Ilustrasi/ www.republika.co.id

MENJADI perempuan merupakan impian setiap wanita. Saya membedakan pengertian perempuan dan wanita, mengingat konon wanita diambil kata banita (pemuas laki-laki). Perempuan dalan pemahaman yang lebih tekstual terbukti telah memerankan diri di panggung sejarah dan peradaban. Meskipun belum ada nabi perempuan, akan tetapi peran perempuan telah mengisi berbagai catatan sejarah, baik dengan tinta emas maupun tinta darah.

Jika kembali menengok sejarah kerajaan Jawa, kabarnya Ken Dedes –istri Akuwu Tumapel Tunggul Ametung— memiliki kekuatan untuk menurunkan para Raja di Jawa. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa kekuatan aura Ken Dedes terletak di wilayah sekitar paha dan alat kelaminnya. Konon setelah Ken Arok membunuh Mpu Gandring dan Tunggul Ametung, ia menikahi Ken Dedes. Padahal Arok sudah memiliki istri, Ken Umang, sejak ia menjadi bandit di hutan Jawa.

Perempuan dalam teks dan atau legenda masyarakat Jawa agaknya tergeliat menunjukkan eksistensi serta elaborasi kekuasaan melalui kisah Ken Dedes. Dapat dibayangkan, mantan istri akuwu pada gilirannya menjadi ratu Kerajaan Singasari dan bersama suami keduanya, Arok, membangun Kerajaan Jawa. Perempuan lain yang layak dipersandingkan pada catatan sejarah Jawa ialah Ratu Shima yang pada abad ke 5 Masehi memimpin Kerajaan Kalingga dengan bijak dan adil. Perempuan lain yang kerap dirujuk dalam kisah masyarakat Jawa ialah Nyi Mas Kalinyamat dari Jepara yang ikut serta membantu Patih Unus dari Kerajaan Demak memerangi Portugis di Sunda Kalapa.

Membicarakan perempuan dalam konteks sejarah dan peradaban masa lalu bagai merangkai kembali peluang dan kesempatan peraihan kuasa politik di tangan perempuan. Ini terbukti dengan kian banyaknya perempuan menjadi representasi perwakilan rakyat di gedung parlemen. Sejak isu gender ramai dibicarakan, sejak kuota perempuan menjadi 30%, sejak kedudukan menteri kabinet dan perdana menteri perempuan dijabat perempuan, eksistensi dan peran perempuan itu bagaikan mengenang kembali Ken Dedes, Ratu Shima, dan Nyi Mas Kalinyamat.

Akan tetapi lantaran masa pendudukan Belanda yang panjang di tanah Nusantara, perempuan sepertinya kehilangan peran sosialnya. Lantas muncul Kartini di Jepara dan Dewi Sartika di Bandung. Keduanya memperjuangkan kesetaraan perempuan, keduanya mendirikan sekolah bagi perempuan agar kembali menemukan identitasnya. Tidak sekadar menjadi asesoris lelaki di rumah atau menjadi “pembantu” yang melaksanakn tugas-tugas keseharian di dapur dan sumur.

Kartini dan Dewi Sartika akhirnya berhasil meningkatkan derajat perempuan, khususnya di Jawa dan Sunda. Bahkan Kartini tergolong perempuan yang ibarat lilin, ia rela tubuhnya terbakar namun menerangi sekitarnya. Ia menjadi perempuan keempat seorang bupati meski pikiran-pikirannya tentang kesetaraan perempuan mengguncang dunia. Sementara Dewi Sartika berhasil membangun Sakola Kautamaan Istri di Bandung dengan tujuan perolehan pendidikan agar mampu memilki keterampilan sehingga dapat membantu kelancaran ekonomi keluarga.

Agaknya abad kebangkitan perempuan semakin terkuak. Setelah pembolehan perempuan menempati pos-pos penting di politik dan kekuasaan, perempuan semakin berani menampilkan sosoknya di tengah publik. Keberanian yang tentu saja disertai dengan kemampuan intelektual yang diperlukan bagi persaingan yang kian ketat di era sekarang. Kebangkitan perempuan pun merupakan kebangkitan dunia. Betapa tidak. Perempuan sebagai pilar negara, sebagaimana bunyi sebuah pepatah Arab, terbukti menjadikan keasikan tersendiri. Ketika perempuan meninggalkan rumah dan memasuki ruang publik. Keasikan itu tampak pada fakta bahwa pengekangan terhadap perempuan (baik oleh adat maupun tradisi partial chart) tidak menghasilkan kemajuan apa pun bagi suatu bangsa.

Bayangkan apa jadinya seorang Kusno tanpa kehadiran Inggit Garnasih? Mahasiswa miskin asal Blitar yang ngekos di rumah janda cantik Bandung itu sangat menyadari peran penting perempuan pembuat Bedak Ningrum yang rajin mengirimkan sandi-sandi dan berita ketika Kusno dipenjarakan di Baceuy dan Sukamiskin. Bayangkan apa jadinya Marcos tanpa Imelda? Dan begitu pula Rasulullah Muhammad saw yang rutin dikirimi makanan oleh Khadijah saat berkhalwat di Gua Hira.

Di balik kelemahannya ternyata perempuan menyimpan kekuatan tak terperikan. Kekuatan itulah yang menginspirasi lelaki untuk memerankan diri di tengah pergaulan sosial. Inspirasi dan spirit perempuan itu agaknya pula yang kemudian bisa menjungkirkan lelaki ke labirin gelap. Artinya bila lelaki keliru mengadaptasi keinginan perempuan maka tak sedikit yang akhirnya terjatuh menjadi koruptor dan perampok uang rakyat.

Louisse XIV di Prancis adalah contoh nyata kesalahan adopsi pemikiran Marie Antoniette. Mungkin begitu pula Eva Braun yang diam-diam menyihir Adolf Hitler. Juga sejumlah “gendak” Ahmad Fathanah yang membuatnya terpilih menjadi penguin penjara karena kepeleset daging sapi.

Contoh-contoh di atas merupakan cermin betapa kelemahlembutan perempuan bisa menjebak lelaki menjadi sekadar pemuas perempuan. Pemuas dalam pengertian materi dan finansial bagi perempuan. Contoh di atas pun merupakan pencerminan betapa banyak lelaki yang hanya memanfaatkan kemolekan tubuh perempuan bagi pemuasan hasrat seksualnya. Lepas dari itu perempuan tidak memiliki makna lainnya.

Jikalau bulan April ditetapkan sebagai bulan pengingat atas seorang Kartini di Indonesia, tidak berarti mengeliminir perempuan-perempuan lain yang telah berjasa dalam sejarah dan peradaban yang membentuk karakter perempuan Indonesia saat ini. Keberadaan perempuan-perempuan hebat itulah yang pada gilirannya menginspirasi eksistensi perempuan manakala harus mengambil peran di ruang publik.

Hebatnya lagi, walaupun perempuan berada di ruang publik mereka pun tetap konsern bertanggung jawab di ruang domestik bahkan di ruang privat. Inilah kelebihan perempuan yang selalu bertanggung jawab menjadi dirinya di pentas apa pun. Kepedulian berbasis kemuliaan ini seharusnya disukuri sebagai kelebihan sekaligus software yang potensial mengangkat citra perempuan.

Dalam hubungan inilah perempuan kiranya tidak menjadi semakin abai atas peran sosial politiknya. Beruntung Indonesia memperhatikan dan memperhitungkan perempuan untuk tampil memerankan diri tanpa melulu menjadi pengekor laki-laki.

Kepada perempuan-perempuan hebat itulah, tulisan pendek ini disajikan. Dengan harapan inspirasi dan contoh mulia yang telah dilakukannya menyebar kepada perempuan-perempuan Indonesia masa kini. Perempuan.

(rr)