Sejumlah anggota DPR mulai mengungkap rumor santer soal oknum kuat di DPR yang mencatut nama Presiden dan Wapres dan meminta saham Freeport. Siapa oknum kuat yang disebut sebagai 'komandan' di DPR itu? Wakil Ketua Komisi III DPR dari PD Benny K Harman mengungkap rumor santer soal oknum kuat yang bermain-main soal Freeport ini. Benny dengan lantang meminta pimpinan DPR mengklarifikasi isu miring itu.
Di atas itu berita buruk kesekian kali yang bersumber dari parlemen Senayan. Nampaknya sudah tidak terhitung jumlah berita tak sedap yang melibatkan anggota DPR RI yang terhormat sejak lembaga itu ada. Dari masalah keuangan, manipulasi, penyalahgunaan wewenang dan jabatan, seks, hingga korupsi. DPR seakan sepi tanpa berita itu. DPR sudah bosan apabila pemberitaannya sekadar sepinya ruang sidang paripurna atau anggota DPR yang terhormat tertidur dalam ruangan ketika sidang berlangsung.
Kali ini lebih seru lagi: Mencatut nama presiden dan wakil presiden demi memperoleh proyek listrik di Timika Papua. "Karena ini sudah jadi rumor bahwa pimpinan dewan, kalau bisa pimpinan dewan memberikan penjelasan secara terbuka," kata Benny yang mengapresiasi langkah Sudirman Said melaporkan dugaan itu ke MKD DPR, kepada wartawan di Gedung DPR, Senayan, Jakarta.
Rumor ini ternyata bukanlah isapan jempol semata. Anggota Komisi III DPR dari PD Ruhut Sitompul makin gamblang menyebut siapa sosok yang diduga dilaporkan Menteri ESDM itu.
Sebut saja namanya supaya jelas siapakah anggota DPR yang melakukan perbuatan tidak terpuji itu. Masalahnya adalah sudahkah DPR melakukan perbuatan terpuji? Sejak lembaga Negara yang bertugas mengawasi jalannya roda pemerintahan ikut terlibat diam-diam dalam sejumlah proyek, sejak itu pula fungsi legislasi menjadi kabur. Padahal keberadaan lembaga ini diperuntukkan bagi penyeimbang gerak pemerintah (legislatif) lantas mengingatkan dan “meniup peluit” apabila pemerintah menyimpang.
Faktanya justru terbalik. Sering di berbagai tempat anggota dewan justru menjadi makelar proyek yang bersumber dari APBN dan APBD. Mereka tahu betul rincian proyek hingga mega proyek di seluruh wilayah Indonesia. Kelakuan buruk ini akhirnya melanda jauh hingga ke daerah. Akibatnya anggota DPRD menjadi makelar proyek (kadang disebut bandar proyek) serta memperoleh fee puluhan prosen dari total nilai pekerjaan tanpa melakukan pekerjaan apa pun. Atau proyek diberikan kepada orang dekat/ saudaranya lantas dia memperoleh uang/ keuntungan tanpa bekerja.
Saya kira inilah bentuk ketidakadilan yang terus berlangsung di Indonesia. Dan pelakunya tidak lain adalah orang-orang terhormat yang dipilih rakyat untuk mewakilkan suaranya di parlemen. Bentuk ketidakadilan lantaran tidak saja menyakiti sejumlah pengusaha murni yang enggan berdekatan dengan kekuasaan, melainkan terpenting ialah keluar dari koridor yang semestinya. Semestinya anggota parlemen adalah sekumpulan orang hebat yang siap menjadi watch dog (anjing penjaga) yang siap menyalak apabila pemerintah melakukan kesalahan prosedur pembangunan. Atau mengingatkan jikalau kebijakan yang dilakukan pemerintah bertolak belakang dengan peraturan yang telah disepakati dengan DPR.
Apa jadinya jika DPR bermain proyek? Apa jadinya jika uang/ dana aspirasi menciptakan sejumlah pengusaha yang bermuara dari partai politik? Sejak reformasi 1998 lalu berbagai proyek di perkotaan dikerjakan oleh pengusaha bermerk partai politik. Dinas Pekerjaan Umum menjadi pengawas atas pelaksanaan proyek. Suatu keadaan terbalik yang diciptakan dengan kesengajaan melalui peraturan yang dihasilkan dari rapat-rapat DPR/ DPRD.
Tahun-tahun itu kita melihat pekerjaan pengaspalan gang-gang di perkotaan, saluran air, dan sebagainya dilaksanakan oleh orang partai politik. Mereka bertanggung jawab kepada pemberi pekerjaan (anggota DPRD atas nama dana aspirasi) dan kepada Dinas Pekerjaan Umum. Tahun-tahun itu pula di kantor sekretariat parpol banyak terdapat plang/papan nama cv atau pt. plang/papan nama perusahaan itulah yang digunakan untuk memperoleh pekerjaan dari dana aspirasi. Besaran dana aspirasi itu tergantung APBD kota/kabupaten.
Kembali ke pencatutan nama presiden dan wakil presiden untuk memperoleh saham di PT Free Port Timika. Langkah Benny K. Harman atau Ruhut Sitompul agar Menteri ESDM Sudirman Said mengungkap nama anggota DPR tersebut sejalan dengan keinginan masyarakat Indonesia. Masyarakat yang merindukan keterbukaan agar perbuatan seperti itu tidak terulang lagi. Dan tentu saja sang pelaku harus diproses hukum lantaran kelakuannya tidak mencerminkan kelakuan orang yang terhormat. Itu tidak lain ialah kelakuan orang yang terkutuk.
Pembaca budiman pasti ingat bila ada sebuah paku menancap pada sebilah kayu maka paku itu dicatut. Dalam teks ini catut (alat pekerjaan tukang) berfungsi baik untuk membetulkan. Akan tetapi catut nama presiden dan wakil presiden untuk sebuah keuntungan pribadi maka perbuatan tersebut harus diminta pertanggungjawaban. Dia harus siap diperiksa. Dan jangan-jangan sering melakukan pencatutan nama yang lain sebelum ini.
"Kita tunggu MKD nanti akan memanggil komandan itu. Ya kalian tahulah komandan itu. Kalian tahu komandan kami siapalah," ujar jubir Partai Demokrat, Ruhut Sitompul. Pertanyaannya beranikah Majelis Kehormatan DPR menyebut nama yang bersangkutan ke hadapan publik? Pertanyaan berikutnya bersediakah MK DPR memproses perilaku tidak terpuji itu?
Tidak hanya Ruhut berharap MKD DPR lekas memproses laporan tersebut. Hal ini penting agar tidak menjadi fitnah yang meluas. “MKD walaupun lembaga etika, saya pikir ada asas praduga tak bersalah tapi kalau saya, sudah rahasia umum. Kalian tahu juga siapa. Aku hanya memohon jagalah nama baik DPR," kata Ruhut.
Namun siapa sebenarnya 'komandan' DPR yang mencatut nama presiden itu? Dalam istilah sehari-hari tentu saja Komandan berarti ketua atau pimpinan. Namun tentu saja semua itu baru rumor. Kalangan pimpinan DPR sendiri sudah menegaskan tak pernah mencatut nama presiden. Lalu siapakah pelakunya?***
(rr/DK)
Posted: 17/11/2015 19:10:00 WIB