Ilustrasi/www.emaze.com

Genosida, barangkali telah menjelma menjadi sebuah kata yang mewakili kengerian atau gambaran tentang kekejaman yang menimbulkan kemusnahan bagi suatu kaum atau golongan tertentu di muka bumi. Sepanjang sejarah peradaban manusia, bahkan mungkin sebelum kata ini bisa ditemukan dalam kamus, praktik pemusnahan massal telah terjadi di seantero jagat. Entah mengapa, genosida selalu bisa dibayangkan berjalin-kelindan dengan sesuatu yang disebut kekuasaan. Apalagi ketika kekuasaan menjelma menjadi mesin penggilas nyawa mereka yang dianggap musuh oleh sebab perbedaan ideologi.

Genosida mungkin juga adalah suatu jalan untuk mengamankan diri bagi sebuah kekuasaan yang takut. Maka, atas nama stabilitas yang dibutuhkan bagi berjalannya kekuasaan, segala jalan bisa ditempuh termasuk menggilas hingga lenyap segala perbedaan yang mengancam. Dalam kata lain, harus ada yang bisa dijadikan korban demi terjaganya sebuah tatanan yang stabil dalam kekuasaan. 

Keyakinan akan perlunya korban ini pula yang mungkin telah mendorong JP Coen, sang pendiri Batavia, melakukan pemusnahan atas penduduk Pulau Banda sejak 8 hingga 11 Maret 1621. Korban yang tidak sempat dicatat baik nama maupun jumlahnya seakan menunjukkan secara telanjang bahwa di bawah kekuasaan yang menindas, rakyat kecil memang tidak punya harga, karena itu tidak perlu dicatat dalam buku besar sejarah. Hal yang sama terjadi ketika HW Daendels memerintahkan pembangunan jalan raya pos dari Anyer sampai Panarukan. Tidak terhitung berapa jumlah korban yang darahnya ditumpahkan dan nyawanya melayang demi membangun sebuah jalan raya bagi lenggengnya kekuasaan kompeni di tanah Jawa dan di nusantara.

Namun, kedua genosida yang dituturkan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jalan Raya Pos, Jalan Daendels, bersama beberapa peristiwa serupa seperti yang dilakukan Westerling di Sulawesi, kemudian terulang pada periode sejarah yang lain, yakni peralihan kekuasaan dari Orde Lama ke Orde Baru. Bermula pada September 1965, hingga bertahun-tahun sesudahnya, genosida entah langsung maupun tidak langsung atas nama kekuasaan yang takut pada perbedaan itu dilakukan secara sistematis dan didukung oleh hampir seluruh perangkat kekuasaan. 

Perlu disadari bahwa genosida yang terjadi sejak 1965 adalah juga sebuah harga yang harus dibayar untuk melanggengkan proses bergesernya negara ini dari sebuah negara yang oleh Soekarno dijadikan ujung tombak di antara negara-negara Asia Afrika menjadi sebuah negara yang tunduk pada kapitalisme gaya barat. Dari sinilah bermula sebuah penjajahan gaya baru yang dijalankan oleh penguasa ekonomi dari barat dengan memanfaatkan tangan orang-orang Indonesia sendiri. Alhasil, Indonesia yang oleh Sukarno hendak dijadikan bangsa pelopor di antara sekian banyak bangsa bekas jajahan Barat, di tangan Suharto dialihkan menjadi bangsa yang hanya bisa tunduk pada jerat hutang luar negeri. Jerat yang darinya tidak mungkin bangsa ini membebaskan diri, bahkan mungkin sampai kiamat, atau kelak di dunia akhirat, dalam anggapan Pram.

Semua itu adalah harga yang harus dibayar untuk membawa bangsa ini melakukan sebuah proses yang disebut pembangunan. Seperti pembangunan jalan raya pos pada masa Daendels yang menelan ribuan nyawa kaum pribumi, pembangunan ala Orde Baru Soeharto juga menelan korban yang tidak kalah banyak jumlahnya. Mereka yang dianggap anggota PKI, Lekra, BTI, Gerwani, bahkan mereka yang hanya dicurigai bersimpati pada PKI pun turut diseret menjadi tumbal pergantian kekuasaan yang berlangsung di Jakarta. Bangsa ini harus membayar kemajuan ala barat bukan saja dengan kekayaan alamnya yang berlimpah ruah, tetapi juga dengan nyawa jutaan rakyatnya sendiri.           

Apa yang diceritakan kemudian ialah keberhasilan-keberhasilan yang diraih dalam tahun-tahun panjang proses pembangunan. Sementara mereka yang digilas dan dihancurkan tidak pernah sekalipun disebut dalam buku besar sejarah Indonesia selama 32 tahun masa kekuasaan Soeharto. Kenangan akan mereka pun dialihkan menjadi perayaan akan kejayaan para pemenang yang saban hari direproduksi lewat film yang wajib ditayangkan setiap tahun pada tanggal 1 Oktober.

Lewat reproduksi yang sistematis dan disponsori negara itu, pertanyaan tentang genosida yang terjadi pasca 30 September 1965 dibungkam, bahkan tidak diizinkan hadir dalam benak rakyat Indonesia. Apa yang terjadi kemudian memang tidak perlu dipertanyakan, tetapi harus diterima sebagai sebuah kewajaran belaka. Dalam Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pram sebagai tahanan politik di Pulau Buru mencatat sebuah surat yang dikirimkan Soeharto selaku presiden RI pada tahun 1973 kepadanya. Di dalam surat itu sang presiden dengan jelas menulis demikian, “kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar, namun kewajaran itu harus pula ada kelanjutannya yang wajar.”

Ya, apa yang terjadi dan menimpa ribuan anggota dan simpatisan PKI termasuk orang-orang macam Pram adalah sebuah kewajaran yang mesti diterima dan dijalani sebagai kelanjutan dari kesalahan yang telah mereka perbuat sebagai manusia. Persoalannya ialah apakah pembantaian lebih dari setengah juta rakyat Indonesia, dan penahanan tanpa proses pengadilan ribuan orang lainnya masih dapat dianggap sebagai sesuatu yang wajar? Bukankah kewajaran jenis ini harusnya mencederai akal sehat makhluk yang bernama manusia?

Di sini kelihatan bahwa apa yang disebut dengan istilah genosida tidak saja menyangkut pembunuhan yang langsung menghilangkan nyawa orang lain. Genosida juga bisa terjadi secara tidak langsung melalui pembunuhan karakter dan penghilangan semangat hidup orang lain lewat teror dan represi terus menerus. Orang digiring untuk menerima represi yang dihadirkan negara sebagai sebuah kewajaran, serentak dihilangkan secara perlahan kesadaran kritisnya sebagai manusia. Pada titik tertentu, upaya ini akan menghasilkan manusia-manusia yang bisa secara objektif menerima penindasan yang mereka alami sebagai sebuah kewajaran belaka. Kehilangan kesadaran kritis berarti kehilangan pilihan untuk melawan. Manusia ditundukkan dan kekuasaan yang menindas itu terus berjaya di atas dasar kebohongan dan ketakutan.

Apa yang terjadi sepanjang sejarah dunia, termasuk sejarah bangsa ini adalah sebuah cermin yang selalu bisa dipakai untuk berkaca tentang masa kini dan masa depan. Kesalahan-kesalahan sejarah terlebih upaya saling mengorbankan sesama anak bangsa entah secara gamblang maupun secara halus dan tersamar, tidak perlu dan tidak harus terus diulangi. Sejarah adalah medan yang darinya kita belajar untuk dengan berani mengakui secara jujur setiap kekhilafan, melihat dengan jelas setiap luka dan membalut dengan gigih setiap luka yang pernah mencederai bangsa ini.

Ketika September beralih menjadi Oktober dan kenangan akan luka-luka bangsa ini kembali dirayakan, kita tidak sedang bertanya tentang siapa yang menang atau kalah, melainkan apa yang benar dan apa yang salah, apa yang adil dan apa yang tidak adil bagi anak-anak bangsa ini. Sebab nilai masa depan anak-anak bangsa besar ini tidak akan ditentukan semata-mata oleh persoalan menang atau kalah, melainkan oleh persoalan yang lebih mendasar yakni kebenaran dan keadian, sebagai pegangan untuk menenun hari esok yang lebih baik bagi bangsa ini di hadapan bangsa-bangsa lain di bawah kolong langit.***

(rr/AF)