Ilustrasi/medansatu.com

JIKA masih ada ketakutan yang mengkhawatirkan terhadap tumbuh dan berkembangnya kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam hemat saya berlebihan. Kenapa demikian? Beberapa saat lalu isu kebangkitan kembali PKI muncul melalui media massa. Entah berkaitan dengan Pilpres 2014 atau setiap kali memasuki akhir bulan September. Kita sepertinya tak mampu menghapus trauma sejarah kelam bangsa ini, dan akibatnya selalu saja muncul trauma sejarah atas nama ketidaktahuan.

Dinamakan ketidaktahuan karena terbukti banyak pelajar dan mahasiswa Indonesia  tidak paham peristiwa 30 September 1965. Harian Republika (Kamis 1/10/2015) menurunkan headline tentang ketidakmengertian sejumlah pelajar dan mahasiswa Indonesia tentang G30S/PKI 1965. Bahkan beberapa di antaranya tidak tahu kepanjangan kata G30S/PKI itu. Pelajar dan mahasiswa hanya tahu selintas dari pelajaran sejarah di sekolah, dan itu pun sudah lupa lagi.

Ketika sutradara film Arifin C. Noer (alm) memvisualkan G30S/PKI dalam 2 (dua) skuel filmya pada tahun 1990-an, seluruh penonton televisi Indonesia disuguhi adegan-adegan kekerasan bernuansa ideologi palu arit. Kekerasan tersebut dilakukan oleh antek-antek PKI di bawah kepemimpinan DN Aidit dan kawan-kawan. Film yang memperoleh restu pemerintah Orde Baru itu pun akhirnya dihentikan. Bukan semata karena telah muncul beberapa stasiun televisi  swasta di Indonesia melainkan karena film itu terkesan subjektif serta dominan menayangkan kekerasan antek-antek PKI terhadap rakyat.

Alhasil ketika PKI ditumpas tentara, penonton televisi membenarkan tindakan itu. Ketika PKI tidak lagi berdaya lantas diberangus oleh kekuatan rakyat dan tentara, ketika itulah masyarakat digiring pada satu opini bahwa telah terjadi peristiwa paling buram dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Pelakunya adalah PKI, partai yang memiliki kursi cukup banyak pada pemilihan umum 1955.

Namun demikian film yang masih teringat sebagian cerita di benak masyarakat Indonesia itu ternyata diputar di beberapa markas komando resimen militer. Alasannya antara lain untuk menyadarkan masyarakat tentang bahaya laten PKI. Dengan kata lain masih ada ketakutan/ trauma sejarah buram itu, dan guna menangkal kebangkitan kembali partai dengan ideologi komunis itu maka film karya Arifin C. Noer menjadi penting.

Pertanyaannya kemudian apakah pemutaran ulang film Penghianatan PKI dan Penumpasan PKI itu benar-benar signifikan dengan opini masyarakat saat ini? Kedua, di tengah keterbukaan informasi, masihkah masyarakat secara instan menerima asumsi tentang sesuatu hanya berdasar pada satu nara sumber? Ketiga, kenapa hanya kebangkitan kembali PKI yang mesti diwaspadai sementara para pejabat negara masih getol melakukan tindakan korupsi dan menyalahgunakan kekuasaan bagi kepentingan pribadi dan keluarga?

Ironinya, masyarakat yang kritis terhadap negara sama sekali tidak percaya bahwa PKI adalah biang kejahatan pada 1965. Bahkan beberapa pertemuan, nobar film pembunuhan rakyat (yang disinyalir berwatak PKI), diskusi, dan seminar dilakukan demi pengukuhan bahwa PKI hanyalah objek penderita sebagai konsekuensi logis pertarungan internal di tubuh tentara ketika itu. PKI hanya sasaran antara untuk merebut kekuasaan, menjatuhkan Presiden Soekarno dan seterusnya. Revolusi belum selesai, kata Bung Karno. Karena belum selesai maka dibuatlah skenario G30S/PKI 1965.

Aktivis muda dan mahasiswa pun mendatangkan orang yang peduli atas korban tindakan kekerasan tentara terhadap orang/ keluarga yang di-PKI-kan. Ia sangat respek kepada orang PKI, utamanya di Jawa. Ia siap datang dan menemui korban atau keluarga dan keturunannya lantas menuliskan kisah kekerasan tentara ketika itu di media sosial. Yang menarik, dia memperoleh respon bagus di kalangan terpelajar. Konon ia pun sempat mempresentasikan para korban PKI dan yang di-PKI-kan oleh tentara pada sebuah pertemuan budaya internasional di Berlin awal tahun 2015 ini.

Kontroversi

Permintaan maaf pemerintah Indonesia kepada korban/ keluarga/ keturunan PKI pun menuai kontroversi. Sebenarnya Presiden Gus Dur sudah memulihkan hak-hak politik keluarga/ keturunan PKI. Konon PKI sendiri tidak pernah meminta maaf kepada korban masyarakat sipil pada 1965, terlebih kepada bangsa dan negara. Sebenarnya pula masyarakat kini tidak pusing benar dengan fakta sejarah, karena yang selalu muncul di benak dan pikiran masyarakat adalah terjangkaunya harga kebutuhan hidup, biaya sekolah yang murah dan tidak membebani orang tua, biaya kesehatan secara gratis (bukan sejenis asuransi BPJS) dan kemudahan memperoleh pelayanan publik melalui ketersediaan sarana publik yang tidak saja ada di kota-kota.

Bahwa peristiwa 1965 masih kontroversi dan buram, saya piker tidak perlu dikhawatirkan kebangkitan kembali PKI. PKI hanya satu hal, sementara akar persoalan yang krusial di Indonesia tidak lain ialah kemiskinan dan ketidakadilan. Artinya jikalau dua hal tadi (kemiskinan dan ketidakadilan) masih berlangsung di Indonesia maka bukan hanya PKI yang akan bangkit. Melainkan juga  aktivis muda gerakan Islam yang sebagian di antaranya dikategorikan teroris. Mereka yang kerap membuat ulah di Poso Sulawesi Tengah, dan beberapa tempat lain di Indonesia sepertinya memperoleh ruang dan kesempatan menunjukkan paham ideology berdasarkan konsep khilafah islamiyah.

Bisa pula sebagian LSM yang didanai luar negeri yang kerap mengabarkan (secara tertulis) keburukan pemerintah Indonesia kepada foundingnya. Pertemuan LSM yang digelar di hotel berbintang berhari-hari bukan hal aneh lagi sejak 1998. Agaknya Indonesia merupakan negara yang empuk untuk diharubiru dan dilemahkan. Kekayaan sumber daya alam yang luar biasa menyebabkan tumbuh dan berkembangnya kepentingan asing di Indonesia. Dengan kata lain jikalau pemerintahnya lemah dan warga masyarakatnya terprovokasi untuk saling tikam sesama, baik dalam hal pemikiran maupun ideologi maka dengan mudah bangsa asing “menekuk” Indonesia.

Tentu saja kita tidak ingin menjadi bangsa yang mudah diperlakukan apa saja oleh negara-negara besar. Hubungan bilateral atau multilateral yang dibina berasas bebas dan bertanggung jawab, tidak memasuki “dapur” rumah tangga negara lain, non blok, netral namun berkarakter Indonesia ~seharusnya dibangkitkan kembali. Pemulihan sikap bersahabat dalam kerjasama luar negeri pun kiranya tidak semata-mata di bawah kekuasaan dan kekuatan negara-negara besar. Kontrak karya menyangkut eksploatasi kekayaan tambang dan mineral Indonesia oleh perusahaan asing seharusnya dikaji ulang dan kita sebagai pemilik harta kekayaan itu harus memperoleh bagian yang lebih besar.

Masih banyak pekerjaan besar yang mesti segera ditangani pemerintah, bukan meminta maaf kepada keluarga/ keturunan PKI.***

(rr/DK)