www.lensaindonesia.com

Umurnya sudah tidak lagi muda. Pada tahun ini, genap 44 tahun. Hampir separuh usia hidupnya, dilewatinya di tempat remang-remang dengan menjadi pekerja seks. Ia mengaku hidupnya memang penuh liku. Tapi di sudut lain hidupnya yang kelabu itu, ia tetap seorang ibu, yang berusaha menjadi terbaik dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya.

Sebut saja namanya Rosa. Ia salah seorang pekerja seks (PS) yang bersedia diwawancarai, ketika siang itu saya menemuinya di gang Sosrowijayan Kulon, Pasar Kembang (Sarkem)—kompleks rumah kos-kosan Rosa tinggal dan juga sebuah rumah bordil yang sudah sedemikian terkenal di kota Yogyakarta.

Tak mudah untuk mewawancarai Rosa.  Ia merasa trauma dengan wartawan media cetak yang dulu juga pernah mewawancarainya. Sebabnya, identitas Rosa dibuka ke publik oleh wartawan itu. Tapi, setelah diyakinkan untuk dirahasiakan identitasnya, Rosa pun bersedia bercerita, mengapungkan ingatan masa silamnya yang jauh dan masa kekiniannya di Pasar Kembang menjadi seorang penjaja.

Keterhimpitan Ekonomi

Di sekitar tahun 1996, Rosa masih tinggal di Semarang bersama suami tercinta dan kedua anaknya. Ia hanya seorang ibu rumah tangga. Sementara suaminya, menjadi kernet supir angkot. Namun setelah Rosa mendapat uang dari arisan, ia mengaku, menyuruh suaminya untuk membuat surat izin mengemudi (SIM) mobil. Sehingga suaminya pun berhenti ngernet dan menjadi sopir di perusahaan angkutan yang sama. “Nyupir sendiri,” kata Rosa. Penghasilan nyupir sendiri dirasa lebih besar dibanding menjadi kernet.

Tapi tak lama, suaminya kemudian sakit-sakitan. Sakit yang dideritanya cukup serius: ginjal. Setiap minggu suaminya diwajibkan cuci darah oleh dokter. Setiap kali cuci darah ia mesti menggelontorkan uang sekitar Rp 400 ribu. Jumlah nominal yang besar bila dibanding dengan pendapatannya yang tak seberapa pada waktu itu. “Kalau sekarang kecil ya, waktu itu besar, apalagi aku tidak bekerja”.   

Karena pendapatan keluarga Rosa yang “besar pasak dari pada tiang”, pernah bahkan sering suaminya tidak melakukan cuci darah di jadwal rutin. Sehingga suaminya merasa sakit yang luar biasa di sekujur tubuhnya. Tak tega membiarkan suaminya tidak cuci darah dan kesakitan, Rosa pun terpaksa banyak mengutang.

Tapi takdir berkata lain, sekalipun Rosa banyak mengutang untuk keperluan biaya pengobatan suaminya, beberapa waktu kemudian suaminya tidak tertolong dari sakitnya dan meninggal dunia. Meninggalkan Rossa yang terbelit hutang, dan meninggalkan anak-anaknya yang masih kecil-kecil.  

Berhadapan dengan kenyataan itu, Rosa shock, bingung dan nyaris putus asa. Bagaimana membesarkan kedua anaknya seorang diri, padahal dirinya hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Mampukah ia menjadi orangtua tunggal untuk kedua anak-anaknya yang masih lucu-lucu. Begitulah yang menjadi ketakutan Rosa. Sempat juga Rosa menggugat nasib hidupnya sendiri. “Tapi aku mau menggugat siapa? Masak mau menggugat gusti Allah. Kan tidak mungkin. Mungkin ini sudah jalannya,” kenangnya.

Rosa mencoba tegar dan mulai menjalani hidup kembali seperti semula, menghadapi kenyataan meski pahit dengan bekerja menjadi pembantu rumah tangga untuk memenuhi kebutuhan hidup dirinya dan kedua anaknya. Hidup harus terus dilanjutkan.

Tapi Rosa bekerja sebagai pembantu rumah tangga tidak lama, hanya sekitar 7 sampai 8 bulanan. Ia kemudian memilih berhenti, sebab gajinya terlalu kecil. Hanya lima belas ribu per-minggu. Penghasilan itu tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup diri dan kedua anak-anaknya. “Duh, gimana kalau anakku minta jajan,” serunya. Selain itu, pekerjaan itu juga tidak mampu menutupi hutang-hutangnya yang menumpuk. Padahal, ia sering dikejar-kejar rentenir.  “Utang buanyaak banget,” rintih Rosa. Menurutnya, jumlah utangnya sebesar lima juta, lain bunga di setiap pinjaman satu jutanya. Per-tahun dua ratus ribu.

Keterhimpitan ekonomi itulah, yang menghantarkan dan memaksa Rosa bekerja sebagai pekerja seks di Pasar Kembang Yogyakarta, memuaskan nafsu birahi beratus-ratus laki-laki hidung-belang, selama enam belas tahun lamanya. Sejak tahun 1997, sampai sekarang.

Pekerjaan Susah

Rosa mengaku tak pernah membayangkan akan bekerja sebagai pekerja seks. Ceritanya, waktu itu ia bersilaturahmi ke tetangganya yang (kebetulan bekerja di Yogyakarta) sedang belibur pulang ke Semarang. Karena susah mencari pekerjaan, ditambah pusing memikirkan pemenuhan kebutuhan hidup kedua anaknya dan menutupi hutang-hutangnya yang berlipat, pertemuan dengan tetangganya yang bekerja di Yogyakarta itu disempatkan Rosa untuk bertanya tentang peluang pekerjaan.

“Kamu kerja di mana? Mbok aku melu (aku ikut)”. Temannya itu hanya bertanya balik pada Rosa mengenai izin boleh tidaknya dari suaminya. Rosa kemudian memberitahukan kalau suaminya sudah meninggal. Seolah-olah gayung bersambut, ia pun ikut berangkat ke Yogyakarta. Tapi Rosa mengaku tidak berpikir akan bekerja sebagai pekerja seks. “Waktu itu setauku, enggak kayak tempat beginian. Setauku di panti pijat,” tukasnya.

Setelah sampai pertama kali di Pasar Kembang, Rosa belum curiga, tempat ini lokalisasi pelacuran.  Ia hanya melihat jejeran rumah yang padat di gang-gang sempit nan sesak. Tapi tak lama, akhirnya ia pun menjadi tahu. Tempat ini adalah tempat remang-remang. Tempat biasa laki-laki hidung belang melakukan transaksi untuk melabuhkan hasrat birahinya tanpa cinta, sampai waktu subuh tiba.

Meski setelah ia tahu pun, Rosa tak bisa menolak dan menghindari pekerjaan ini. Kondisi dan keterhimpitan ekonomi yang lagi-lagi memaksa ia mau tidak mau melakoni apa yang sudah ada di depan matanya. “Masak aku pulang dengan tangan kosong. Ya sudah aku jalani”. Sejak itulah, permulaan Rosa bekerja sebagai pekerja seks dan menemani tidur para tamu di Pasar Kembang dimulai. “Awalnya malu dan risih, mas. Karena belum pernah melakukan dengan orang lain,” akunya.

Pada waktu pertama kali Rosa berangkat ke Yogyakarta, ia tidak membawa kedua anaknya. Kedua anaknya ia titipkan pada neneknya di kampung halaman. Beberapa tahun kemudian, setelah Rosa mengenal Yogyakarta dan pekerjaannya, baru kedua anaknya ia boyong dan tinggal bersamanya. Setelah ia hidup bersama anak-anaknya di Yogyakarta, ia memilih tidak tinggal di kompleks Pasar Kembang lagi. Tetapi masih tetap bekerja sebagai pekerja seks. Ia menyewa rumah kecil di luar kompleks Pasar Kembang hanya untuk menyembunyikan identitas pekerjaannya pada kedua anaknya. Rosa menjalani dua karakter dan dua dunia yang berbeda. Bolak-balik di antara keduanya: karakter seorang ibu dan seorang wanita pekerja seks; dunia rumah (dalam pengertian kepala rumah tangga sebagai single parent) dan rumah bordil tempat dirinya melayani dan memuaskan lak-laki hidung belang. Hal ini dilakukan hanya semata-mata untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya.

Demi Anak     

Sampai hari ini, kedua anaknya belum tahu tentang pekerjaan Rosa yang sesungguhnya. Kini anak-anak Rosa sudah tumbuh dewasa. Tidak lagi tinggal di Yogyakarta setelah keduanya lulus sekolah dan kemudian bekerja di luar kota. Yang pertama, sudah menikah dan bekerja di Demak. Sedang yang kedua, tinggal dan bekerja kecil-kecilan di Semarang. Tapi kata Rosa, anaknya yang kedua masih belum sepenuhnya lepas ketergantungan finansial darinya. “Celana dan pulsa masih minta,”ujarnya.

Namun, saat kedua anaknya tinggal bersamanya di Yogyakarta, Rosa mengaku memang merahasiakan pekerjaannya pada kedua anaknya. Selama bertahun-tahun, ia merahasiakan hal itu. Yang mereka tahu, kata Rosa, dirinya bekerja di warung makan lesehan Malioboro, karena kerjanya memang malam. Sama seperti jam kerja sebagai pekerja seks, jam tujuh malam Rosa berangkat, jam dua belas harus pulang ke rumah agar kedua anaknya tidak terlalu curiga. 

Ia memang pandai-pandai menyembunyikan pekerjaannya kepada kedua anaknya. Ia tidak ingin kedua anaknya kecewa, apalagi ikut-ikutan terpengaruh dengan kebiasaan dirinya sebagai pekerja seks. Oleh karena itu, jika di rumah, Rosa tidak melakukan kebiasaan-kebiasaan yang kerap dilakukannya di Pasar Kembang, seperti merokok, mabuk, berbaju ketat, bertingkah “panas” hanya untuk merebut perhatian para tamu-tamunya.

Rosa benar-benar menjalani dua karakter dan dua dunia yang berbeda, untuk kepentingan membesarkan dan mendidik anak-anaknya. Ia tidak hanya menyekolahkan anaknya di sekolah umum saja. Pada sore harinya, ia mengaku juga menyekolahkan anaknya ke sekolah TPA. Ia juga kerap meminta dengan cara-cara yang baik dan halus kedua anaknya untuk sholat berjemaah di mesjid jika sempat. Ia memiliki keinginan kuat untuk membesarkan dan mendidik kedua anaknya.

“Anakku jangan bodoh seperti aku. Aku kepengen anakku, setidaknya sekolah sampai SMA-lah. Biar nyari pekerjaan tidak susah,” pungkasnya.

Sekarang, ia merasa cukup berhasil mendidik kedua anaknya. Setidaknya kata Rosa, kedua anaknya tidak terpengaruh dengan pergaulan bebas di lingkungan kota dan kebiasaan dirinya. “Yang paling besar aja enggak merokok, mabuk-mabukan. Aku berterima kasih, aku yang kayak gini, tapi anakku enggak salah pergaulan.”

Sebagai apapun Rosa, ia tetap seorang ibu yang dipandu rasa kasih yang kuat ingin melihat anak-anaknya hidup tumbuh sebagai manusia yang sehat, membanggakan dirinya, berguna bagi masyarakat dan bangsanya. Ia pun menegaskan, jika anaknya yang kedua nanti sudah menikah dan tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada dirinya, ia akan keluar dari dunia remang-remang, meninggalkan lingkungan yang penuh gerah gairah lelaki hidung belang dan kembali ke Semarang tinggal bersama keluarga besarnya.

Selamat hari ibu…

 

*Tulisan ini pernah dimuat di majalah Pleidoi Pusat Studi Hak Asasi Manusia (PUSHAM) UII, diterbitkan kembali di portal BeningPost.com untuk kepentingan pendidikan.

(rr/KA)