politik.pelitaonline.com

Pemilu legislatif 2014 baru berlalu. Quick count telah membuat peringkat perolehan suara. PDIP, Golkar dan Gerinda sebagai parpol papan atas. Di papan tengah duduk PKB, Demokrat, Nasdem dan PKS. Papan bawah ada Hanura, PKPI dan PBB. Kini ruang publik ribut membincangkan koalisi-koalisi partai menghadapi Pilpres. Berbasis asas partai, publik Indonesia mengenal istilah partai nasionalis, partai Islam, dan tentu tidak ada partai liberal, apa lagi partai sekuler di Indonesia. Pancasila menghendaki asas ketuhanan. Sekalipun di sisi lain, kita biasa membincangkan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Diskusi ini, saya arahkan membicangkan partai Islam. Tepatkah istilah itu dan apa kriterianya? Apa yang membedakan secara esensial partai-partai itu?

Sekalipun William Shakespeare bilang: What is the name?, apalah arti sebuah nama,  saya yakin nama itu sangat penting. Penuh doa, makna dan symbol sebuah peradaban. Ahmad Ibrahim Zuhad. Itu nama anak laki-laki saya. Terselip doa agar ia menjalani hidup secara asketis, zuhud dan tidak mabuk dunia. Yakin saya, Amira atau Javid, nama 2 anak Pak Didin Nasrudin memiliki makna dan penuh harapan cerah. Contoh lain, Monib, di al-Qur’an kata ini bermakna hamba Allah yang bertaubat. Penuh makna. Tapi, saya penyandang nama ini kuatir tidak mampu menyangga dan memikul makna agung itu. Kuatir jauh dari kualita smuslim yang kaffah, penuh totalitas ketaatan dan kepasrahan kepada Allah.

Bahkan, saya khawatir sebaliknya. Saya masuk dalam kalangan makhluk berkalang dosa dan tenggelam dalam samudera maksiat. Khianat kepada makna nama. Pak Akil Mochtar itu bermakna pemakan pilihan. Apa karena nama itu beliau akhirnya terjerat dalam skandal korupsi yang hampi rmerontokkan Mahkamah Konstitusi? Beliau makan apapun yang digodakan atau ia sendiri menggoda memperolehnya. Sifat tamak dan rakus, memang watak manusia. Kata Pak Mahfud MD, bila tidak rakus, gaji sebagai Ketua MK tidak akan habis dimakan sebulan.

Sampai detik ini saya yakin jargon “Islam Yes Partai Islam No” yang digagas CakNur masih ampuh dan cespleng. Buktinya, sekali pun bernama partai Islam, Islam dijadikan asas organisasi, ia tetaplah lembaga profan, penuh hasrat dan syahwat harta dan kuasa. Politisi muslim tak beda dengan politisi sekuler. Bergelimang dosa dan maksiat. Korup, penuh intrik, busuk, rebutan lembaga atau komisi negara, vested pribadi dan golongan diprioritaskan disbanding kebutuhan rakyat, dan bernafsu untuk menggarong uang rakyat sebanyak mungkin.

Itulah mengapa saya ketus dan alergi mendalam kepada semua partai yang bawa-bawa agama. Saya nikmat sebagai golput. Lebih-lebih kepada PKS dan PBB. Mendaku sebagai partai dakwah, dan berjuang untuk Islam. Tapi berselimut intrik, korup dan kotor. Berasas Islam apalagi tidak. Tetap sekuler dan ateis dalam praktik. Seakan-akan Tuhan tidak mengawasi dan mencatat aksi-aksi kotornya. Sudah pasti ada politisi yang amanah, jujur dan benar-benar berjuang dan mewakili rakyat. Hanya segelintir. Karena itu tidak lagi relevan berbicara asas partai dan nama partai. Sekadar simbol dan identitas belaka. Persis muslim secara umum. Beridentitas Islam, tapi jauh dari sikap dan perilaku pasrah, patuh dan taat kepada Ilahi.

NEGARA ISLAMI

Ada tiga pemikiran dalam umat berkaitan dengan Islam dan Negara. Pertama, umat yang meyakini, Islam agama danpolitik (Negara). Keyakinan ini direpresentasi dalam ungkapan al-din wa al-daulah. Bagi penganutnya, agama ini memuat perangkat lengkap semua konsep dan sistem: politik, ekonomi, budaya, teknologi, ilmu pengetahuan, pertanian, pendidikan dan seni. Kedua, Islam hanya semata-mata mengurus relasi manusia dan Allah. Urusan ibadah dan akhirat semata. Tidak ada perintah Allah secuil pun kepada Rasul untuk urusan Negara dan politik. Ketiga, sekalipun Islam tidak lengkap dan sempurna, tetapi, Islam mengajarkan prinsip dan kaidah dasar, prinsip etika dan moralitas sebagai batu pijak mengelola kehidupan politik dan Negara.

Kita bisa memotret Islam dalam berbagai sudut disiplin ilmu. Muncul darinya berbagai inspirasi konsep dan sistem kehidupan. Termasuk urusan Negara. Tapi, saya yakin Negara bukan bagian dari agama. Yang saya maksud, Allah tidak mewahyukan kepada Rasululah urusan Negara. Bila kita lacak, tidak akan kita temukan istilah al-dawlah atau Negara dalam al-Qur’an dan Hadis. Secara historis, umat Islam pernah memiliki kegemilangan kuasa dan politik. Sudah pasti tidak bisa dipungkiri, saat hidup Rasulullah kuasa agama dan politik memang dalam satu tangan. Tetapi saya bisa memastikan dan tidak bisa ditarik kesimpulan tidak ada kesatuan agama dan politik dalam Islam. inilah periode teokrasi. Kedaulatan di tangan Allah. Karena segala sesuatu dalam tuntunan dan bimbingan langsung Tuhan. Periode Khulafaurrasyidin, merupakan periode rebutan kepemimpinan politik dalam diri umat Islam. Bahkan, Umar, Ustman dan Ali, sahabat-sahabat utama Rasul terbunuh. Inilah period esemacam republik, rakyat memilih pemimpinnya. Pada era ini skisme umat Islam bermula. Perpecahan dan pengelompokan umat dalam doktrin dan ideologi masing-masing. Periode monarki juga dialami umat Islam. Era Bani Umayyah dan Abbasiyah.

Atas dasar itu, bagi saya Islam tidak bisa dipaksa sebagai agama, sekaligus Negara. Tidak ada teks untuk menegakkan Negara Islam. Yang Islam perintahkan adalah penegakan nilai-nilai kebenaran dalam segala dimensi. Hal ketuhanan, hanya tauhid yang paling simple dan mudah dipahami. Selainnya ribet dan mbulet. Keadilan, kedamaian, ketentraman dan keharmonisan adalah tiang-tiang eksistensi kehidupan. Inilah esensi dan tujuan bernegara sebagai entitas pengelola dan pengorganisasi tujuan bersama. Umat Islam boleh memilih bentuk dan konsep pengelolaan dalam format apapun. Bentuk Negara masuk dalam urusan ijtihadiyah. Boleh demokrasi, monarki atau aristokrasi. Yang terpenting tujuannya adalah kemaslahatan dan kebaikan kemanusiaan.

Negara tidak lebih dari medium. Yang terpenting esensi tujuan bersama tercapai. Boleh-boleh saja bila memang yakin untuk menengakkan Negara Islam. Tetapi jangan hanya sekadar nama semata. Perhatikan dulu apa yang terjadi di Pakistan, Irak, Saudi Arabia, Afghanistan ? Bukankah bangsa dan Negara itu mayoritas ber-KTP Islam? Apa hasil dan kualitas perilaku dan akhlak umat di sana? Tidak jauh dengan Negara kita yang mayoritas beragama Islam. Boleh juga sebagai perbandingan bila kita meriset perilaku penduduk Vatikan yang Katolik? Selaraskah dengan ajaran kasih Isa al-Masih?

Menarik sekali membaca riset“How Islamic are Islamic Country”, yang dilakukan oleh Professor Scheherazade S Rehman dan Professor Hossein Askari dari The George Washington University. Hasilnya, Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara. Berikutnya Luksemburg di urutan kedua. Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140. Bagaimana bisa Negara yang tidak berkonstitusi Islam menjadi Negara paling Islami? Apa kriteria keislaman yang dinilai? Misalnya, rendah korupsi, perhatian terhadap dhuafa, fakir dan miskin, mudah menolong, bersih, tenang dan damai, angka kejahatan atau kriminalitas rendah, perhatian Negara kepada kaum dhuafa, fakir dan miskin tinggi.

Bukankah kualitas-kualitas tersebut tujuan utama ajaran Islam? Bukankah hal-hal itu merupakan esensi seruan al-Qur’an dan Hadis? Dan, ternyata ,dari  56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI),  rata-rata berada di urutan ke-139. Maka benar apa yang Muhammad Abduh katakan, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya. Kita hanya membutuhkan Negara penegak nilai-nilai Islam. Negara yang berjuang untuk pemenuhan kebenaran-kebenaran universal. Negara Islami.

Saya rasa, memang tidak terlalu releven teriakan dan hentakan provokasi mendirikan dan menegakkan Negara Islam. Karena kenyataannya, tidak ada model yang tepat dan baik sebagai alat konfirmasi. Rasanya penting kita menginsafi ungkapan Ibnu Taimiyah: “Akan tetap berdiri tegak sebuah Negara sekalipun Negara non-Islam asalkan adil. Dan akan segera runtuh sekalipun mengklaim sebagai Negara Islam tapi mengabaikan keadilan.

Wallahua’lam bi al-shawab. 

(rr)