Ilustrasi/ www.sarapanpagi.org

Sejak 1 April 2014 berlalu, UU Syariah di Brunei Darussalam melarang non-muslim menggunakan 19 kata bahasa Melayu. Kata-kata: Azan, Baitullah, al-Quran, Allah, Fatwa, Firman Allah, Hadis, Haji, Hukum Syara,' Ilahi, Ka'bah, Kalimah al-Syahadah, Kiblat, Masjid, Imam, Mufti, Mu'min, Shalat, Wali. Selain urusan bahasa, UU itu juga melarang minuman beralkohol, pernikahan lintas agama, serta perawatan dan tindakan medis. Melanggar UU tersebut, non-muslim akan mendapat sanksi dan hukuman.

Sebelum Brunei Darussalam, Malaysia telah memulai larangan penggunaan seruan Allah bagi  non-muslim. Belum sampai secara UU. Karena itu, dengan UU tersebut, Raja atau Sultan Hasanal Bolkiah dan negeri itu terlihat lebih “islami”. Hanya saja ada perbedaan ekses dari penerapan UU dan peraturan itu. Sekalipun Malaysia hanya melarang penggunaan kata Allah bagi non-muslim,dalam implementasinya, negeri jiran ini lebih berani. Aparat berani intervensi dan masuk ke tempat ibadah non-muslim untuk memantau ketaatan mereka. Bahkan, larangan itu melahirkan gejolak sosial-politik di negeri itu. Sementara di Brunei baru bersifat keberatan dan protes lisan, belum sampai demonstrasi terbuka kepada pemerintah. Sampai detik ini saya tidak paham alasan kedua Negara ini. Apa dalil yang mereka susun dan miliki?Bagaimana kualitas, wawasan dan keilmuan ulama yang mendukung sikap itu?

Berita di atas mengingatkan saya gurauan teman-teman kalangan pluralis. Kata mereka, kini bukan hanya binatang yang punya agama, bahasa pun beragama. Kucing dan unta beragama Islam. Mungkin karena Rasulullah menyukai kucing dan menunggang unta. Sementara anjing dan babi non-muslim. Kedua khewan itu diduga beragama non-Islam. Di dalam al-Qur’an, selain binatang-binatang di atas, Kitab Suci ini  juga menyebut nyamuk, laba-laba, sapi, angin, hujan, petir, semut, burung dan sebagainya. 

SEBUTAN ALLAH DALAM Al-QUR’AN

Perbincangan asal dan sebutan nama Allah di Indonesia berlangsung cukup lama. Awal tahun 90 adalah Cak Nur, awal-awal kajian keislaman di Paramadina memantik kontraversi. Dengan mengutip riset sejarah dan arkeologi Prof. Dr. Raji al Faruqi dan Louis Lamya’ al Faruqi, Cak Nur mengisahkan bahwa nama Allah telah dikenal bangsa Arab sejak lama. Pada masa pra-Islam, seruan itu ditujukan kepada kekuatan tertinggi di atas dewa-dewa Arab. Bahkan, sebagaimana terekam dalam al-Qur’an, sebelum Muhammad diangkat sebagai Rasul, kaum Pagan Arab ketika ditanya “Siapakah pencipta langit dan bumi?”. Mereka tegas menjawab “Allah”. Mereka menyembah patung atau berhala yang mengelilingi Ka’bah, dan yang terbesar diseru Alata-Uzza. Berhala-berhala itu, bagi pagam Arab merupakan medium atau wasilah, agar mudah dan lebih didengar seruannya oleh Allah. Bahkan, Buya Hamka pun, kiai tasawuf Cak Nur selama “nyantri: di Masjid Al-Azhar Kebayoran Baru, bila anda penasaran, silakan lacak karya-karya tulis  beliau, menulis bahwa Allah, bisa diseru dengan Tuhan Dewata Raya. Bagaimana al-Qur’an bicara masalah ini? 

Bila kita melacak al-Qur’an, kita akan mendapatkan bahwa saat Adam dan Hawa masih di surga, keduanya belum memanggil Tuhan dengan seruan Allah. Hampir seluruh kisah Adam-Hawa berkisah bahwa kata “rabb” yang umum. Sebagai contoh, awal pertama, saat al-Qur’an bercerita bahwa Sang Rab memberitakan kepada para malaikat, bahwa Dia akan menciptakan “khalifah”, pengganti-representasi-Nya di muka bumi. “waidz qaala rabbuka lil malaikati inni jaailu fi al-ard khalifah”, ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada para malaikat, sesunggunya Aku akan menciptakan di muka bumi khalifah. Bahkan, Iblis makhluk yang juga tinggal di surga (jannah) tidak juga terekam memanggil Tuhan dengan nama generik (proper name) Allah. Lantas, sejak kapan al-Qur’an menggunakan kata Allah? 

Hasil lacakan kita, makhluk awal yang menyeru Tuhan dengan panggilan Allah adalah Habil. Anak Adam-Hawa yang diterima persembahannya dalam kisruh rebutan istri pujaan. Amati ayat berikut:”Berkata Habil: “Sesungguhnya Allah hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa”.(al-Maidah:27). Bagaimana ia tahu nama itu?Apakah saat sebelum Adam-Hawa diturunkan ke bumi atau setelah keduanya diusir dari surga dan diturunkan ke bumi. Tuhan mengabarkan bahwa dirinya bernama Allah. Inilah sebuatan agung bagi diri-Nya. Bagaimana bisa hal itu dipahami? Keunggulan Adam, hingga Iblis harus sujud (hormat) kepadanya karena nilai utama Adam sebagai cermin atau imago dei Tuhan. Allah menjadikan Adam sebagai makhluk bernalar dan pemilik intelektual, ruh dan hati. Bukankah Allah mengajari  Adam nama-nama (obyek) yang bisa dicerap panca indera? Adalah tidak masuk akal bila Allah tidak mengenalkan nama-Nya untuk memudahkan Adam-Hawa menyeru-Nya.

Amati ayat berikut:”Dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!” (al-Baqarah 31). Sekalipun di al-Qur’an tidak dikisahkan, karena kitab ini memang tidak berbicara detail dan kronologi, nalar kita meyakini, Tuhan pasti mengenalkan diri-Nya. Allah sebutan dan seruan untuk dan kepada-Ku.   

Nama Allah itulah yang Adam-Hawa ajarkan, lafadzkan dan patrikan dalam diri anak-anaknya. Habil adalah salah satunya. Kelak nama itu pula yang diajarkan kepada anak-cucunya.

Selanjutnya, Nabi Nuh keturunan Adam yang memanggil Tuhan dengan seruan Allah.“Sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya lalu ia berkata: “Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tak ada Tuhan bagimu selain-Nya.” (al-A’raaf 59). Selanjutnya, Nabi Ibrahim:”Ibrahim berkata: Maka mengapakah kamu menyembah selain Allah sesuatu yang tidak dapat memberi manfa’at sedikitpun dan tidak (pula) memberi mudharat kepada kamu?” (al-Anbiyaa:66). Berikutnya Nabi Ya’qub: “Maka Ya’qub berkata: “Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan (ini)”. (Yusuf 66). Nama itu pula yang nantinya Nabi dan Rasul keturunan Ibrahim mengajarkan kepada umatnya. Amati kisah al-Qur’an tentang “Musa menjawab: “Patutkah aku mencari Tuhan untuk kamu yang selain dari pada Allah, padahal Dialah yang telah melebihkan kamu atas segala umat. (al-A’raaf 140). Nabi Bani Israel sesudah Musa adalah Isa al-Masih.“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah Al Masih putera Maryam”, padahal Al Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, sembahlah Allah Tuhanku dan Tuhanmu”. (al-Maidah 72).

Tidak bisa dipungkiri bahwa Nabi dan Rasul bangsa Israel juga menyeru Tuhan dengan: elohim atau Yahweh. Karen Amstrong dalam buku Sejarah Tuhan memaparkan mendalam tentang seruan-seruan itu. Al-Qur’an bercerita tentang pertemuan nabi Musa dengan Tuhan, ketika beliau keluar dari negeri Madyan untuk kembali ke Mesir. Di perjalanan, Tuhan memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah kepada Musa.Al-Qur’an memuat kisah ini dalam 2 rangkaian ayat yaitu :

Kita tidak memungkiri, bahwa al-Qur’an memang turun dalam bahasa Arab. Sementara Nabi Musa berkebangsaan Bani Israel. Sudah pasti yang digunakan adalah bahasa Ibrani. Akan tetapi sebagian ulama tetap meyakini, bahwa Allah merupakan nama istimewa yang Allah ajarkan sebagai nama diri-Nya sekalipun para Nabi menggunakan bahasa ibu masing-masing. Amati ayat berikut: “Maka tatkala Musa telah menyelesaikan waktu yang ditentukan dan dia berangkat dengan keluarganya, dilihatnyalah api di lereng gunung ia berkata kepada keluarganya: “Tunggulah (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa suatu berita kepadamu dari (tempat) api itu atau (membawa) sesuluh api, agar kamu dapat menghangatkan badan”. Maka tatkala Musa sampai ke (tempat) api itu, diserulah dia dari (arah) pinggir lembah yang sebelah kanan(nya) pada tempat yang diberkahi, dari sebatang pohon kayu, yaitu: “Ya Musa, sesungguhnya aku adalah Allah, Tuhan semesta alam (innii anaa allaahu rabbu al’aalamiina). (al-Qashash:29-30). 

“Apakah telah sampai kepadamu kisah Musa? Ketika ia melihat api, lalu berkatalah ia kepada keluarganya: “Tinggallah kamu (di sini), sesungguhnya aku melihat api, mudah-mudahan aku dapat membawa sedikit daripadanya kepadamu atau aku akan mendapat petunjuk di tempat api itu”. Maka ketika ia datang ke tempat api itu ia dipanggil: “Hai Musa. Sesungguhnya Aku inilah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu; sesungguhnya kamu berada dilembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan (kepadamu). Sesungguhnya Aku ini adalah Allah, tidak ada Tuhan (yang hak) selain Aku, maka sembahlah Aku dan dirikanlah shalat untuk mengingat Aku (innanii anaa allaahu laa ilaaha illaa anaa fau’budnii wa-aqimi alshshalaata lidzikrii). (Thaaha:9-14).Atas ayat-ayat di atas, sebagian ulama meyakini bahwa nama ‘Allah’ merupakan nama generik untuk Tuhan alam semesta. Allah merupakan proper name dari Tuhan, bukan suatu istilah atau nama jabatan, dan nama tersebut disampaikan melalui lafadz/ bunyi suara. 

Untuk memahami lebih mendalam wacana ini sangat penting kita membaca elaborasi Prof.Quraish Shihab, pakar dan ahli tafsir kebanggan umat Islam Indonesia. Dalam “Membumikan al-Qur’an” beliau menulis:“Para ulama dan pakar bahasa mendiskusikan kata tersebut (Allah) antara lain apakah ia memiliki akar kata atau tidak. Sekian banyak ulama yang berpendapat bahwa kata ‘Allah’ tidak terambil dari satu akar kata tertentu, tapi ia adalah nama yang menunjuk kepada zat yang wajib wujud-Nya, yang menguasai seluruh hidup dan kehidupan, serta hanya kepada-Nya seharusnya seluruh makhluk mengabdi dan bermohon. Tetapi banyak ulama berpendapat, bahwa kata ‘Allah’ asalnya adalah ‘Ilaah’, yang dibubuhi huruf ‘Alif’ dan ‘Laam’ dan dengan demikian, ‘Allah’ merupakan nama khusus, karena itu tidak dikenal bentuk jamaknya. Sedangkan ‘Ilaah’ adalah nama yang bersifat umum dan yang dapat berbentuk jamak (plural), yaitu ‘Alihah”. 

Atas dasar itu, para ulama membahas bahwa, ilmu tata bahasa dikembangkan oleh manusia. Tentu dalam hal ini ahli bahasa.Manusia sudah pasti berbunyi dan berlafadz lebih awal dibanding munculnya ilmu tata bahasa dan semantik. Bila kita katakan bahwa lafadz Allah dibentuk dan tersusun secara kebahasaan, berarti sebutan Allah diciptakan oleh manusia. Ini hal yang berat diterima oleh kewarasan iman.Yang paling kuat dalam timbangan akal waras, iman yang sehat terima, bahwa lafadz Allah dikenal sejak awal keberadaan manusia. Nama itu pula yang dikenalkan sendiri dan langsung oleh sang pemilik. Siapakah dia? Allah sendiri. Bagaimana dengan pendapat ulama dan ahli bahasa Arab yang mengatakan bahwa Allah terbentuk dari kata “ilaah”, al-ilah” dan menjadi Allah. Justru lafadz Allah lah sebagai nama asal (generik) yang menjadi sumber dan  turunan dari sebutan ilaah dan al-ilah di atas.

Pendapat ini terlihat lebih bisa kita terima. Lafadz Allah, seruan manusia kepada-Nya kemudian secara historis, turun-temurun ribuan tahun diwariskan kepada manusia, khususnya umat beragama di wilayah jazirah Arab. Itulah mengapa kaum pagan, penyembah berhala pra-Islam juga menyeru dan meyakini Allah sebagai dzat Maha Tinggi, pencipta, pemelihara dan pemilik alam semesta. Nama asli (generik) inilah yang Allah ajarkan kepada Adam-Hawa dan nabi-nabi setelahnya.  

KRISTEN ARAB MENYERU ALLAH

Secara sosiologi-budaya, dalam rumpun agama-agama Ibrahim, seruan Yahweh juga populer. Umumnya wilayah Samaria dan Palestina.Seruan itu sepopuler Allah di jazirahArab, khususnya Mekkah sebelum zaman Islam. Hanya saja, seruan Allah dipakai sebagai sebutan bagi pencipta (khaliq) langit dan bumi. Umat Kristen Arab di wilayah Syria sebelum Islam meyakini hal itu. Itulah mengapa sampai jaman modern, kaum atau umat Kristen biasa menggunakan seruan Allah dalam kehidupan sehari-hari.  

Salah satu inskripsi kuno yang ditemukan pada tahun 1881 di kota Zabad, sebelah tenggara kota Allepo (Arab: Halab), sebuah kota di Syria sekarang, meneguhkan dalil tersebut. Inskripsi Zabad ini telah dibuktikan tanggalnya berasal dari zaman sebelum Islam, tepatnya tahun 512. Menariknya, inskripsi ini diawali dengan perkataan Bism-al-lah, "Dengan Nama al-lah" (bentuk singkatnya: Bismillah, "Dengan Nama Allah"), dan kemudian diusul dengan nama-nama orang Kristen Syria. Bunyi lengkap inskripsi Arab Kristen ini dapat direkonstruksi sebagai berikut:"Bism' al-lah: Serjius bar 'Amad, Manaf wa Hani bar Mar al-Qais, Serjius bar Sa'd wa Sitr wa Sahuraih. Terjemahannya : Dengan Nama Allah: Sergius putra Amad, Manaf dan Hani putra Mat al-Qais, Sergius putra Sa'ad, Sitr dan Shauraih. 

Salah seorang pakar yang membahas kajian ini adalah Yasin Hamid al-Safadi. Kajian ini bisa dibaca dalam The Islamic Calligraphy. Inskripsi pra-Islam lainya yang ditemukan di Ummul Jimal dari pertengahan abad ke-6 Masehi membuktikan bahwa berbeda dengan yang terjadi di Arab selatan, di sekitar Syria nama 'Allah' disembah secara benar. Inskripsi Ummul Jimmal diawali dengan kata-kata Allah ghafran (Allah mengampuni).Bahkan menurut Spencer Trimingham, dalam bukunya Christianity among the Arabs in the pre-Islamic Times, membuktikan bahwa pada tahun yang sama dengan diadakannya Majma' (Konsili) Efesus (431), di wilayah suku Arab Hartis (Yunani: Aretas ) dipimpin seorang uskup yang bernama 'Abd Allah (Hamba Allah). Dari bukti-bukti arkeologis ini, jelas bahwa sebutan Allah sudah dipakai di lingkungan Kristen sebelum zaman Islam yang dimaknai sebagai sebutan bagi Tuhan Yang Mahaesa, Pencipta langit dan bumi. 

Tentu saya memahami bahwa perjalanan waktu mampu merubah yang asli melenceng jauh. Yang otentik bergeser dari sumber awalnya. Konsep iman dan ketuhanan pun bisa mengalami perubahan. Ribuan perjalanan jaman membuat agama bisa menjadi mitos dan legenda. Apa yang disebut sejarah, acapkali hanya berupa mitos, legenda dan kisah-kisah semata. Bisa saja Plato, Sokrates dan Aristoteles merupakan pribadi-pribadi bijak nan arif. Bisa saja mereka selevel Lukman Hakim, manusia bijak sebagaimana al-Qur’an kisahkan. Sangat terbuka bila Hindu merupakan agama langit. Tripitaka dan Dhammapala merupakan Kitab Suci. Bisa saja Sidharta Gautama adalah Nabi dan penerima wahyu. Bisa saja Khong Hucu adalah pribadi bijak penuh hikmah.Sudah pasti al-Qur’an mengisahkan kehadiran para Nabi dan Rasul. Sebagian kecil disebutkan, sebagian besar tidak dikisahkan. Rasul Muhammad jelas menandaskan ada ratusan Nabi yang diutus sesuai budaya dan bahasa umat masing-masing.

Akhirnya, atas elaborasi yang sangat ringkas ini, kita menyayangkan pemerintah Malaysia dan Brunei Darussalam membuat larangan, bahkan UU dan memberi sanksi kepada non-muslim yang menyeru Tuhan mereka dengan panggilan Allah. Kedua Negara ini terlihat minim wawasan, kurang mendalam kajian literature dan jelas sangat tidak bijak. Bagaimana mungkin seruan yang gratis, terbuka dan tersaji secara bebas diklaim sepihak hanya milik agama Islam? Bukankah hal itu mempersempit ruang dakwah dan membatasi rahmat Allah yang tak terhingga bagi alam semesta? Tidakkah itu bertentangan dengan semangat al-Qur’an dan Sunnah Nabi sendiri? Bukankah hal itu mengada-ngada dan sikap ekstrim (ghuluw) yang al-Qur’an dan Sunnah sendiri tidak melakukan dan melarangnya? Bukankah hal itu jelas-jelas mencerminkan bentuk dakwah yang tidak cerdas dan tambah membuat citra Islam corang-moreng di mata dunia? Bukankah itu cermin jiwa kerdil, inferior yang terpendam dan sikap keislaman yang tidak dewasa dan rendah kualitas? Keindahan Islam memang dirusak dan diporak-porandakan oleh pemeluknya. 

Wallahu a’lam bi al-shawab. (rr)