www.jawapos.com

SEPI menjadi teman setia seseorang yang kehilangan atas segala apa yang dicintai, yang disukai. Sepi pun semakin berarti manakala gejolak batin meruyak lantas memanggilnya untuk berkata-kata. Meskipun kata-kata itu untuk dirinya sendiri. Mengoyak sepi ke tengah keriuhan tak pelak menjadikan seseorang kian tak paham akan arti eksistensi. Di tengah keriuhan itu sepi bertaut dengan sejumlah tanya. Bahkan ia pun tak tahu kenapa ia terjebak dalam sepi.

Dapat dibayangkan seorang perempuan desa yang biasa mengirim serantang nasi berikut lauk pauk kepada ayahnya di sawah atau pematang, tiba-tiba ditarik paksa tentara Jepang. Perempuan desa berkain kebaya itu lantas dinaikkan ke atas jeep pasukan Jepang lalu di tangsi militer mereka dipaksa untuk menjadi budak nafsu birahi. Tentu saja ia menjadi sepi seperti raung kereta api yang meninggalkan stasiun. Jugun Ianfu menjadi kisah tersendiri yang menuangkan sepi bergerak menuntut kepatutan atas nasib.

Catatan kecil atas Manuskrip Sepi, antologi puisi karya Nissa Rengganis, adalah catatan terbalik bahwa di balik sepi tersimpan kegaduhan. Bercanda dengan sepi merangkai kata dari sunyi menjadi gejolak, menjadi gaduh. Orang-orang-orang tersingkir yang sunyi, sepi, seketika jadi beriak dan memaknakan sesuatu. Bisa saja ia adalah seorang jugun ianfu, perempuan di negeri terjajah pasukan Jepang pada Perang Dunia II yang dipaksa melayani sahwat tentara Jepang. Bisa pula ia adalah seorang perempuan sepi di Darfur yang koyak oleh perang sementara ia meragukan do`a yang dipanjatkan kepada Tuhan.

Membaca Manuskrip Sepi yang diberikan langsung dari tangan penyairnya, Nisa Rengganis, saya menemukan sejumlah sepi yang dialami oleh dan atas nama “nasib” yang tak bertuan. Sepi yang digiring dan tak sengaja memenjarakan pelakunya pada sebuah suasana batin yang samasekali tidak dikehendaki. Pasti tak seorang perempuan pun mau menjadi jugun ianfu atau inong bale di Aceh (dulu). Dan tak seorang pun mau ditinggal mati oleh ibunya kemudian masuk ke dalam sepi yang tidak bisa dihindari. Juga tidak ada yang ingin kawan karibnya mati oleh timah panas petugas negara yang mengoyak kepalanya  ketika berdemo pada Mei 1998.

Nisa Rengganis, menulis sajak (Mei, Api, Trisakti) itu dengan analogi tujuh putaran gagak. Gagak yang kerap dimaknai pertanda akan ada sebuah kematian. Lalu sepi pun datang. Pada sajak pendek bertajuk Mei, Api, Trisakti sang penyair melukiskan kerinduan ibu kepada anaknya yang turut berdemo. Namun sang anak tak pulang-pulang hingga sekarang. Bahkan tujuh putaran gagak yang mengitari rumah menjeritkan sepi (halaman 42).

Saya mungkin termasuk berutung menikmati puisi-puisi serius yang ditulis Nisa Rengganis. Tak sengaja berjumpa pada sebuah acara di Cirebon awal September 2015 ia memberikan antologi puisi Manuskrip Sepi. Tentu saja saya  menerima antologi itu dengan gembira. Terlebih ketika saat itu juga baru tahu bahwa Nisa Rengganis adalah putri dari salah seorang kawan lama yang pernah sama-sama berada dalam organisasi Pelajar Islam Indonesia (PII) Kota Cirebon pada tahun 1980-an. Akan tetapi bukan lantaran kekerabatan dengan ayahnya semata, melainkan antologi setebal 89 halaman + vi ini memang layak untuk dibincangkan. Secara sastra Manuskrip Sepi menggambarkan betapa indahnya sepi pada saat kerinduan atas sesuatu tak tergapai, atau pada saat terjerat pada situasi buruk yang tak dikehendaki. Sepi akhirnya menjadi bagian cukup indah yang dapat dinikmati.

Renungan Sepi

Kekuatan kata, kemampuan merangkai kata dan meraciknya menjadi sajak bebas yang tidak harus patuh pada sejumlah aturan persajakan ~merupakan pilihan yang paling digemari penyair muda. Justru di sinilah kelebihan Nisa Rengganis menuangkan sepi menjadi secawan kopi nikmat di pagi hari. Menuang sepi menjadi gaduh dan riuh sangat bergantung pada kondisi yang tercipta atas sepi itu sendiri.

Membaca link http://www.jawapos.com/read/2015/09/09/3238/manuskrip-sepi-terpilih-sebagai-5-buku-puisi-indonesia-terbaik- sudah cukup menjelaskan kedudukan antologi puisi karya penyair perempuan asal Cirebon ini dari tahun 2009 hingga 2015. Sebanyak 49 puisi yang terhimpun dalam Manuskrip Sepi mengajak pembaca dan penikmat sastra untuk merenung atas sebuah sepi yang pasti pernah melanda setiap orang.

Kumpulan puisi ini berhasil mengumpulkan sepi dalam berbagai kondisi jiwa subjek yang dituliskannya. Dari seorang seorang nelayan pantai utara yang sepi memandang dermaga, kapal tua, dan gudang (halaman 7); perempuan pesisir tua (halaman 9); romusha (halaman 55); hingga perjalanan (halaman 80) yang memantulkan wajahmu yang cemas/ perihal nasib yang dingin/ dan tak kenal arah angin –Nisa berhasil menuangkan sepi. Sepi yang dialami oleh siapa pun adalah sepi yang mendendangkan kidung nyeri, mungkin luka, atau darah dan air mata. Sepi menjadi penguat dan penanda bahwa kehidupan sebenarnya ada.

Adanya kehidupan itulah yang memungkinkan setiap orang tak terelak dari sepi. Dengan sepi puisi, lagu, prosa dan karya sastra lain akan tetap hadir menjadi sebuah tema pilihan yang bagus. Kekuatan Nisa merangkai sepi pada antologi ini merupakan ketaklaziman penyair menuliskan puisi bergenre psikis (pinjam Oka Rusmini mengomentari Manuskrip Sepi). Namun demikian ketidaklaziman itulah yang menempatkan Nisa Rengganis sebagai penyair yang kritis terhadap hidup sebagai perempuan.

Di atas telah ditulis serba sekilas tentang sepi seorang jugun ianfu, juga seorang ibu yang menunggu anaknya pulang dari berdemo Trisakti pada 1998, atau juga perempuan-perempuan plaza de mayo (halaman 25), dan perempuan-perempuan lain yang merenungi nasibnya. Nasib yang diam-diam mendampingi keseharian sehingga hanya dengan menenggelamkan pada sepi maka nasib tidak selamanya menjadi hujatan. Nasib tidak semata-mata jadi pemicu utama sepi. Bukankah Jepang setelah memenangkan Perang Asia Timur Raya lalu sibuk jadi peserta Perang Dunia II sebenarnya telah direncanakan oleh petinggi Jepang demi menguasai dunia.

Nasibkah namanya jikalau aneksasi Jepang ke negeri-negeri Asia (termasuk Indonesia) menciptakan jugun ianfu dan romusha? Nasib jugakah apabila di tengh riuhnya Perang Dunia II, seorang perempuan terpenjara dalam sepi karena ia dipaksa menjadi jugun ianfu? Atau seorang lelaki sederhana menjadi pekerja romusha dengan segenap sepinya? Bagi saya antologi puisi Manuskrip Sepi karya Nisa Rengganis memalingkan persepsi sebelumnya bahwa sastra di Cirebon ternyata tidak sepi.***

(rr/DK)