beritasatu.com

Langit media Jakarta kembali riuh ramai membahas sepak terjang manuver politik sang Gubernur Basuki Tjahaja Purnama yang akrab disapa Ahok. Kali ini perhatian publik tersedot pada perseteruan antara DPRD DKI versus Ahok sebagai kepala pemerintahan DKI Jakarta dalam dugaan kasus dokumen palsu RAPBD DKI 2015 yang diberikan Ahok kepada kemendagri dan tuduhan dana siluman dalam RAPBD DKI 2015 yang dilayangkan Ahok.

Untuk kesekian kalinya opini publik minimalnya terpecah dua, yaitu yang mendukung Ahok dan yang berseberangan dengan Ahok. Pengamat mulai angkat bicara juga untuk menanggapi kondisi ini. Namun, ada beberapa pertanyaan yang harus kita selesaikan bersama, pertama: apakah kondisi politik Indonesia khususnya Jakarta sebagai Ibukota merupakan kondisi yang berdiri sendiri atau ada faktor yang memengaruhi? Kedua: bagaimanakah sepak terjang Ahok sesungguhnya dalam karir politiknya? Ketiga: Bagaimana nasib dan ujung perseteruan Ahok dengan DPRD?

Impotensi Politik dan Jerat Kapitalisme

Masyarakat perlu tahu dan sadar dengan jalan menganalisa kondisi Indonesia hari ini khususnya Jakarta sebagai Ibukota dan potret umum Indoensia. Hampir tidak ada suatu kondisi yang secara tunggal berdiri sendiri, melainkan setiap kondisi selalu terkait dengan kondisi yang lain. Sebut saja kondisi penaikan harga BBM yang sudah pasti memengaruhi kondisi bahan pokok, transportasi dan daya beli masyarakat.

Pada konteks khusus, iklim politik Indonesia sedikit banyaknya dipengaruhi oleh jeratan kelompok-kelompok yang mengidap Impotensi Politik. Kelompok ini merupakan kelompok yang tidak memiliki kemampuan untuk membangun basis politik di masyarakat dan tidak mampu juga membangun kekuatan politik lembaga berupa partai politik.

Undang-undang mengatur tata cara membentuk partai Politik dan seluk-beluk aturannya, hal inilah yang menyulitkan kelompok-kelompok impoten ini membangun kekuatan politik secara lembaga. Sebagai jalan keluar dari hal ini setidaknya ada beberapa skema yang mereka jalankan, Pertama: mereka mendompleng partai politik yang sudah ada, dengan begini misi terselubung bisa tercapai atau bahkan punya kesempatan menguasai Induk Partai. Kedua: masuk kepada bidang-bidang penyiaran publik untuk kontrol emosi publik via informasi. Ketiga: maju sebagai pribadi dalam setiap perebutan kekuasaan nasional maupun lokal. Namun jika tidak ada partai pengusung mereka akan hembuskan isu kebusukan partai politik dan memaksakan kehendak bahwa transisi kepemimpinan tidak harus melalui partai politik. Tentu hal ini membahayakan kondisi demokrasi Indonesia, karena undang-undang sudah mengatur secara filosofis sampai tataran praksis maksud serta tujuan diadakannya partai politik sebagai wadah legal seminimalnya untuk kaderisasi kepemimpinan nasional maupun lokal dan wadah aspirasi masyarakat.

Repotnya lagi, jika kelompok ini 'berselingkuh' dengan kelompok Kapitalisme yang sedang mencengkram suatu negeri. Dalam konteks Indonesia, hal ini terjadi dan nampak sangat nyata. Berapa banyak ayat-ayat perundangan-undangan yang sudah dipesan oleh pemodal kakap dalam rangka melancarkan hegemoninya menguasai alam Indonesia. Publik seringkali dikagetkan dengan kasus perselingkuhan ini yang berujung pada kesengsaraan rakyat Indonesia itu sendiri. Sebut saja undang-undang penanaman modal asing dimana kapitalis asing mampu leluasa menguasai alam Indonesia dalam waktu yang panjang, kondisi ini diperparah dengan kontrak karya yang tidak menguntungkan Indonesia.

Karakter kapitalis adalah tidak akan memiliki loyalitas kepada kelompok atau partai manapun, hal yang terpenting adalah hegemini penguasaan alam Indonesia dan proyek-proyek pemerintahan masuk kepada kantong-kantong mereka. Narasi umum inilah yang sedikit banyaknya memengaruhi kondisi bangsa Indonesia secara umum dan selalu berujung pada kesengsaraan rakyat. Serta menegaskan bahwa suatu kondisi tidak berdiri tunggal melainkan dipengaruhi kondisi global yang ada.

Ahok dan Rekam Jejaknya

Ahok muncul dalam beberapa tahun ini dan hampir selalu menjadi perbincangan publik di dunia nyata maupun maya via berbagai media sosial. Media yang dianggap sebagai pilar demokrasi untuk menyeimbangi kekuatan eksekutif, legislatif maupun yudikatif terlihat ompong jika sudah dikaitkan dengan pemberitaan terkait Ahok. Tone media melulu positif jika sudah berkaitan dengan pemberitaan Ahok. Sebut saja untuk kondisi Banjir DKI Jakarta, pada masa sebelum ia menjabat sebagai Wagub maupun Gubernur DKI, media bak mesin pelontar peluru panas membombardir pemimpin DKI Jakarta waktu itu. Namun sekarang berbeda, media seolah tak mampu kritis dan ketajaman pena sudah mulai tergerus.

Wawancara televisi pernah merekam dengan baik kalimat yang senantiasa dilontarkan oleh Ahok yaitu, “Kalau mau lihat pemimpin lihat dari rekam jejaknya ketika dia memimpin”. Kalimat ini ia sampaikan sepanjang masa kampanye PILKADA DKI Jakarta 2012 yang silam. Ia juga pernah mengatakan, “Lihat karir saya selama saya menjadi Anggota DPR, Kepala Daerah di Belitung dan DKI,” dalam suatu wawancara dengan Metro TV ketika membahas polemil DPRD dengan dirinya untuk urusan RAPBD DKI 2015.

Pernyataan Ahok di atas berpeluang menjadi bumerang bagi dirinya sendiri. Pasalnya, Ahok memiliki rekam jejak etika politik yang buruk. Ahok pernah menjabat sebagai Anggota Komisi II DPR Fraksi Pertai Golkar periode 2009-2014, lalu melompat menjadi Politisi Partai Gerindra saat pencalonan PILKADA DKI 2012, dan akhirnya keluar dari Partai Gerindra 2014 silam.

Pada kisruh dengan DPRD Ia mengatakan “Tidak perlu berkata sopan dengan para Bajingan”, tentu bajingan yang dimaksud adalah termasuk teman-temannya sendiri di Partai Gerindra maupun Golkar yang dulu pernah sama-sama secara kekuatan politik memuluskan jalan Ahok menjadi Wagub maupun Gubernur DKI saat ini. Rekam jejak ini yang patut dilihat juga oleh masyarakat, karena Ahok tidak pernah menunjukan ikatan loyalitas kepada kelompok manapun ia bernaung.

Rekam jejak selanjutnya, ia terbiasa mengorbankan anak buahnya dalam setiap kasus atau kisruh yang ada. Ia menolak dianggap potensi kisruh pada kasus RAPBD DKI Jakarta padahal publik tahu ia ikut pembahasan serta tanda-tangan RAPBD tersebut dengan DPRD DKI. Justru yang ia sampaikan ke publik adalah dugaan adanya SKPD atau PNS yang nakal untuk memasukan dana siluman, sekali lagi padahal ia mengetahui Rancangan Anggran tersebut dan ikut dalam pembahasan serta tanda tangan dengan DPRD. Ahok belum bisa membuktikan dirinya bersih dari pusaran mark up anggaran APBD 2013-2014 yang lalu. Justru rekam jejak inilah yang semakin menegaskan bahwa Ahok seperti bagian dari kelompok Impotensi Politik tadi pasca sepak terjangnya yang mencari keuntungan dari partai politik yang ditunggangi serta seperti bidak catur Hegemoni Kapitalis pembajak proyek-proyek DKI dalam hal memuluskan jalan Kapitalis mendapatkan 'Kue' pembangunan DKI Jakarta pasca sepak terjangnya yang menandatangani proyek 6 ruas jalan tol baru dan proyek DKI lainnya yang anggarannya mengalir pada orang tertentu saja.

Hak Angket dan Pembuktian Kebenaran

Proses Hak Angket yang saat ini sedang bergulir akan menjadi ajang pembuktian kepada publik serta pengadilan untuk Ahok dan oknum DPRD pada Kisruh anggaran DKI tahun 2013-2014 serta pembuktian opini seputar penyimpangan dalam RAPBD DKI 2015. Ahok melemparkan tuduhan bahwa ada oknum DPRD yang menyelipkan anggaran siluman dalam RAPBD DKI 2015 yang sejatinya sudah ditanda-tangani bersama oleh kedua belah pihak.

Sementara itu, DPRD melayangkan aduan bahwa Ahok memalsukan dokumen dengan cara mengajukan draft RAPBD DKI 2015 yang bukan hasil kesepakatan dengan DPRD kepada Kemendagri yang berujung pada penolakan draft oleh Kemendagri.

Masyarakat harus selalu pasang mata dan telinga agar tidak terjadi deal politik sehingga lagi-lagi ujung dari Hak Angket ini adalah penutupan kasus secara dini laiknya kisruh Polri dengan KPK yang tidak menghasilkan keadilan hokum serta pendidikan untuk masyarakat. Ujung dari hak Angket ini harusnya ada pihak yang teradili dan semoga bukan pegawai kecil yang menjadi kambing hitam, karena penyelewengan dana triliunan rupiah bukanlah urusan pejabat rendahan serta jelas pelanggaran yang dilakukan Kepala Daerah dengan cara melawan undang-undang bukanlah perkara sederhana untuk ditutup begitu saja kasusnya. Publik menanti proses pembuktian kebenaran ini.

(rr/MHK)