nasional.news.viva.co.id

Di tengah arus politik transaksional yang melanda sebagian besar elit dan partai politik di Indonesia, Ahok adalah sebuah anomali, serentak kontroversi. Bukan hanya karena keberaniannya keluar dari Gerindra, partai politik yang membesarkan namanya dan memboyongnya ke Jakarta, melainkan juga karena kengototannya tidak meluluskan RAPBD DKI Jakarta 2015 setelah mencium adanya anggaran siluman senilai 12,1 triliun rupiah. Di luar itu, Ahok mungkin menjadi salah satu gubernur di Indonesia yang paling banyak diprotes karena pola komunikasinya yang dianggap mencederai rasa kesantunan sebagian kalangan. Bahkan, hanya Ahok satu-satunya gubernur yang memiliki gubernur tandingan. Kelihatan aneh, sebab banyak kepala daerah lain yang telah terindikasi korupsi tidak menuai kecaman sekeras kecaman yang ditujukan kepada Ahok. 

Konsep Pemimpin Machiavellian
Sampai saat ini, Ahok masih menunjukkan keteguhan yang tidak tergoyahkan dengan kredo yang acap kali ia ulangi di hadapan khalayak bahwa ia taat hanya pada konstitusi, bukan konstituen. Kredo ini sekilas mirip dengan apa yang pernah dilontarkan Machiavelli ketika memberi nasehat bahwa seorang pemimpin harus bisa dicintai dan ditakuti sekaligus. Namun, apabila tidak mendapatkan keduanya, seorang pemimpin lebih baik ditakuti daripada dicintai, sebab cinta diikat oleh kewajiban yang membuat seseorang mementingkan dirinya sendiri, dan ikatan cinta akan putus ketika berhadapan dengan kepentingannya. Sebaliknya, ketakutan didorong oleh kecemasan dijatuhi hukuman, sehinggga tidak ada pilihan untuk menghindari hukuman selain taat pada sang pemimpin.

Ahok mungkin mencerminkan apa yang dipikirkan Machiavelli tentang sosok pemimpin sejati, tetapi Ahok tentu saja tidak bermaksud membentuk suatu kepemimpinan absolut sebagaimana dilakukan Soeharto pada era Orde Baru dulu. Sebab, Machiavelli juga memberi awasan bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada seseorang harus dilandasi pembenaran yang wajar dan alasan yang jelas untuk melakukannya. Pembenaran yang diambil Ahok sebagai patokan ialah ayat-ayat konstitusi sebagai jaminan baginya dalam bertindak dan mengambil kebijakan. Ahok hendak mengubah ketakutan itu menjadi senjata memerangi ketidakberesan yang konon melanda birokrasi DKI Jakarta, yang tentu saja menjadi gambaran bobroknya birokrasi negeri ini.  

Pada titik ini, Ahok nampaknya masih mengikuti konsep Machiavelli tentang seorang pemimpin yang mesti memiliki kecerdikan seekor rubah agar mampu mencium adanya perangkap, dan kegarangan seekor singa untuk menakuti kawanan serigala. Kecerdikan seperti rubah sudah ditunjukkan Ahok ketika melangkah keluar dari Gerindra, sehingga dalam arti tertentu ia membebaskan dirinya dari jebakan kepentingan partai dan tentu saja ikatan cinta para pemilih (konstituen). Sementara keberaniannya sudah berulang kali dibuktikan ketika ia secara terbuka mengancam akan membubarkan FPI hingga memecat bawahannya yang dianggap melanggar disiplin.

Demokrasi Ideal ala Habermas
Sisi lain kontroversi Ahok ialah persoalan komunikasi. Sebagian kalangan menilai pola komunikasi yang dijalankan Ahok tidak cukup baik, terlalu berlebihan dan karenanya menuai banyak protes. Namun, bila dicermati apa yang dilakukan Ahok dalam beberapa hal cukup sesuai dengan konsep rasionalitas komunikatif yang digagas Jurgen Habermas.

Habermas menelurkan konsep demokrasi ideal yang terbentuk atas dasar perbincangan atau diskursus antarwarga untuk menghasilkan suatu pemahaman timbal-balik. Dengan demikian terbentuklah sebuah ruang publik rasional yang menjadi sumber legitimasi sebuah keputusan politis. Habermas mengungkapkan empat klaim kesahihan yang terkandung dalam bahasa yang kemudian menjadi klaim kesahihan sebuah argumen dalam berkomunikasi atau berdiskurusus. Keempat klaim itu ialah a) kejelasan, artinya orang mesti mengungkapkan dengan tepat apa yang ia maksudkan, b) benar, orang mesti mampu mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan, c)  jujur, tidak adanya kebohongan, d) tepat, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama.

Rasionalitas komunikatif dengan sendirinya akan memposisikan mereka yang terlibat di dalam sebuah diskursus pada tempat yang sejajar. Kesejajaran posisi ini serentak menunjukkan bahwa masing-masing pihak dihormati kebebasannya, sebab komunikasi yang baik hanya akan berhasil bila pihak-pihak yang terlibat di dalamnya memiliki kebebasan. Ini berarti bahwa praksis komunikasi yang dimaksudkan Habermas ialah sebuah praksis komunikasi yang tidak terdistorsi. Habermas sendiri berpendapat bahwa komunikasi yang dibangun di atas ketakutan atau di bawah ancaman bukanlah sebuah praksis komunikasi yang benar, sebab tiada kebebasan di dalamnya.

Di sinilah hemat saya letak kegagalan komunikasi yang dibangun Ahok. Bukan karena Ahok takut atau berada di bawah ancaman, sebaliknya, pihak yang dihadapi Ahok-lah yang seolah-olah berada dalam tekanan. Sebagai misal dapat dilihat dalam kisruh penetapan APBD yang memperhadapkan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta. Kelihatan kubu DPRD DKI tidak cukup tenang dan terkesan kalut menghadapi Ahok. Akibatnya pernyataan apapun yang dikeluarkan pihak DPRD dianggap dagelan dan omong kosong oleh rakyat yang mengikuti jalannya kekisruhan itu. Masalahnya sederhana saja, apakah yang mereka sampaikan memenuhi empat standar kesahihan bahasa dalam berkomunikasi di ruang publik sebagaimana dikonsepkan Habermas.

Bila empat klaim ala Habermas itu dipakai oleh rakyat, hampir pasti bahwa rakyat akan lebih memilih Ahok sebagai yang memenuhi standar komunikasi itu. Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh tingkat kepercayaan rakyat yang terus menurun terhadap DPRD DKI sebagaimana dibuktikan oleh salah satu lembaga survei baru-baru ini. Pada sisi lain, kenyataan ini menunjukkan keberhasilan Ahok dalam membangun komunikasi dan merepresentasikan diri sebagai figur pemimpin yang dapat dipercaya di ruang publik.

Ini juga menunjukkan bahwa rakyat sebetulnya jenuh dengan pola komunikasi yang terdistorsi aneka kepentingan partisan. Semakin terbukanya ruang publik baru misalnya media sosial di dunia maya membuat rakyat lebih menyukai pola komunikasi yang terbuka dan apa adanya. Inilah ideal dari demokrasi, yakni keterbukaan atau transparansi sebagaimana sering dikoar-koarkan oleh para elit politik. Apalagi dalam masyarakat yang demikian plural seperti di Indonesia ini, keterbukaan dan keberanian melangkah keluar dari jerat kepentingan kelompok, etnis, ras, suku dan agama sungguh diperlukan untuk bisa mewujudkan ideal demokrasi yang sesungguhnya. Dalam kaitan dengan ini, Ahok mengeluarkan suatu pernyataan menarik ketika ia ingin cukup disebut sebagai orang Indonesia tanpa harus ditambah dengan embel-embel agama atau etnisnya.

Hanya dengan keberanian seperti itu, komunikasi yang bebas distorsi di ruang publik dapat diwujudkan dan demokrasi ideal mampu diwujudkan secara perlahan-lahan. Jika tidak, kita hanya akan terus bersembunyi di balik mitos mengenai demokrasi ideal sambil tetap membangun sekat dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan sempit kelompok masing-masing.

(rr/AF)