itoday.co.id

Reinkarnasi demokrasi lokal yang salah satunya diejawantahkan ke dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), dari era ke era terus mengalami fase yang sangat dinamis. Jika pada era Orde Baru, rakyat di dearah dipaksa tunduk terhadap mekanisme pemilihan yang nirdemokratis. Kini, rakyat diminta haknya secara langsung untuk memilih pemimpinnya dalam bentuk Pilkada serentak yang dibagi pada beberapa tahapan mulai tahun 2015, 2017, dan 2018.

Sebagai penjelmaan demokrasi, Pilkada tentu memiliki tujuan sakral agar proses pelaksanaannya dapat dijalankan secara demokratis. Namun permasalahan dalam Pilkada tetap masih menghantui, baik pra dan pasca pelaksanaannya. Hipotesa itu, salah satunya dapat dilacak dari Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) 2015 hasil kajian Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang terdiri dari; 1). Profesionalitas penyelenggara; 2). Politik uang; 3). Akses pengawasan; 4). Partisipasi masyarakat; dan 5). Kondisi keamanan.

Selain bentuk item konflik di atas, potensi masalah Pilkada serentak juga dapat dipetakan ke dalam dua faktor. Pertama, sempitnya waktu pengajuan permohonan sengketa. Di dalam Pasal 157 ayat (5) Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi (MK), batasan waktu pengajuan permohonan sengketa adalah 3 x 24 jam sejak diumumkan penetapan perolehan suara hasil pemilihan oleh KPU daerah. Bagi pelaksanaan Pilkada di daerah berkemajuan dengan akses transportasi dan fasilitas memadai bukan menjadi soal, namun bagi daerah yang minim akses transportasi jelas menjadi problem serius dengan rentang waktu yang limitatif tersebut. Karena sangat mungkin, daerah-daerah di luar Jawa untuk dapat menjangkau Jakarta yang merupakan home base MK memerlukan waktu lebih dari 3 x 24 jam yang disebabkan sulitnya sarana dan prasarana di daerah tersebut.

Karena itu, merupakan kewajiban untuk meninjau ulang atas ketentuan tersebut. Peninjuan ini ditujukan pada kemungkinan untuk memberikan pengecualian bagi daerah terisolir dengan memberikan tambahan waktu yang ideal dalam mengajukan permohonan pengajuan sengketa. Solusi lain yang dapat ditempuh, adalah dengan segera merealisasikan pengadilan khusus pemilu yang berada di bawah payung Mahkamah Agung (MA) atau Mahkamah Konstitusi (MK) dan dapat membuat perwakilannya di sejumlah provinsi sebagaimana pengadilan tindak pidana korupsi. Mengingat penyeleseaian sengketa Pilkada serentak masih dilekatkan pada MK, maka solusi kedua bisa dijadikan cara antisipatif jangka panjang untuk masa Pilkada serentak mendatang. 

Kedua, payung hukum yang tidak berwibawa, tidak berfungsi dan tidak dihormati. Pasal 47 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tidak menegaskan larangan bagi warga untuk menerima uang atau imbalan. Pasal tersebut hanya mengatur larangan bagi pemberinya. Hal ini berbeda dengan ketentuan Pasal 86 ayat 1 huruf (j) UU No. 8 tahun 2012 tentang Pemilu yang tegas melarang peserta pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye pemilu. Tidak adanya ketegasan dalam regulasi, dikhawatirkan akan menjadi legitimasi para kandidat Pilkada untuk melanggengkan praktik money politics.

Bahkan, munculnya kesepakatan dalam rapat anggota DPR tempo hari, yang melegalkan pemberian uang walaupun dengan jumlah di bawah Rp. 50.000 justru semakin mendegradasi makna demokrasi. Persoalannya bukan kecil besarnya nominal rupiah yang diberikan, namun dalam demokrasi yang harus menjadi konsensus dan komitmen pengimplementasian nilai kejujuran dan keadilan (fairness). Kondisi itu, tentu mengharuskan penegak hukum untuk tidak menggunakan kacamata normatif, dalam arti dikarenakan regulasinya tidak mengatur sanksi bagi pemberi uang maka kemudian dibiarkan bebas dan tidak diberikan sanksi. Penegak hukum wajib mengacu pada kerangka substansif yang dicitakan dalam Pilkada demokratis, yaitu dalam prosesnya harus dijalankan dengan jujur dan bersih dari money politics. Dengan demikian, baik pemberi dan penerima kapasitasnya sama untuk dapat diberikan sanksi. Keduanya merupakan hubungan kausalitas yang saling berkaitan sehingga perlu ditindak secara bersamaan.

Ketiga, karena Pilkada dilaksanakan serentak, maka kekhawatiran yang muncul adalah perkara yang masuk ke MK akan meningkat 100%. Akibatnya, hakim di MK yang jumlahnya hanya 9 orang akan kewalahan dalam menangani sengketa Pilkada. Padahal, sebagaimana diatur dalam undang-undang dan hukum acara di MK, bahwa sengketa hasil Pilkada penyelesaiannya dibatasi oleh waktu, yaitu hanya 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya permohonan (vide Pasal 157 ayat (5) UU Nomor 8 Tahun 2015). Atas hal itu, maka dikhawatirkan timbulnya “copy paste” putusan. Sebagai bentuk antisipasi, MK harus membangun koordinasi dan komunikasi secara intensif dengan KPU, Bawaslu dan kandidat calon Kepala Daerah bahwa tidak semua persoalan dari hasil Pilkada dapat diajukan ke MK. Karena rezim peraturan Pilkada serentak ini memiliki karakter berbeda dibanding dengan rezim regulasi sebelumnya.

Karakteristiknya adalah adanya filter pengajuan permohonan sengketa Pilkada yang diatur di dalam Pasal 158 UU No. 8 Tahun 2015. Di dalamnya mensyaratkan hanya persentase selisih suara tertentu yang dapat diajukan ke MK. Hal ini misalnya dapat dilihat untuk pengajuan permohonan pembatalan penetapan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur. Permohonan yang dapat diajukan adalah jika terdapat perbedaan suara paling banyak sebesar 2% untuk jumlah penduduk yang sampai dengan dua juta jiwa. Jika dimensi ini dapat dipahamkan dan dipahami, maka MK nantinya tidak kebanjiran perkara atas hasil Pilkada serentak, melainkan MK hanya akan menerima permohonan sengketa Pilkada yang telah terfilterisasi tersebut. 

Di atas segalanya, tentu masih banyak akar persoalan lain yang berkelindan dalam Pilkada serentak. Karena itu, pencegahan bisa dimulai dengan menghapus atau merevisi regulasi yang mengundang kontroversi. Tidak kalah berat dan pentingnya, untuk berperan mengantisipasinya juga harus dilaksanakan oleh semua pihak. Jika keduanya dapat dilakukan secara beriringan, maka cita Pilkada serentak sebagai bagian pelaksanaan demokrasi tidak mustahil dapat terwujud dengan damai.***

(rr/AR)