Ilustrasi/indoprogress.com

BELUM lama ini saya mendapat pesan singkat melalui media whatsapp. Isinya : Saya ingin Kang Dadang jadi nara sumber. Pesan sebelumnya membicarakan tentang kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI). Katanya belum lama ini telah berlangsung seminar di Jakarta menyoal kebangkitan PKI. Saya tidak tahu kenapa kerap dianggap teman-teman mengetahui gerakan PKI. Padahal ketika terjadi peristiwa gelap 1965 usia saya baru 2 (dua) tahun. Faktanya teman-teman mahasiswa pernah mengundang saya sebagai pembicara pada persoalan yang kurang disukai tentara ini. Tahun 2010 yang lalu saya menceritakan masalah PKI melalui data lisan yang diperoleh secara langsung dari korban PKI 1965. Cerita tersebut saya sampaikan pada diskusi sehari yang diselenggarakan sebuah kampus di Kota Cirebon.

Kepada teman pengirim pesan via whatsapp itu saya menulis, “Pemerintah Indonesia yang lemah sejak 1998 memberi ruang bagi kebangkitan PKI. Cara yang dilakukan pemerintah ialah membiarkan setiap pergerakan ideologi apa pun di Indonesia, lantaran takut dicap tidak mendukung reformasi”. Tentu saja karena lemahnya pengawasan tentang penguatan serta tumbuh dan berkembangnya ideologi di luar Pancasila, maka ruang yang tersedia itu diisi oleh paham/ ideologi yang pernah dicobapaksakan dominan untuk berkuasa di Indonesia.

Selain ideologi Komnunis, ajaran Islam pun pernah dicobapaksakan oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo. Sejarah Indonesia mencatatnya dengan istilah Pemberontakan Darul Islam (DI) yang diketengahkan sebagai protes terhadap persetujuan pemerintahan Soekarno terhadap isi Perjanjian Roem van Royen. Pada perjanjian itu Tentara Indonesia (saat itu bernama Barisan Keamanan Rakyat/ BKR) harus hijrah ke Yogyakarta seiring pemindahan lokasi ibu kota negara.

Dengan kata lain pemerintahan Indonesia sudah cukup kenyang dengan pemberontakan atas nama ideologi selain Pancasila. Terlebih dengan berkembangnya pemahaman khilafah/ kepemimpinan ala Islam yang agaknya cukup diminati anak-anak muda hingga melahirkan beberapa nama teroris.

Di abad teknologi informasi saat ini, menurut seorang kawan di Tangerang, perang yang menakutkan adalah perang tanpa mengerahkan tentara. Penyebarluasan paham di luar Pancasila leluasa masuk ke ruang privat setiap saat. Perang tanpa pengerahan tentara juga dapat dikatakan sebagai proxy war, misalnya korupsi, manipulasi, ketidaktegasan aparat keamanan, otonomi daerah yang membabi buta, dan sebagainya ~itulah yang mengawali pecah belah sebuah Negara. Uni Sovyet saja pecah menjadi beberapa negara merdeka. Kondisi ini semakin parah dengan adanya upaya pengrusakan ideologi kebangsaan. Pada proses ini sesama anak bangsa saling bertikai dan menikamkan senjata tajam.

Hal kedua pada proxy war adalah permainan negara besar dalam “balkanisasi” Indonesia melalui dukungan separatis dalam negeri. Istilah balkan merujuk pada peristiwa perih Bosnia Herzegovina pada tahun 1990 lalu. Negeri Yusgoslavia di Eropa Timur yang damai dikerat dan pecah jadi beberapa Negara yang diawali oleh perang sesama saudara. Sangat mungkin negara-negara besar berkepentingan mengecilkan luas wilayah Indonesia. Kekayaan alam sebagai primadona yang mencengangkan menjadi alas an bagi berlangsungnya proxy war di Indonesia.

Mbalelo

Dengan demikian manakala kemiskinan dan ketidakadilan merajalela, maka bukan saja PKI yang akan bangkit. Melainkan juga aliran-aliran ekstrem berbaju agama pun akan bangkit. Sepertinya ruang terbuka itu kian menganga sehingga mudah dimasuki paham lain yang berseberangan dengan ideology yang telah disepakati para pendiri  tatkala merumuskan konsep ideologi yang pas di wilayah Nusantara.

Jikalau kini muncul ketakutan psikis atas peluang kebangkitan PKI sebenarnya yang patut diwaspadai adalah akar persoalan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya ideologi selain Pancasila. Sebagiamana tertulis di atas, kemiskinan dan ketidakadilan dapat menjadi pemicu kebangkitan paham-paham lain, yang celakanya apabila kebangkitan itu didanai oleh negara-negara besar yang berkepentingan bagi pelemahan NKRI.

Selain itu bisa juga masalah otonomi daerah ketika daerah berpenghasilan subur menolak pembagian hasil kekayaannya berdasar keputusan pemerintah pusat. Pemberlakuan otonomi daerah yang tidak tepat pada akhirnya memberi kesempatan kepala-kepala daerah untuk mbalelo terhadap Jakarta. Dengan alasan membangun daerah sendiri dengan kekayaan sendiri serta tidak harus patuh kepada pemerintah pusat. Alasan lain ialah ketidakmerataan pembangunan fisik di daerah. Jakarta terus dibangun dan dilengkapi dengan berbagai fasilitas modern, sementara daerah (sebagai lumbung kekayaan) dibiarkan meratapi nasibnya sendiri.

Kuncinya ialah ketidakadilan yang diam-diam terjadi pada negeri yang dikategorikan demokratis. Ketika ketidakadilan menguat ketika itulah proses pelemahan bangsa berlangsung dengan sendirinya. Dan ketika kemiskinan masih mendekap kehidupan rakyat banyak ketika itulah ketidakpercayaan atas kepemimpinan (yang demokratis) akan melemah dan berakibat pada pencarian bentuk pemerintahan baru serta kemungkinan menerapkan ideologi lain. Pada kondisi ini maka diam-diam negara lah yang membuka peluang proxy war tanpa disadari. Sesama rakyat berkelahi untuk kleuar dari keadaan yang tidak dikehendaki.

Perang tanpa tentara dengan beberapa indikasi yang tertera di atas merupakan perang demi memenangkan kepentingan. Kepentingan itu bukan semata berwujud idelogi, melainkan juga ekonomi dan balkanisasi.

Untuk lepas dari kemungkinan dan peluang proxy war, tidak ada kata lain kecuali penguatan kembali paham kebangsaan. Paham keindonesiaan yang utuh. Menjadi Indonesia yang lebih baik, kiranya bukan sekadar jargon yang diterakan pada sebuah media anak-anak muda yang memiliki wawasan kebangsaan meski mereka lihay berhubungan dengan orang asing dalam dunia usaha. Menjadi Indonesia yang lebih baik, menuju Indonesia yang berkeadilan dan sejahtera pada akhirnya menyentakkan kesadaran kita pada pentingnya merangkai keberbedaan dalam satu kesatuan. Langkah penting ke arah sana ialah menutup peluang atas kemunculan proxy war, perang tanpa pengerahan tentara.***

(rr/DK)