www.merdeka.com

BERITA basi sebenarnya jikalau anggota DPR RI bepergian ke luar negeri dengan alasan kunjungan kerja. Kendati disorot berbagai kalangan, DPR tetap saja melakukan perjalanan ke luar negeri. Awal September tahun 2015 ini sebagian anggota Komisi III DPR melakukan studi banding hukum adat ke Inggris. Beberapa pihak yang ditemui seperti LSM Amnesty International dosen Oxford University. Hal ini disayangkan karena DPR tidak bertemu dengan pembuat kebijakan hukum setempat.

Ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono mengomentari, sangat disayangkan di era reformasi ini ternyata DPR masih belum bisa lepas dari konservatisme legislasi yaitu sekadar melestarikan kebiasaan pembentukan UU yang sudah ada yang terbukti tidak efisien, kondisi ini ditandai dengan ciri target pembentukan UU tinggi namun kebanyakan gagal terselesaikan karena proses pembentukannya berlarut-larut dan tidak efisien. Ia pun mengatakan kunjungan DPR kali ini merupakan sebuah langkah pemborosan anggaran negara dalam merumuskan RUU KUHP. DPR harusnya mencontoh Mahkamah Konstitusi (MK) yang menggelar teleconference saat mendengar keterangan ahli dari berbagi negara seperti Prof Philip Alston dari New York University, Amerika Serikat, Prof Jeffrey Fagan dari Columbia University, Amerika Serikat, dan Prof William A Schabas dari Leiiden University, Belanda. 

Doktor yang melakukan riset disertasi terhadap 400-an UU pascareformasi itu menyayangkan perjlanan anggota Komisi III DPR RI ke Inggris. Menurutnya perjalanan tersebut adalah pemborosan anggaran dan kunjungan kerja itu dapat diubah melalui cara teleconference, konferensi jarak jauh menggunakan teknologi komunikasi. Ia mengatakan, "Meskipun hanya melalui fasilitas teleconference namun pendapat ahli-ahli asing tersebut dapat didengar secara jelas dalam sidang yang terbuka untuk umum dan akhirnya bersama dengan pendapat ahli dari dalam negeri sangat mempengaruhi hasil akhir putusan MK."

Sembilan orang yang bertolak ke Inggris pada akhir Agustus 2015 itu adalah Aziz Syamsuddin (Partai Golkar), John Kennedy Aziz (Partai Golkar), Dwi Ria Latifa (PDIP), Iwan Kurniawan (Gerindra), Didik Mukriyanto (PD), Daeng Muhammad (PAN), Nassir Djamil (PKS), Bahrudin Nasori (PKB) dan Arsul Sani (PPP). Mereka mengaku mempelajari hukum adat yang berkembang di Inggris. Padahal, Bapak Hukum Adat, Cornelis van Vollenhoven berasal dari Belanda yang belajar hukum adat dari Indonesia.

Inggris dinilai tidak tepat karena hukum adat Indonesia lebih beragam. Selain itu, RUU KUHP juga bernuansa budaya ketimuran seperti anti kumpul kebo, kriminalisasi santet hingga larangan seks liar bagi suami istri. Sedangkan Inggris membolehkan kumpul kebo.

Namun demkikian Komisi III berpendapat ingin mengetahui perspektif hukum pidana yang lebih luas, tidak hanya Belanda atau Eropa kontinental tapi juga perkembangan di sistem Anglo-Saxon. Ini alasan yang mengada-ada. Seingat saya kunjungan kerja DPR ke luar negeri tidak efektif dan sama sekali tidak membuahkan hasil maksimal. Yang ada hanyalah bepergian untuk pakansi/ plesir ke negeri orang sebagai wisatawan yang diongkosi rakyat. Pertemuan dan pembahasan dengan objek yang dikunjungi tak kurang dari 4 (empat) jam. Selebihnya adalah jalan-jalan dan belanja, karena anggota DPR itu memperoleh uang saku dari anggaran yang telah disediakan. Tak lupa juga berfoto selfie di lokasi wisata negeri-negeri yang dikunjungi.

Boleh jadi Big Ben terpilih sebagai objek berfoto diri untuk seterusnya menjadi kebanggaan yang aka diperlihatkan melalui medsos. Atau Wesminter Palace, Tower Brigde di atas Sungai Thames, London Eye, Madame Tussaudes London dan sebagainya. Sementara hasil yang diperoleh dari kunker ke Inggris terkendala oleh kemampuan berbahasa Inggris para anggota DPR itu. Jangankan untuk menelaah atau mengkaji sistem hukum adat di sana, bukankah kemampuan bahasa Inggrisnya layak dipertanyakan.

Inilah 9 anggota Komisi III DPR yang bertolak ke Inggris

Kemampuan Bahasa

Menakar hal kemampuan berbahasa Inggris bagi anggota DPR, seharusnya partai politik peserta pemilu sebelum mencantumkan caleg-calegnya untuk posisi DPR RI, dilakukan tes kemampuan bahasa Inggris (minimal) sebagai langkah awal jikalau harus bepergian ke luar negeri. Parpol yang mencalegkan orang-orangnya untuk “bertarung” di Senayan sebaiknya benar-benar terpilih secara kualitas keilmuan dan pengetahuan kebahasaan. Jikalau tidak maka setiap kali kunjungan kerja ke luar negeri maka setiap itu pula tidak menghasilkan apa-apa. Pada saat pembahasan atas target kunker, mereka hanya diam. Mendengar tetapi tak paham. Setelah itu cukup menyerahkan kepada penerjemah atau nanti di Jakarta draft pembahasan itu diserahkan kepada orang lain untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.

Sebuah pengalaman kecil ketika di kota saya (Cirebon) sebuah parpol baru waktu itu melakukan test kemampuan berbahasa Inggris kepada caleg yang hendak didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum sebagai calon wakil sebuah partai di DPRD Kota Cirebon. Ketika itu sang calon diberikan waktu 5 menit menyampaikan visi misinya jikalau terpilih menjadi anggota legislatif. Penyampaian itu menggunakan bahasa Inggris. Tentu saja banyak yang terpana dan gagap lantaran tak terbiasa menggunakan bahasa Inggris dalam keseharian. Terlebih lagi ujaran bahwa bahasa menunjukkan bangsa dan oleh sebab itu cukuplah hanya mampu berbahasa Indonesia demi menunjukkan identitas keindonesiaan. Maka dari 9 caleg yang menyampaikan visi misi dalam bahasa Inggris ternyata hanya 2 (dua) orang yang dinilai penguji cukup bagus bahasa Inggrisnya. Penguji didatangkan dari pengajar kursus bahasa Inggris lantas member poin dan beberapa catatan yang harus dipelajari oleh sang calon.

Jika saja di Cirebon telah berlangsung mekanisme yang bagus dalam hal uji kemampuan bahasa Inggris bagi caleg yang akan bertarung dalam pemilu, pertanyaannya adalah: apakah parpol di tingkat pusat melakukan hal yang sama? Bila tidak berarti belum ada kebijakan para ketua umum partai politik untuk meningkatkan kualitas calegnya. Kedua, anggapan bahwa menjadi calon anggota legislatif hanya ditentukan oleh kekuatan uang/ modal terus menjadi stigma. Dan masyarakat yang dipandang layak menjadi caleg dengan sendirinya mundur karena ketiadaan uang.

Sejatinya anggota DPR semuanya memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang baik. Mereka pun siap mempresentasikan hasil kunjungannya ke negeri mana pun dalam bahasa Inggris. Ini jika kunjungan kerja belum/ tidak dihapus dari susunan kegiatan anggota DPR yang diusulkan oleh Sekretariat Jendral DPR RI.

Namun lebih baik kunker ke luar negeri ditiadakan saja dan diubah dengan teleconference sebagaimana disampaikan Ahli hukum tata negara Dr Bayu Dwi Anggono. *** 

(rr/DK)