Ilustrasi/ www.waspada.co.id

JARANG terjadi karier politik seseorang naik begitu cepat. Ibarat the rising star, Gubernur DKI Jakarta yang belum dua tahun menjabat itu memperoleh dukungan dan tanggapan begitu serius dari berbagai kalangan. Media massa cetak elektronik, pengamat politik, lembaga survei, partai politik, media/ jejaring sosial --membicarakan fenomena ini. Joko Widodo mantan Walikota Surakarta yang melangkahkan kakinya secara mantap di DKI Jakarta, ternyata memperoleh restu Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju pada pemilihan Presiden RI tahun ini. The Rising Star berwajah agak lugu namun tegas itu menerima kenyataan ini sebagai (mungkin) sebagai destiny yang mesti ia jalani. Takdir yang menyeretnya ke kursi kekuasaan tanpa ia impikan, apalagi ia rekayasa. Ia hanya menerimanya dengan takzim.

Oleh karena itu lawan-lawan politiknya sontak seketika bermanuver. Ada organisasi massa (ormas) yang langsung berkomentar miring dan melaporkan agar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa Joko Widodo dalam hal bus Transjakarta. Ada yang langsung memimpin kampanye damai pertama 15 Maret 2014 di dua kabupaten Jawa Tengah. Ada yang menawarkan sosok Ketua KPK Abraham Samad mendampinginya sebagai calon wakil presiden. Ada pula yang memandang rendah lantaran Jokowi bukan apa-apa, bukan siapa-siapa, dan bukan rival berat karena ia hanya dimenangkan oleh pemberitaan media massa. Dan ada juga yang menyambut political news ini sebagai rona demokrasi yang makin dinamis. Bukankah kehadiran Jokowi dalam pilpres tahun 2014 ini mencerminkan ketatnya rivalitas dan kompetisi menuju kursi RI 1, katanya. Ia bahkan menyambut gembira karena mendapatkan lawan yang sebanding sehingga bila ia kalah pun tidak merasa terlalu terpukul. Lawan yang berat dalam sebuah kompetisi politik merupakan ajang pertarungan yang menyenangkan.

Kemungkinan yang bakal terjadi cukup beragam. Pertama, bisa saja deklarasi PDI Perjuangan memasang Jokowi sebagai capres akan dipasangkan dengan Puan Maharani, Ketua Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI yang juga tiba-tiba diblow up lantaran ia anak pasangan Megawati Soekarnoputri dan Taufiq Kiemas. Megawati sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan tidak akan rela begitu saja melepas “kursi empuk” kekuasaan paling bergengsi di republik ini kepada orang lain semua. Klan Soekarno harus tetap ada sebagai perekat pemilih tradisional dari kalangan keluarga eks Partai Nasional Indonesia (PNI), keluarga besar Marhaen, atau mungkin sisa-sisa pengagum Bung Karno yang tersebar di seluruh tanah air.

Kedua, keikutsertaan Jokowi pada pilpres mendatang merupakan babak baru dalam riwayat PDI Perjuangan yang tidak memajukan Megawati Soekarnoputri sebagai capres. Boleh jadi (kalau Jokowi jadi Presiden RI 2014 - 2019) ia tetap akan hormat kepada Megawati, dan diam-diam Megawati berperan sebagai King Maker yang mengatur Jokowi. Ketiga, pencitraan yang baik dengan dukungan blusukan ala Jokowi membuat iri sejumlah tokoh sehingga mereka pun melakukan hal yang sama. Berkat blusukan inilah Jokowi melejit sebagaimana the rising star, mungkin juga blusukan inilah yang menempatkannya selalu di peringkat kesatu pada sejumlah survei. Berbekal data-data yang terbuka itulah maka Megawati tidak mencalonkan diri sebagai capres.

Ongkos yang harus dibayar bagi perhelatan politik lima tahunan ini tentu saja mahal. Jokowi pasti dituding kemaruk atas kekuasaan, meski pun ia berkelit bahwa pencapresan ini merupakan tugas partai. Ia dikatakan kemaruk karena Jakarta dengan kompleksitas masalahnya harus ditinggalkan manakala ia pindah kantor ke Istana Negara. Dan belum tentu penggantinya di jabatan Gubernur DKI Jaya akan seluwes kepemimpinannya. Kemaruk atas kekuasaan lebih tepat dinisbatkan kepada ambisi seseorang yang tidak pernah akan selesai sebelum tubuh menjulur ke arah Utara - Selatan dan dishalatkan. Kemaruk juga merupakan sikap rakus yang ditunjukkan seseorang atau kelompok tertentu tatkala kekuasaan yang digenggam berevolusi membesar. Ada keinginan untuk memakzulkan diri sebagai hero. Hero dalam pemahaman orang itu sendiri bersama kelompoknya.

WILAYAH politik memang dikenal abu-abu. Tidak ada hitam putih di dalam politik, yang ada hanyalah warna abu-abu sebagaimana tidak ada kawan dan lawan abadi kecuali kepentingan. Menyikapi wilayah abu-abu inilah pemilihan presiden 2014 merupakan ajang pertarungan seru yang mempertemukan Jokowi versus Prabowo Subianto versus Aburizal Bakrie dan nama lain yang belum dipastikan. Alhasil rakyat hanya akan memilih berdasar ketetapan hati di bilik suara TPS kelak, mungkin tanpa pretensi. Selama ini rakyat memandang pergantian Presiden RI yang berkali sejak Reformasi 1998 terbukti belum meningkatkan kesejahteraan rakyat.

Presiden RI sebelum 1998 pun belum bisa dikatakan berhasil mengatasi kemiskinan lantaran ia lebih fokus kepada keluarga, keturunan, serta kroninya. Bahkan ia hanya muncul dalam sebuah stiker bertuliskan: Piye kabare le? Enak jamanku tho? Habibie, Gus Dur, Megawati, Soesilo Bambang Yudhoyono –semuanya punya catatan kelemahan yang mungkin sulit terhapus dari ingatan koletif rakyat. Dan Presiden Soekarno pun belum mampu menyejahterakan rakyat karena kepemimpinannya heboh oleh berbagai konflik politik dan kepentingan dalam negeri, sehingga usaha memperbaiki ekonomi rakyat keteteran meski fondasi ekonomi itu telah dirancang. Dengan demikian di Indonesia belum ada presiden yang benar-benar mengabdikan hidupnya bagi bangsa, bagi rakyat. Apakah keinginan itu akan ditimpakan ke bahu Jokowi yang ringkih? Apakah kesejahteraan rakyat Indonesia harus terus tertunda lantaran Jokowi tidak akan mampu berperan optimal sepanjang ia masih mengenakan baju PDI Perjuangan? Ataukah Jokowi (seandainya ia menjadi presiden) berani melakukan kebijakan yang berseberangan dengan Megawati?

Inilah beberapa hal yang terangkai dalam pencalonan presiden bagi Jokowi. Mau tidak mau Jokowi akan berhadapan dengan arus besar parpol warna merah apabila ia sukses menjadi presiden. Dia pun akan dituntut untuk selalu mengutamakan kepentingan partai tersebut seperti telah diperlihatkan SBY pada 2004 – 2014. Bahwa seseorang harus melepaskan baju partai politiknya ketika manggung memimpin rakyat (yang merupakan representasi seluruh parpol dan golput) ternyata cukup sulit. Di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) saja, hampir tidak ada anggotanya yang benar-benar mengutamakan kepentingan rakyat karena ia terikat oleh partai politik yang menempatkannya ke parlemen. Jika ada anggota DPRD yang “menyimpang” dari kebijakan parpol mereka dikatakan menunggangi parpol untuk kepentingan pribadi, dan jika patuh kepada parpolnya maka jangan harap ia akan memperjuangkan rakyat dari parpol lain. Dengan demikian beranikah kelak Jokowi melepas keterikatannya dengan PDI Perjuangan? Mungkinkah ia melakukannya? Siapkah nanti Jokowi disomasi oleh Fraksi PDI Perjuangan di DPR RI apabila ia melakukan kebijakan yang berseberangan dengan kepentingan partai? Kendati demikian mari kita saksikan pilpres 2014 sebagaimana kita menunggu Piala Dunia 2014 di Brazil.***

(rr)