Ilustrasi/ baranews.co

LEBIH baik daftar menjadi caleg, ujar seorang kawan. Bila terpilih pada pemilu lantas menjadi anggota parlemen maka kebutuhan ekonomi setidaknya terpenuhi. Kata teman itu lagi, status sosial naik. Dari pengangguran terselubung menjadi anggota dpr yang terhormat, berjas dasi, dan kerap rapat dengan pejabat negeri. Selain itu peluang memperkaya diri menjadi terbuka, bahkan kalau berani main-main uang dan tidak takut masuk penjara --kekayaan bertambah secara sim salabim.

Menjadi caleg sebuah parpol unggulan boleh dikatakan impian para pengangguran. Bayangkan saja, seorang pedagang cilok (aci colok) berubah menjadi anggota dewan. Pemilik salon kecantikan di sebuah gang sempit menjadi anggota dewan. Pengrajin stempel, pedagang bawang, penjual mainan anak, penjual daging sapi di pasar, satpam dan profesi (maaf) marginal lainnya akibat menang pemilu akhirnya menjadi anggota dewan. Dunia lama pun ditinggalkan. Mereka masuk ke dunia baru, meski bukan the new world yang dikatakan Lothop Stodard.

Kebiasaan memanggang diri di terik matahari berganti menjadi menikmati penyejuk ruangan yang dibayarkan melalui pajak rakyat. Semula biasa menunggu di ruang pejabat kini menjadi orang yang ditunggu pejabat. Yang semula menyerahkan berkas untuk ditandatangani pejabat lantas berbalik menjadi orang yang disodori pegawai sekretariat dewan untuk dimintai tandatangannya. Begitu pula yang semula sering dasmet (endas mumet) karena tidak punya uang kini menjadi dasmet untuk membelanjakan uang. Rumah yang dulu di daerah kumuh (bahkan status tanahnya pun sengketa berbagai pihak) setelah menjadi anggota dewan bisa mengangsur perumahan cukup layak. Paling tidak, sambung kawan saya di atas, “Menjadi caleg itu memperpanjang biodata atau curriculum vitae”.

Pemilihan umum yang sudah kesekian kali dilaksanakan di Indonesia tak lepas dari prasangka. Pertama menyangkut sistemnya, kedua para caleg yang menanamkan niat untuk mendahulukan kepentingan pribadi, ketiga fakta bahwa partai politik sekadar dimanfaatkan untuk tujuan pendek, dan keempat belum munculnya kesadaran kolektif  bahwa pemilu diadakan untuk melangsungkan roda pemerintahan berdasarkan sistem presidensial kabinet yang menyertakan anggota dewan sebagai legislator. Jadi seburuk apa pun pandangan masyarakat tentang pemilu dan caleg, pemilu tetap diadakan. Pemilu harus terus berlangsung sambil mengupayakan perbaikan di dalam hal penyelenggaraannya.

Melihat fenoma caleg yang hanya ingin memperbaiki taraf ekonominya, pada sebuah obrolan dengan teman di atas itu tadi, saya mengimpikan perubahan undang-undang pemilu di Indonesia. Saya pikir ada baiknya UU Pemilu mencantumkan syarat kekayaan minimal bagi setiap calon anggota legislatif. Misalnya untuk menjadi anggota DPRD harus memiliki harta bergerak senilai Rp3 milyar dan harta tidak bergerak Rp5 milyar. Untuk menjadi anggota DPR RI harta minimal yang harus dipunyai sebesar Rp10 milyar plus harta tidak bergerak.

Kekayaan yang dimiliki itulah yang akan membiayai kampanye mereka sebelum pemilu. Begitu pula potensi untuk main-main dengan uang (manipulasi, korupsi) atau memperkaya diri --relatif kecil. Lantaran sebelum tercatat menjadi anggota parlemen pun mereka sudah memiliki kekayaan dan secara finansial tidak kekurangan.

Syarat kekayaan minimal yang ditetapkan untuk menjadi caleg memungkinkan terselenggaranya pemerintahan yang bersih, clean government, salah satunya diperlihatkan oleh kemampuan finansial anggota parlemen. Dewan perwakilan tidak mudah disuap. Dewan memiliki integritas dan tidak menjadikan keanggotaan parlemen sebagai lading untuk mencari uang.

Sebaliknya manakala anggota dewan yang terpilih dari pelaksanaan pemilu didominasi oleh caleg kere, maka peluang dan potensi memikirkan kepentingan rakyat tergeser oleh mendahulukan kepentingan pribadi. Komisi Pemberantasan Korupsi berupaya mendorong Komisi Pemilihan Umum untuk mewujudkan akuntabilitas laporan kekayaan calon anggota legislatif. Hal itu merupakan salah satu strategi menghasilkan anggota DPR hasil Pemilu 2014 yang jujur dan berintegritas.

Ketika anggota dewan susah disogok segepok uang atau selembar cek, maka dapat dipastikan perilaku suap berkurang. Berkurangnya perilaku ini dalam konteks politik Indonesia tentu saja memberikan pelajaran sangat berharga bagi demokratisasi dan mencerdaskan. Tak urung pelaku suap bisa dikenai pasal hukum.

Menyoal kekayaan caleg, Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto mengungkapkan, KPK sudah menyatakan mau membantu KPU untuk mendorong akuntabilitas laporan harta kekayaan caleg. Salah satu strategi untuk menghasilkan anggota parlemen yang jujur, kepala daerah bermoral, dan calon presiden yang punya integritas adalah melalui akuntabilitas laporan harta kekayaan calon harus diukur oleh kekayaan caleg.

Hari-hari menjelang pelaksanaan pemilu legislatif 2014 sudah terlalu banyak harapan disandarkan. Baik kepada caleg yang ikut bertarung maupun kepada KPU, Bawaslu, dan penyelenggara pemilu di seluruh TPS. Hasilnya tentu saja kembali kepada kesungguhan caleg terpilih kelak untuk selalu siap diperiksa harta kekayaanya, terlebih apabila mencurigakan.

Kabarnya, KPK telah mengusulkan agar KPU bisa mendapatkan penjelasan soal laporan harta kekayaan caleg. KPK juga mengusulkan kepada KPU agar laporan harta kekayaan itu bisa diakses KPK. Para calon harus mampu menjelaskan atau mendeliberasi transparansi asal-usul kekayaannya dan memberikan kewenangan pada KPK untuk memverifikasi dan mengklarifikasi asal-usul kekayaan yang mencurigakan. Jika memungkinkan, KPU bisa meminta caleg memberikan surat kuasa kepada KPK atau penegak hukum lain untuk mengambil alih aset atau kekayaan yang tidak dilaporkan. Pemberian surat kuasa itu berlaku selama dia menjadi penyelenggara negara. KPK bisa meminta masukan publik ataupun bekerja sama dengan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan).

Meminjam Koordinator Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia Sebastian Salang, selalu ada celah untuk tetap bisa mewujudkan akuntabilitas laporan kekayaan caleg tersebut. KPU tetap bisa meminta laporan harta kekayaan caleg, kemudian meminta KPK untuk memverifikasi laporan tersebut. Jika kemudian ada aset atau kekayaan yang mencurigakan atau tak sesuai dengan profil caleg bersangkutan, KPK bisa melaporkannya ke KPU. Selanjutnya, KPU bisa meminta penjelasan ke parpol tempat caleg tersebut berasal. Jika parpol berkomitmen menghasilkan anggota DPR yang berkualitas dan jujur, kata Sebastian, mereka bisa menindaklanjutinya dengan mencoret caleg yang laporan harta kekayaannya mencurigakan. ***

(rr)