www.beningpost.com

Bertempat di Manggala Wanabhakti, Pojok Iklim mengadakan diskusi pada 31 Juli 2019 bertajuk “Solusi Perubahan Iklim dalam Secangkir Kopi” hasil kolaborasi dengan The Climate Reality Project yang tahun ini genap 10 tahun berkiprah di Indonesia.

Diskusi yang menghadirkan tiga orang pembicara yakni Pangesti Bernardus, Head of Corporate Communication PT Kapal Api Global, Seniman Pelukis Kopi dari Komunitas Lingkar Rupa, Irma Haryadi dan pegiat agroforestry dari Koperasi Klasik Beans Ilham Faturohman, dipandu oleh Amanda Katili dari Climate Reality Indonesia.

Dalam diskusi tersebut terungkap benang merah bahwa biji kopi adalah jenis komoditas perkebunan yang akan sangat terdampak oleh perubahan  iklim. Sayangnya dalam memenuhi rantai suplai bagi ketersediaannya sebagai bahan baku pokok produksinya sesuai permintaan konsumen, sering kali  perkebunan kopi, dikelola dengan manajemen yang  tidak ramah iklim.

Seperti menggunakan tehnik deforestasi untuk perluasan lahan perkebunan demi memenuhi kapasitas produksi yang diharapkan. Kondisi yang sejatinya meresahkan, jika terus dibiarkan kenikmatan secangkir kopi setiap hari akan tinggal kenangan. 

Agar nusantara tidak mengalami situasi darurat kopi, diperlukan solusi budidaya kopi berkelanjutan berbasis masyarakat yang ramah iklim, dan dapat menjadi salah satu solusi unggulan dalam perbaikan tata kelola lingkungan.

Selain itu kita perlu mengeksplorasi kemungkinan tata kelola lahan kopi dan manajemen rantai suplai terbaik, agar ketersediaan biji kopi, dapat tetap memenuhi kapasitas permintaan kopi nasional dan internasional.

“Kapal Api yang telah dikenal di berbagai pelosok Indonesia selalu mengedepankan produk-produk kopi yang berasal dari berbagai pelosok di Indonesia Indonesia,” demikian diutarakan oleh Pangesti Bernardus.

Menurut Pangesti, selain memiliki perkebunan sendiri di Toraja, berbagai jenis kopi single origin asal Indonesia seperti Luwak Toraja, Kalosi Toraja, Sumatera Mandheling dan Java Arabica khusus disajikan di kafe Excelso sebagai bagian dari gerakan mencintai kopi asli Indonesia, karena dengan demikian akan mengurangi jejak karbon yang dihasilkan dibandingkan ketika kita menikmati secangkir kopi yang berasal dari luar.

Sebagaimana di belahan dunia lain, di Indonesia sejak 2010 sebenarnya juga telah mengenal komoditi berlabel sustainable coffee dan menurut data yang dihimpun sedikitnya terdapat 7% produksi kopi Indonesia yang berlabel sustainable.

Upaya-upaya yang mengarah ke produksi sustainable coffee cukup beragam, mulai dari melakukan penanaman kopi di hutan penyangga yang termasuk dalam kategori agroforestry hingga melakukan penanaman dengan minim, atau tanpa menggunakan pupuk kimia, dan masih banyak lagi.

“Istilah sustainable juga mencakup harga penjualan yang harus adil atau fair trade, dan harus transparan sehingga kesejahteran petani kopi dapat terjamin,” ujar Pangesti.

Dalam diskusi kali ini, juga ditampilkan karya-karya lukisan menggunakan ampas kopi karya Irma Hariyadi dan Komunitas Lingkar yang mencoba untuk turut serta berkampanye dan menggugah masyarakat melalui karya mereka, yang bertujuan mengetuk-tularkan kesadaran dalam memperluas gerakan budidaya kopi berkelanjutan dalam menjaga keberlangsungan kawasan hutan, dengan tetap mempertahankan kualitas kopi di tengah ancaman perubahan iklim yang terus terjadi.

(rr/Syam)