu kurang baik bagi perkembangan demokrasi. Karena bisa jadi, kondisi ini akan bermuara pada lahirnya politik dinasti, yang akhir-akhir ini hangat diperdebatkan agar tidak terjadi di republik ini. Politik dinasti biasanya berawal dari suami kepada istri lalu kepada anak. Kekuasaan politik hanya berputar pada satu keluarga. Ironinya belum ada undang-undang yang melarang praktik semacam ini.***
(rr/DK)
Posted: 16/12/2015 15:00:00 WIB