www.indopos.co.id

Prostitusi adalah penyakit masyarakat, setidaknya itulah keyakinan aparat penegak disiplin kita yang saban hari rutin melakukan penertiban lewat operasi yang diberi sandi “Pekat”; Penyakit Masyarakat. Sebagai penyakit, prostitusi perlu diobati agar masyarakat kembali sehat. Sebab masyarakat yang di dalamnya terjadi praktik prostitusi telah dianggap sebagai masyarakat yang sakit, dan setiap penyakit pada dasarnya mengandung potensi destruktif yang akan merusak seluruh sistem yang telah ada. Penyakit adalah sesuatu yang negatif, sehingga ia perlu disembuhkan. Toh, kalau tidak bisa disembuhkan, maka ia mesti disembunyikan. Ia harus ditutupi, tidak perlu ditampilkan, agar jangan diketahui orang lain.

Prostitusi Sebagai Kotoran

Ketika sesuatu yang dianggap negatif dalam pandangan banyak orang tiba-tiba terkuak atau ditampilkan di depan umum, masyarakat menjadi gerah. Sebab masyarakat memang sudah dibentuk menjadi subjek positif yang dikontrol lewat konsep yang ditelurkan berbagai institusi seperti agama atau negara. Kuasa subjek atas tubuh dieliminasi oleh norma dan pandangan yang dikontruksi dan dilanggengkan sebagai praktik positif oleh institusi-institusi di luar subjek. Subjek mesti menyesuaikan diri dengan apa yang dianggap positif dan sebisa mungkin menyangkal segala hal yang bertentangan dengan itu.

Subjek yang sudah kehilangan kuasa atas tubuh ini dengan segera berubah menjadi objek eksploitasi media dan penilaian miring masyarakat ketika kelakuannya yang dianggap negatif itu terkuak. Pada tahap ini subjek tidak hanya kehilangan kuasa atas tubuh, tetapi juga kehilangan kuasa untuk menilai tindakannya sendiri, sebab penilaian atas tindakannya sudah diambil alih oleh pihak lain atas bantuan eksploitasi media massa. Subjek pelaku tindakan negatif dipandang tidak lebih dari kotoran yang harus disingkirkan karena tidak punya diberi dalam sistem yang bekerja dengan logika positif.

Di sini, refleksi Elias Canetti, sang filsuf Bulgaria pemenang Nobel Sastra 1981, tentang tahi layak dijadikan bahan permenungan. Tahi adalah sesuatu yang pernah menjadi bagian dari diri kita, yang tidak kita akui keberadaannya, atau kita sembunyikan dari pengetahuan orang banyak, termasuk orang-orang terdekat sekalipun. Ia mewakili segala proses destruksi yang terjadi dalam keseluruhan sistem pencernaan kita, yang kita sembunyikan ketika ia hendak menampakkan dirinya. Momen ekskresi di mana sisa-sisa proses penghancuran itu dikeluarkan menjadi momen tersembunyi yang perlu dirahasiakan. “Manusia benar-benar sendirian dengan tahinya,” tulis Canetti (Hardiman, 2009) tetapi kebersamaan itu tidak berangsung lama, sebab tahi itu dengan segera disingkirkan, atau ditinggalkan dan dianggap sebagai sesuatu yang tidak pernah menjadi bagian dari sebuah proses yang berlangsung dalam tubuh.

Prostitusi, apapun bentuknya, selalu berhubungan dengan sebuah proses yang terjadi dalam sistem sosial bernama masyarakat. Di dalam proses itu terjadi berbagai penghancuran yang tidak seluruhnya disadari oleh masyarakat sendiri. Mereka yang kalah dan terlindas selama berlangsungnya proses itu pada akhirnya akan menampakkan diri seperti kotoran yang tidak ingin diakui masyarakat sebagaimana tahi dalam refleksi Canetti.

Dalam banyak sejarah, prostitusi selalu berjalin kelindan dengan ketimpangan struktur ekonomi hingga satu-satunya aset yang bisa dimanfaatkan sebagai bagian dari strategi bertahan hidup adalah tubuh. Seumpama tahi, prostitusi hadir bukan semata-mata atas kehendaknya. Ia adalah hasil akumulasi pertarungan kekuasaan entah kekuasaan sosial maupun kekuasaan ekonomi yang saling mengeliminasi. Ia menjadi cerminan apa yang terjadi dalam masyarakat kita, yang sayangnya tidak disadari sekian banyak orang.

Prostitusi, Media dan Selubung Kekuasaan

Tertangkapnya artis berinisial AA yang ditengarai menjalankan prostitusi di sebuah hotel berbintang dan tewasnya Deudeuh Tata yang juga menawarkan layanan serupa di sebuah kamar kos menjadi bukti bagaimana prostitusi diam-diam berjalan tetapi malu-malu untuk diakui masyarakat kita. Baik AA maupun Deudeuh Tata bermain dalam pusaran bisnis yang kurang lebih sama tetapi dengan lingkungan sosial dan dunia yang berbeda. Perbedaan ini terlihat dari harga yang dikenakan atas layanan yang diberikan. Bila AA mematok harga puluhan hingga ratusan juta rupiah maka harga yang dipatok Deudeuh Tata jauh lebih rendah.

Media massa dan berbagai kalangan lalu bereaksi dengan tidak henti-hentinya menyorot kedua kasus ini. Keduanya menjadi topik hangat yang dibicarakan mulai dari obrolan di media-media sosial hingga masuk dalam acara talk show di televisi. Masyarakat seakan terobsesi untuk mengetahui lebih banyak tentang sosok-sosok lain yang juga melakukan aktivitas terselubung serupa, dan aparat seolah diberi harapan penuh untuk bisa mengungkap segala hal terkait persoalan ini.

Di sini terkuak kemunafikan yang ada dalam masyarakat kita. Semua berlaku seolah-olah paling suci sehingga merasa berhak untuk memberi penilaian yang menghakimi para pelaku prostitusi. Namun, sesuatu yang dianggap penyakit dan dicibir itu ternyata diam-diam dinikmati sebagai hiburan dan bahan perbincangan di media-media massa dan media sosial. Alih-alih membincangkan jalinan proses yang memunculkan fenomena prostitusi, media massa justru lebih tertarik memperbincangkan hal-hal privat yang tidak selayaknya dihadirkan di ruang publik.

Media lebih memilih mengumbar motivasi para pelanggan yang mengeluarkan uang hingga puluhan juta rupiah untuk menikmati layanan AA ketimbang menelusuri asal-muasal uang tersebut. Padahal informasi mengenai asal-usul uang jutaan rupiah itu lebih terkait dengan kepentingan publik daripada motivasi pribadi si pelanggan. Jangan sampai uang yang digunakan adalah hasil korupsi yang merugikan masyarakat. Dinding pemisah antara yang privat dan yang publik memang makin kabur oleh unsur komersialisasi isu yang dimainkan media massa.

Semua ini seakan menegaskan dominasi kapitalisme yang dapat menyulap apa saja menjadi sumber keuntungan ekonomi, termasuk hal-hal yang dianggap penyakit dalam masyarakat. Bukankah kapitalisme juga yang menggerakkan gaya hidup banyak kalangan termasuk AA atau mungkin Deudeuh Tata, sehingga menjajakan tubuh menjadi pilihan terakhir yang mesti diambil agar dapat terus bertahan menghadapi tuntutan lingkungan pergaulan dan dunia sosial yang sudah dikendalikan oleh logika kapitalisme?

Sangat mungkin apa yang terjadi saat ini adalah hasil konstruksi yang secara ekonomi membawa keuntungan bagi bisnis media, serentak menjadi pengalih perhatian yang efektif bagi beberapa institusi kekuasaan yang akhir-akhir ini menjadi sorotan publik. Selama kedua kepentingan ini masih terjamin, masyarakat tetap dibiarkan untuk terus bertanya-tanya tentang siapa itu AA, BB, CC, DD dan sederet nama lain yang konon disebut oleh RA, sang pengendali bisnis prostitusi itu.

“Inti terdalam kekuasaan ada di dalam rahasia,” demikian tulis Canetti (Hardiman, 2009). Mungkin itu sebabnya AA tetap tinggal sebagai “AA” dalam konstruksi media massa bukan sebagai subjek yang bisa berbicara atas nama dirinya sendiri. Ia perlu dibungkam agar apa yang terjadi tetap menjadi rahasia yang menarik perhatian publik untuk terus bertanya-tanya dan melupakan isu-isu lain, barangkali termasuk isu reshuffle Kabinet Kerja. ***

(rr/AF)