www.beningpost.com

Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) mencatat peningkatan tajam jumlah pengaduan konflik lahan di tahun 2020, sehingga akumulasi kasus dari 2015 hingga Juni 2020 telah mencapai angka 484.

Menanggapi hal ini, para pegiat resolusi konflik mendukung terbentuknya sinergi multisektor sebagai kunci penanganan konflik lahan yang terus meningkat selama pandemi.

Menurut Gamma Galudra, Direktur RECOFTC Indonesia, ada perkembangan yang menyebabkan kenaikan jumlah pengaduan, yaitu sistem pencatatan konflik yang menjadi lebih baik.

“Berkat sistem dokumentasi dan prosedur penanganan konflik lahan yang lebih baik dari pihak pemerintah, LSM dan swasta, serta gencarnya sosialisasi sistem pengaduan kepada masyarakat, kini konflik terdokumentasi cukup baik,” ujarnya.

Situasi pandemi juga ditengarai menambah kompleksitas penanganan konflik. Berkurangnya kesempatan bagi para pihak yang berkonflik untuk bertatap muka secara langsung mempersulit tercapainya sebuah resolusi, sehingga berbagai pihak yang terlibat dalam konflik berupaya untuk mencari alternatif penanganan konflik lahan.

Pegiat resolusi konflik dan reforma agraria Agus Pranata mengatakan bahwa pandemi tidak seharusnya menyebabkan penanganan konflik lahan terhenti. Sebaliknya, penanganan konflik lahan harus disesuaikan agar dapat tetap berjalan.

“Hal ini termasuk membangun sinergi dalam proses penanganan konflik yang kredibel dan efektif, dengan penyebaran informasi secara transparan, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) di tingkat tapak, serta persetujuan komitmen damai multipihak,” jelasnya.

Mengenai siapa yang berperan penting dalam sinergi penanganan konflik selama pandemi, lebih lanjut Agus menjelaskan bahwa selain pemerintah, pihak swasta juga punya kontribusi penting. Kontribusi serta komitmen dari pihak swasta menjadi salah satu faktor penting untuk mendorong sinergi multisektor dalam penanganan konflik saat pandemi. Apabila hal tersebut berhasil dioptimalkan, penguatan SDM kemudian menjadi langkah selanjutnya.

“Perihal transparansi informasi dalam proses resolusi konflik juga penting, namun hal ini harus dilakukan sesuai koridor regulasi yang berlaku dan difasilitasi dan dipimpin oleh Pemerintah. Transparansi ini juga seharusnya dilakukan tidak hanya dari pihak swasta, tetapi juga dari para pihak lain yang terlibat dalam proses resolusi sebuah konflik. Transparansi oleh semua pihak yang terlibat akan membantu proses pembelajaran dan peluang yang bisa dibangun ke depannya,” ujar Agus.

Senada dengan Gamma Galudra dan Agus Pranata, Agung Wiyono, Head of Corporate Social & Security APP Sinar Mas menekankan pentingnya penyelesaian konflik untuk dilakukan secara kolaboratif dan multipihak, dengan tetap mengacu pada peraturan.

Hal ini termasuk upaya-upaya inovasi dan adaptasi terhadap situasi pandemi. Pihaknya telah melakukan pemetaan konflik sejak tahun 2014, dimana pemetaan tersebut menghasilkan 6 tipologi konflik, di antaranya: Desa dalam konsesi, Masyarakat adat, Masyarakat pemanfaat sumber daya hutan, Spekulan, Penggunaan areal konsesi secara non-prosedural, dan Tumpang tindih izin.

Selanjutnya, dia mengatakan bahwa konflik-konflik yang terjadi perlu diselesaikan secara kolaboratif, namun tetap mengacu pada peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah.

“Penyelesaian konflik yang tidak mengacu pada peraturan berpotensi menjadi bola liar, contohnya seperti kesepakatan-kesepakatan yang instan yang tidak mempertimbangkan aspek pemberdayaan masyarakat dan keseimbangan lingkungan.” Tegas Agung.

Gamma menambahkan pentingnya peningkatan kapasitas SDM untuk memastikan penanganan konflik lahan secara efektif. “Agar resolusi ataupun kesepakatan yang tercapai tidak memunculkan masalah baru di masa mendatang, perlu adanya penguatan kelompok berupa pengembangan kemampuan dan sharing pengetahuan kepada masyarakat tentang cara pengelolaan hutan dalam pendampingan masyarakat pasca konflik lahan, terutama di masa pandemi; sehingga mereka dapat memiliki kemandirian dan sumber mata pencaharian yang berkelanjutan, Bukan hanya pemerintah dan LSM saja, pihak swasta pun memiliki andil yang cukup besar dalam pendampingan masyarakat pasca konflik” ujarnya.

Dalam mendukung terciptanya sinergi multisektor dalam penanganan konflik lahan, ketiganya turut menekankan pentingnya komitmen damai multipihak.

“Komitmen ini perlu dibangun dengan kesadaran bersama, baik oleh pihak perusahaan, pemerintah, maupun masyarakat, agar konflik tidak menambah dampak negatif secara ekonomi kepada pihak yang terlibat.” tutup Agus.

(rr/Syam)