Foto: Dadang Kusnandar/www.beningpost.com

NOVEMBER tahun ini saya diundang menjadi satu dari 20 peserta Focus Group Discustion (FGD) yang diadakan pada sebuah hotel bintang di Kota Cirebon. Temanya ialah Diorama Pemerintahan Kota Dalam Khasanah Arsip. Pelaksananya Badan Kepustakaan dan Arsip Daerah. Peserta diambil secara acak dari berbagai profesi. Dibuka oleh Asisten Daerah Bidang Pemerintahan Kota Cirebon karena pada saat yang sama walikota menghadiri acara lain.

Sejak acara dibuka pukul 09.00 WIB peserta diperslikan membawa referensi baik cetak maupun elektronik untuk memperkuat pendapatnya. Maka acara FGD saat itu boleh dikatakan optimal membahas satu hal.

Meniru dialog ala Jakarta Lawyers Club yang ditayangkan TV One, pemandu acara Nurdin M. Noer cukup bagus menghidupkan diskusi. Pandangannya cukup membuat peserta FGD hati-hati dalam menyampaikan pendapat, lantaran ia rewel menanyakan ulang pendapat peserta FGD dan kadang pertanyaannya menyudutkan peserta.

Yang jadi persoalan adalah ketika tim dari Jawa Barat merepresentasikan gagasan pendirian museum pemerintahan kota dengan merujuk Museum Kemukus di JawabTengah milik keluarga mantan Presiden Soeharto dan Museum Purwakarta. Tim yang diketuai sejarawan Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung Prof. Dr. Nina Lubis dan diawaki oleh beberapa arsitek –sepertinya sangat yakin bahwa masyarakat Cirebon memerlukan sebuah gedung yang bernama museum.  Itu sebabnya ketika saya diberikan kesempatan bicara, tanpa ragu saya mengatakan latar belakang pendirian kedua museum di atas sangat berbeda dengan konteks Cirebon. Museum Kemukus dibangun karena alasan politis selain kekayaan keluarga Soeharto memang mumpuni untuk mengabadikan kehebatan Pak Harto pada sebuah bangunan mentereng. Ada pun Museum Purwakarta penting didirikan karena Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi perlu pencitraan untuk keikutsertaannya pada pemilihan Gubernur Jawa Barat mendatang.

Maka, jikalau di Cirebon dipaksakan harus ada museum yang bicara tentang masa lalu, ini jelas akan mengungkap babak sejarah kelam yang dinamakan CERBON PETENG. Menurut filolog peserta FGD, "Yang gelap harus menjadi terang. Bahkan Perang Cirebon 1818 berawal dari sini, dari pembunuhan Sultan Matangaji oleh kerabatnya sendiri yang ditawari diangkat menjadi sultan oleh Kompeni Belanda saat itu".

Keberadaan museum setahu saya tidak lepas dari babak sejarah Indonesia. Gedung Gajah di Merdeka Barat Jakarta atau Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Bank Mandiri di Kota Tua Jakarta adalah pencerminan sejarah perjalanan bangsa dalam beberapa episode. Soalnya, kemudian Kota Cirebon yang masih tertatih-tatih membangun ekonomi seketika dikejutkan hendak membangun museum pemerintahan kota. Adakah relevansinya dengan skala prioritas pembangunan masyarakat? Dengan kata lain manakala Indeks SDM masyarakat Kota Cirebon masih jauh tertinggal dibanding Kota Bandung, mengapa pemerintah Provinsi Jawa Barat berkehendak membangun museum?

Menyoal museum dengan diorama, digitalisasi dokumen dengan hi tech bagi saya belum menyentuh persoalan substansi masyarakat Cirebon. Museum yang ada di 3 keraton Cirebon saja belum mampu menyedot pengunjung dalam jumlah besar, bagaimana lagi dengan museum pemerintahan yang masih menyisakan pertanyaan, seperti pembabakan/periodesasi pemerintahan. Apakah sejak ada pemerintahan Mbah Kuwu Cirebon alias Pangeran Cakrabuana yang diteruskan oleh Syekh Syarif Hidayatullah alias Sunan Gunungjati ataukah sejak 1 April 1906 ketika Cirebon dikukuhkan sebagai Kotapraja oleh pemerintahan kolonial Belanda?

Persoalan lain yang agak mengganggu adalah keyakinan tim pengagagas museum kota yang berasal dari Jawa Barat bahwa pembangunan museum pemerintahan kota Cirebon akan dilaksanakan dalam waktu dekat, tahun 2016. Artinya program ini merupakan proyek pemerintah provinsi Jawa Barat melalui APBD. Dan biasanya segala yang bernama proyek hanya meriah pada awalnya lalu buruk pada pemeliharaan dan perawatannya, serta berakhir pada slogan sekadar membangun fasilitas/ sarana sementara konten-nya tidak representatif.

Hal lain yang dianggap ironi adalah FGD sebetulnya membahas pemerintahan kota Cirebon dalam khasanah arsip. Bukan dalam rangka mendukung terealisasinya Museum Kota Cirebon. Sebagai wong Cerbon saya lebih bangga apabila pemprov Jabar membangun sebuah universitas negeri ketimbang sebuah museum yang hanya bicara masa lalu.

Dalam kaitan ini, agaknya kepekaan pemerintah provinsi Jawa Barat menempatkan prioritas pembangunan daerah semoga kiranya harus berawal dari keinginan menyejahterakan masyarakat Jawa Barat. Bukan sekadar menghabiskan APBD hingga saldonya nol rupiah.***

(rr/DK)