Ilustrasi/ log.viva.co.id

ENTAH apa alasan PDI Perjuangan memahat kata wong cilik baik pada kampanye terbuka maupun kampanye media. Wong Cilik alias orang kecil alias rakyat jelata alias marhaen merupakan atribut yang kurang etis didengar. Ada kesan pemisahan kelompok masyarakat dan tampak klasifikasi itu diukur berdasar status sosial ekonomi. Sehingga mereka yang kalah pada status itu dikatakan sebagai wong cilik, sementara mereka yang berhasil melampaui strata ekonomi sosial tertentu dinamakan wong gede, orang besar. Besar pengaruhnya, besar gengsinya, besar hartanya.  Pemisahan ini mencerminkan diskriminasi yang berujung pada perbedaan hirarkis yang tak kenal henti. Partai politik sebagai rumah inspirasi seharusnya berusaha menghapus diskriminasi ini, bukan malah melegalkannya sebagai salah satu jargon yang dianggap ampuh menyedot perhatian publik.

Wong cilik dengan kebutuhannya yang cilik dan keinginannya yang cilik, maka mereka pun diperlakukan dengan cilik pula. Cukup dengan Rp 50 ribu per orang, sebungkus nasi, sebungkus rokok kretek –wong cilik itu siap dipanggang matahari sambil meneriakkan yel-yel seseorang dan atau parpol. Wong cilik itu mengkampanyekan sesuatu atau seseorang yang belum jelas kontribusi politiknya kepada mereka, belum jelas apakah kelak yang dikampanyekan itu akan memperhatikan serta merealisasikan janji-janjinya atau sebaliknya. Mereka sepertinya tidak peduli. Yang penting hari ini bisa makan, merokok, berjoget bersama artis dangdut, dan di saku ada uang Rp50 ribu.

Pekan ini musim kampanye partai politik telah tiba. Ada yang menyambut gembira laksana petani menyambut musim panen padi. Ada yang berharap banyak atas tibanya musim kampanye ini sehingga timbul pertanyaan wong cilik yang berkampanye di tempat terbuka itu pun bisa memerankan diri dengan berbagai baju politik. Artinya mereka hadir pada seluruh kampanye partai politik. Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa hingga kini belum ada pendataan peserta kampanye yang dilakukan oleh parpol.

Saya punya pengalaman pada sebuah kampanye partai politik tahun 1999 lalu. Ketika itu parpol menyebarkan “orang-orangnya” untuk mencari peserta kampanye menggunakan kendaraan motor roda dua. Dibekali uang sesuai kemampuannya mendapatkan peserta, maka pada Hari H kampanye grup pemotor itu pun hadir. Mereka berboncengan mengenakan kaos parpol dengan ikat kepala, tampak gagah menjadi barisan pertama pembuka jalan. Knalpot yang meraung, pegangan gas yang dimainkan, teriakan memekik sebagai dukungan kepada parpol dan caleg –sepertinya meyakinkan bahwa mereka (baca: wong cilik) adalah benar kader partai tersebut. Dua hari kemudian para pemotor itu terbukti ikut kampanye partai politik lain dan bertingkah sama ketika mereka mengkampanyekan partai sebelumnya.

Salahkah mereka?  Tentu saja tidak. Mereka hanya senang dengan keramaian sesaat di atas roda motor. Mereka senang menjadi peserta kampanye partai mana pun sepanjang diberi uang bensin, kaos parpol, rokok, dan nasi bungkus. Mereka lebih suka menjadi pelengkap kegiatan kampanye terbuka sebagai bentuk partisipasi politik secara langsung. Kehadiran dengan motornya itulah fokus yang dibidik, terlebih mereka tidak perlu mengeluarkan uang dari kocek sendiri.

Trade Mark

Dari contoh perilaku peserta kampanye di atas, layakkah wong cilik dinisbatkan sebagai konstituen sejati sebuah partai politik? Layakkah mereka hanya dikutip oleh PDI Perjuangan untuk terus diperjualbelikan sebagaimana trade mark politik?

Wong cilik yang kerap dimanipulasi itu pun tak luput menjadi korban perilaku korupsi calon anggota legislatif, calon kepala daerah dan calon presiden yang (mungkin saja) pernah mereka kampanyekan. Wong gede yang mereka kampanyekan ternyata gagal menjadi pamong, gagal menjadi “orang tua” yang semula diharapkan mampu memberikan kesejahteraan. Mereka gagal lantaran kekuasaan yang telah diraih diam-diam telah menjauhkan dari realitas sosial yang dahulu sangat antusias dianalisa dan dibela. Sebelum menjadi wong gede, biasanya rajin sowan ke masyarakat untuk mencari dukungan, untuk mendulang suara, dan menebar janji.

Agaknya inilah pesan Buya Syafi`i Ma`arif mengomentari pencapresan Jokowi beberapa saat lalu. Mantan Ketua Umum Muhammadiyah itu hanya menekankan agar siapapun yang terpilih nantinya sebagai Presiden mampu menegakkan Pancasila dan Undang-Undang (UUD) 1945. Jangan sampai ada pengusaha hitam yang terbukti mendukung pencapresan Jokowi. Hal ini penting dicatat, mengingat sehari sebelum deklarasi pencapresan Jokowi, ada pertemuan antara Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Megawati Soekarnoputri dengan sekitar 60 pengusaha di DPP PDIP, Lenteng Agung Jakarta Selatan.

“Sangat ironis kalau di balik pencapresan Jokowi oleh PDIP, yang menjadi panglimanya para konglomerat besar atau cukong. Padahal, konstituen sejati PDIP itu 'wong cilik', yaitu petani, buruh, nelayan, dan sebagainya," kata Zaki Mubarak, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Jakarta.

Dengan demikian manakala wong cilik diperjualbelikan sebagai komoditas maka sepatutnyalah sang penjual tidak sedikit pun terbesit untuk mengkhianati wong cilik. Mengkhianati mereka berarti mengkhianati bangsa Indonesia, dan boleh jadi sehebat apa pun program yang dicanangkan akan terhenti di atas kertas. Tidak ada realisasinya.

Kembali kepada wong cilik agaknya lebih manusiawi jikalau disertai keinginan membangun wong cilik menjadi wong gede. Bukan melestarikan wong cilik hanya sebatas konstituen sejati, pemilih tradisional, pemilih fanatik lantaran disodori gambar Bung Karno sebagai perekat wong cilik. Memanusiakan wong cilik dapat ditempuh seandainya partai politik (yang getol memegang jargon wong cilik) secara sungguh-sungguh menempatkan mereka menjadi subjek pembangunan, bukan objek yang diambil manfaatnya sesaat tertentu saja lantas ditinggalkan.

Di tangan wong cilik itulah sejatinya letak kemenangan caleg/ capres. Suara mereka potensial untuk mendudukkan caleg/ capres ke kursi kekuasaan. Maka raihlah simpati mereka, simpati wong cilik, dengan cara-cara yang manusiawi.***

(rr)