www.merdeka.com

Barangkali. Atas nama yang mewakili, kita masyarakat tidak boleh terlalu kaget dengan berbagai upaya dan manuver politik para politisi untuk menggagas program apapun yang mereka sinyalir atas nama dan untuk kepentingan rakyat, karena mereka merasa mengantongi lisensi hak keterwakilan untuk menampung aspirasi, dan menurut mereka hal itu juga termasuk tentang bagaimana mengelola hak keterwakilan itu sebagai legalisasi terhadap berbagai bentuk motivasi politik yang melekat dalam libido politik mereka. Alih-alih menakar hak masyarakat, pasca keterpilihan mereka semakin disibukan mengayuh berbagai “motif sosial” mereka kedalam seremonial politik dalam jabatan prestisius yang mendudukkan mereka menjadi pejabat di lembaga tinggi negara itu. Alhasil penonjolan kesan terhadap berbagai motif sosial dalam berpolitik terutama dalam hal motif berkuasa (need for power), mengalahkan motif berprestasi (need for achievement) dan bahkan motif untuk bersahabat (need for afiliation).

Meski jamak adanya bahwa bagaimana merebut dan mempertahankan kekuasaan memang hal inkrah dalam berpolitik, tetapi membungkus niat politik individual dalam kelompok seolah menjadi bagian dari upaya menyambung aspirasi masyarakat, itu sebenarnya adalah tindakan para pecundang yang meningkahi hak keterwakilan atas keterpilihan mereka menjadi orang yang mewakili. Tidak sulit melihat keseluruhan motif itu, motif yang melekat ditiap jejak moment dan impression management politik para politisi dari panggung ke panggung. Entah itu di panggung depan (front stage), panggung tengah (middle stage) dan panggung belaakang ( back stage).

Mengurai benang kusut serta pro dan kontra soal rencana dana aspirasi yang jumlahnya “dipatok” dalam jumlah yang luar biasa itu, sungguh  menjadikan topik “dana aspirasi” menjadi perbincangan menarik bukan hanya dikalangan elit, ia membuat rakyat kecilpun berani berkicau bahkan mengaum marah. Bagaimana mungkin Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) yang ingin dipatok 20 miliar per anggota Dewan dan akan memakan dana sebesar Rp11,2 Triliun itu benar benar menggambarkan upaya pemborosan yang berkedok untuk dan atas nama kepentingan rakyat. Lalu menimbulkan perasaan ketidak adilan Sebab bagaimana mungkin mematok dana itu secara merata yang pada akhirnya menggulirkan dana itu hanya berputar di daerah yang anggota DPR-nya paling banyak, yakni di Pulau Jawa saja. Disamping adanya kekhawatiran lain soal penjatahan itu, yakni dewan mengambil alih wewenang pemerintah sebaagai pelksana undang undang.

Ada apa motif yang tersimpan dibalik semua rencana itu, menggulir dan menggilir pendapatan dan image politik individual yang sbenarnya bisa mereka kelola dengan memperkuat peran yang sudah ada, tidak perlu menggagas pola penjatahan yang sebetulnya jika hal itu ingin mereka lakukan, bukankah mereka bisa saja berjuang memasukkan program –program itu dalam APBN dengan memperjuangkan kebutuhan dapilnya masing-masing sesuai dengan kebutuhan masyarakat di daerah pemilihannya.

Tetapi disinilah soal dana aspirasi ini dipandang menarik, dari sini kita bisa menguliti berbagai motif politik sang politisi, mereka hanya berkelindang diantara berbagai motif “untuk” dan motif "karena” dalam istilah Alfred  Schutz. Bahkan kita bisa melihat bagaimana seorang politisi memiliki kemampuan menyerap dan mengungkapkan lagi perasaan-perasaan, motif-motif dan pemikiran yang ada dibalik tindakan  politisi, termasuk motif  apa yang menarik baginya untuk menjadi anggota DPR, apakah karena keprihatinannya untuk membela kepentingan rakyat, individu, kelompok partai dan sebagainya, juga menjadi titik sentral untuk mengetahui motif  sang politisi. Termasuk bagaimana mengembalikan fungsi dan peran politik sang aktor politik sesuai dengan kapasitas peran yang harus dihayatinya termasuk bagaimana dia memaknakan peran itu sesuai dengan standar penilaian pribadinya.

Schutz menggolongkan motif ini sebagai “motif untuk” ( in-order-to motives) dan "motif karena" (because motives). Motif pertama merupakan tujuan yang digambarkan sebagai maksud,  rencana, harapan, minat dan sebagainya yang  diinginkan aktor dan karenanya beorientasi masa depan. Motif kedua merujuk kepada masa lalu aktor dan tertanam dalam pengetahuannya yang terendapkan (preconstituted knowledge) dan karenanya berorientasi masa lalu. Sehingga disebut sebagai alasan atau sebab. Menghadirkan sosok diri yang diidealisir sedemikian rupa, Semua motif itu membungkus imajinasi politik tiap politisi yang terpilih ke parlemen, mereka berlomba mematut diri di cermin politik masa kini dengaan motif “untuk”nya dengan bersandar padaa motif “karena” kita membacanyaa. Karena perjuangannya utk bisa melenggang ke panggung politik adalah mereka membutuhkan cost politik yang bukan hanya berupa uang melainkan relasi antara yang memilih mereka untuk memilih menjadi terpilih.

Ada dua motif “untuk” yang bisa kita baca dengan kegigihan kelompok yang meggulirkan rencana soal dana aspirasi. Bahwa mereka seolah ingin dianggap memperjuangkan konstituennya di dapil masing-masing lalu dengan cara itu nama baiknyaa sebagai yang mewakili akan menjadi nilai-nilai traansaksional ke proses keterpilihan selanjutnya, paling tidak menanam tuai politik kedepan jika ingin terpilih lagi.

Tetapi sayangnya motif “untuk” itu sekaligus menampilkan diri dalam bias motif “karena” dimana, karena sulit dan begitu besarnya mempersiapkan cost politik keterpilihan kedepan, maka upaya membangun jejaring lewat dana aspirasi dianggap menjadi celah mengurai proses pemilihan menjadi mudah, mudah untuk memanfaatkan jika dana aspirasi bisa meluncur seolah atas perjuangannya mengapresiasi kepentingan daerah dan rakyat didaerah pemilihannya.

Namun, semua motif itu ternyata kini tidak hanya terpulang kepada politisi, karena rakyat makin cerdas, dan pemerintah tentu tidak ingin gagal memperjuangan janji kampanyenya untuk memperjuangkan kepentingan rakyat banyak. Kita tunggu saja, akankah dana aspirasi itu digenggam ditangan yang wakil yang mewakili? Lalu mereka menyeringai puas meningkahi motif mereka yang seolah tidak terbacaa publik? Ataukah danaa aspirasi itu akan terbungkus menjadi bagian dari program yang melekat langsung dijalan konstitusi berdasarkan janji politiknya. Kita lihat saja. Kita menunggu kearah mana isu pro kontra soal dana aspirasi ini bergulir.

Selama proses interaksi itulah, terdapat pertukaran motif antara para aktor yang terlibat:

Schutz menyebutnya the reciprocity of motives yang merujuk kepada perkiraan mengenai motif orang lain   disebut oleh Mead sebagai “pengambilan peran orang lain“ (taking the role of the other) atau membayangkan diri sendiri berada dalam posisi orang lain. “Motif untuk” dapat menjadi “motif karena” bila terdapat pertukaran motif khas ( typical motives) yang sebangun. Akhirnya berdasarkan interpretasi tindakan orang lain, individu dapat mengubah tindakan berikutnya agar sesuai dengan tindakan orang lain (Mulyana; 2001: 82).

(rr/LA)