foto: edisinews.com

Pemilu legilatif 8 April lalu penuh kejutan. Tidak ada satupun partai yang meraih tiket emas untuk mengajukan calonnya di pemilu presiden Juli nanti.

PDIP yang menargetkan 30% suara hanya mampu meraih 18% - 19%, atau hanya naik sekitar 5% dari perolehan pada 2009 lalu. Figur Jokowi yang ditempel di hampir semua poster caleg PDIP dan billboard-bilboard raksasa ternyata tidak berdampak besar. Ketenaran Jokowi nampaknya hanya di media. Di akar rumput, hanya mitos atau setengah mitos. Untuk memodali Jokowi nyapres, PDIP harus agak merunduk dan minta dukungan 1-2 partai lain.

Hal serupa terjadi pada Gerindra, target perolahan suara 20% tidak kesampaian. Suara Gerindra nampaknya mentok di 11%-12%, yang berarti dia harus berkoalisi dengan 2-3 partai tengah. Tapi prestasi Gerindra cukup spektakuler karena parolehan suaranya naik hampir 3 kali lipat dari pemilu 2009 lalu.

Sesumbar Ical soal boarding pass buat dirinya ke pilpres ternyata hanya mimpi di siang bolong. Dengan perolehan suara 14% - 15%, Golkar harus berkoalisi dengan 1-2 partai lain untuk bisa meraih elektroral threshold capres.

Jokowi dan Prabowo nampaknya tidak akan kesulitan untuk meraih mitra koalisi. PPP, PKS dan PBB secara ideologi akan condong mengusung Prabowo. PDIP sudah ditempel Nasdem, dan kemungkinan PKB dan PAN.

Golkar berada di persimpangan jalan. Selama Ical ngotot nyapres, partai yang berpikir jauh ke depan akan emoh berkoalisi dengan Golkar. Kampanye Ical yang berapi-api di media-media Viva Group akan tenggelam oleh foto-foto Lapindo dan ‘perjalanan bisnis’ ke Maladewa bersama Zalianti bersaudara. Tanpa pemberontakan internal untuk mengeser Ical, Golkar harus siap-siap menjadi partai oposisi.

Bagaimana dengan Demokrat? Mantan partai berkuasa yang jeblok di pileg kali ini tidak memiliki posisi tawar yang berarti. Langkah terbaik bagi Demokrat adalah menjadi pelengkap koalisi pengusung Jokowi atau Prabowo. Dan jangan banyak bicara karena hanya akan memperkeruh suasana pilpres!

(rr)