www.merdeka.com

Penelitian Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menyangkut kinerja anggota DPR RI hasil pemilihan umum 2009 menyajikan data yang sungguh memprihatinkan. Sebanyak 519 dari 560 anggota DPR yang dinilai, 318 (61,3%) memperoleh nilai sangat buruk, 117 (22,5%) diberi nilai buruk, 51 (9,8%) mendapat nilai cukup, 29 (5,8%) mendapat nilai baik, dan hanya 4 (0,8%) yang memperoleh nilai sangat baik (Media Indonesia, 04/04/2014). Lebih jauh Formappi juga memperlihatkan bahwa 362 (70%) anggota DPR tidak pernah mengunjungi daerah pemilihannya pada masa reses. Sementara kehadiran dalam rapat-rapat pun hanya 22% anggota DPR yang tingkat kehadirannya di atas 85% (Koran Tempo, 04/04/2014). Ini artinya, mayoritas anggota DPR tidak menjalankan amanat yang diberikan kepada mereka ketika terpilih mewakili rakyat untuk duduk di kursi parlemen.

Menilik kinerja anggota parlemen semacam ini, sebagai masyarakat patutlah kita bertanya, apa yang dapat dilakukan oleh anggota-anggota DPR periode 2014-2019? Apakah kinerja mereka lebih baik atau mereka justru hanya mengulang kembali tradisi yang diwariskan para pendahulunya? Kinerja buruk anggota DPR yang dipilih langsung oleh rakyat menunjukkan bagaimana setelah terpilih orang dapat dengan mudahnya melupakan bahkan melepaskan diri dari tanggung jawab yang seharusnya ia jalankan. Apa yang dilontarkan pada masa kampanye tidak lebih dari bualan kosong demi memenangkan simpati dan suara rakyat. Setelah itu, jangankan kembali berkunjung mendekati rakyat, menghadiri sidang pun mereka enggan. Dalam kalimat lain, mayoritas anggota DPR melakukan kebohohongan publik. Hal ini dapat terlihat dari klaim-klaim keberhasilan yang selalu mereka lontarkan ketika kembali berkunjung ke daerah pemilihan yang dilakukan menjelang pemilihan umum periode berikutnya.

Peran Partai Politik

Harus disadari bahwa selain mewakili rakyat, para anggota dewan itu adalah kader partai politik. Maka, partai politik berkewajiban melakukan pengawasan atas kinerja anggota partainya yang telah dipercaya mewakili rakyat. Namun, kenyataan menunjukkan bahwa partai politik pun seakan lepas tangan dan membiarkan kadernya yang telah merebut kursi di DPR untuk bertindak sesuka hati, tanpa mempedulikan tugas dan tanggung jawabnya terhadapa konstituen.

Partai politik terkesan hanya memanfaatkan kadernya untuk mendulang suara, dan melakukan lobi-lobi politik menyangkut kepentingan partai. Tidak heran bila partai politik lebih sering menegur kader yang melakukan sesuatu yang bertentangan dengan kebijakan partai, daripada ketika kader bersangkutan melupakan tugas dan fungsinya sebagai wakil rakyat. Partai politik justru menjerat kadernya dalam situasi dilematis, antara memperjuangkan nasib rakyat atau mendahulukan kepentingan partainya.

Hal ini dapat dilihat dari produk hukum yang dihasilkan yang lebih banyak memihak kepentingan partai politik. Kebanyakan politikus terjerumus dalam transaksi politik yang berujung pada politik oligarkhi seperti ditandaskan mantan ketua MK, Mahfud MD (Antara New.co 18/02/2014). Transaksi politik yang terjadi tidak akan lebih dari sekedar sandiwara yang seolah-olah memperjuangkan kepentingan rakyat, padahal yang dituju adalah kepentingan sepihak partai politik.

Salah satu contoh ialah kejadian yang menimbulkan aneka tanggapan dari masyarakat yakni kehadiran Setya Novanto dan Fadli Zon dalam kampanye Donald Trump. Kehadiran kedua tokoh ini dalam arti tertentu merepresentasikan kehadiran rakyat Indonesia, mengingat posisi keduanya sebagai wakil rakyat.

Identitas Keindonesiaan

Indonesia atau keindonesiaan boleh jadi adalah sebuah identitas. Bila keindonesiaan adalah sebuah identitas, bisa jadi keindonesiaan itu diwakili, bahkan ketika berhadapan dengan mereka yang menyandang identitas yang lain sama sekali. Maka ketika Setya Novanto mengangguk tatkala ditanyai Donald Trump perihal suka atau tidak sukanya orang Indonesia kepada Trump, apakah anggukan itu pertanda ia sedang mewakili sebagian besar rakyat Indonesia, sebagaimana ia mewakili mereka duduk di gedung wakil rakyat? Banyak kemungkinan bisa dimunculkan oleh pertanyaan ini, termasuk kemungkinan bahwa ia hanya bereaksi secara spontan.

Namun, seandainya anggukan itu adalah sebuah kejujuran, apakah kejujuran itu sesuai dengan fakta yang terjadi dalam masyarakat Indonesia hari ini? Jangan sampai kejujuran yang ditunjukkan lewat anggukan itu hanya bagian dari ketidakmampuan bersikap di hadapan sekian banyak pasang mata, sorotan kamera media asing dan terutama sosok Donald Trump sendiri? Bisa jadi juga anggukan itu menunjukkan sisi lain dari para politikus yakni hasrat untuk menyenangkan hati orang lain, dengan mengatakan apa yang ingin didengar, atau apa yang ingin dilihat meski tidak sesuai kenyataan sebenarnya.

Jika prinsip yang digambarkan Karl Marx pada bagian awal tulisan ini dipakai untuk mengukur pertemuan antara Setya Novanto bersama Fadli Zon dengan Donald Trump sebagai sebuah pertemuan politik, pertanyaan menariknya ialah siapa sedang berusaha menipu siapa dalam pertemuan itu. Dengan kata lain, siapa yang sedang berusaha memosisikan yang lain sebagai setan yang harus lebih dahulu ditipu atau diperalat, bukan sebaliknya.  

Fungsi Kontrol Masyarakat

Bercermin pada praktik politik dan tingkah pola anggota parlemen yang terjadi selama ini, sudah saatnya masyarakat disadarkan untuk turut menjalankan fungsi kontrol terhadap wakil-wakil yang telah mereka pilih lewat sistem pemilihan umum langsung. Karena anggota parlemen dipilih secara langsung maka mereka juga harus bisa dikontrol secara langsung oleh konstituen yang telah memberi suara dan membuat mereka duduk di kursi parlemen.

Salah satu alternatif yang dapat dijalankan ialah dengan mewajibkan anggota dewan yang terpilih untuk berkunjung kembali ke daerah pemilihannya pada masa reses sidang. Masyarakat berhak untuk mendapat kunjungan agar kondisi terkini mereka dapat diketahui oleh anggota dewan pilihan mereka. Pada sisi lain, kunjungan pada masa reses lebih efektif karena tidak mengganggu kehadiran anggota dewan dalam sidang-sidang yang dilakukan sebelum atau sesudah masa reses. Bila tidak maka anggota dewan yang tidak hadir pada saat sidang akan menggunakan kunjungan ke daerah pemilihan sebagai alibi ketidakhadirannya.

Masyarakat yang memberikan suara tidak harus dikorbankan lagi sebagai alasan ketika seorang anggota dewan tidak menjalankan fungsi dan tanggung jawab sebagaimana mestinya. Rapor anggota DPR hasil pemilihan umum 2009 menjadi sebuah cermin yang baik bagi wakil rakyat yang duduk di Senayan saat ini. Setahun masa kerja wakil rakyat saat ini dapat diangap sebagai sebuah sinyal untuk menilai bagaimana kinerja mereka di tahun-tahun tersisa. Jangan sampai rapor yang mereka terima nanti tidak akan jauh berbeda dengan rapor para pendahulunya.***

(rr/AF)