news.okezone.com

KEBAKARAN di Pasar Sumber Kabupaten Cirebon, Senin (24/8) siang menghabiskan seluruh kios dan seisinya. Tidak ada barang milik pedagang yang tersisa. Bahkan api mengejar masyarakat yang hendak memadamkan api. Biasanya pada setiap kali terjadi kebakaran di pasar tradisional Indonesia masih ada warga yang menemukan (misalnya) sekarung beras atau komoditi lain. Akan tetapi kebakaran di Pasar Sumber akhir Agustus yang baru lalu meluluhlantakkan pasar dan seisinya, hanya dalam waktu 5 (lima) menit.

Kerugian yang diderita pedagang berjumlah ratusan miliar rupiah. Jadi penjelasan Kepala Dinas Industri dan Perdagangan Kabupaten Cirebon yang mengatakan bahwa jumlah kerugian pedagang ditaksir senilai Rp 1 miliar adalah tidak beralasan.

Kasus kebakaran pasar tradisional yang kerap terjadi di sejumlah kota Indonesia biasanya menjadi pertanda tidak lama setelah itu akan dibangun pasar baru. Ironinya pasar baru tersebut bukan lagi berupa pasar tradisional, melainkan super market. Setelah super market terbangun di lokasi bekas kebakaran itu maka pedagang lama (di pasar tradisional) tidak lagi mampu berjualan di pasar baru tersebut. Harga sewa kios yang mahal menjadi kendala kembalinya para pedagang lama ke tempat semula. Yang patut ditanyakan kasus kebakaran pasar di Indonesia tidak pernah ada tuntutan hokum secara pasti karena tidak pernah diusut secara signifikan.

Menurut penuturan pedagang yang kiosnya terbakar habis itu, pasar tradisonal merupakan satu-satunya tempat transaksi masyarakat yang tidak mengenal status sosial. Jika ingin mengetahui karakter orang lain maka masuklah ke pasar serta tidak ada niat untuk mencekalai orang lain. Orang pergi ke pasar hanya untuk membeli dan berjualan ~kecuali copet. Sedangkan di kantor niat orang-orang yang datang ke kantor tersebut beragam dan tidak semuanya berniat baik.

Tak ada yang tersisa sedikitpun, Sumber: daerah.sindonews.com

Pasar yang dibangun sejak zaman Belanda itu konon pernah dibakar bersamaan dengan Perang Candu di Cina. Saat itu di lokasi Pasar Sumber terjadi perkelahian sengit antara etnis Tionghoa dengan warga masyarakat sehingga pasar dibakar. Lalu dibangun lagi dan terakhir diperbarui pada tahun 2000. Dengan kata lain kebakaran pasar Sumber menjadi pertanyaan lantaran kontrak penggunaan pasar biasanya minimal 20 tahun, namun baru 15 tahun terjadi kebakaran yang menghabiskan pasar dan seisinya. Ada kecurigaan kebakaran tersebut direncanakan bagi terbangunnya pasar baru yang berubah bentuk dan menjadi super market. Dengan demikian para pedagang lama yang sudah ditimpa musibah itu tidak mampu lagi menyewa kios yang berada di lokasi bekas pasar lama yang terbakar/ dibakar.

Gerakan Pemuda (GP) Ansor di bawah NU melakukan pendampingan kepada para pedagang yang tertimpa musibah. Bahkan mendirikan Lembaga Pendampingan dan Bantuan Hukum (LPBH) guna memediasi dengan para pengambil keputusan. Pendampingan dilakukan dengan target para pedagang memperoleh kompensasi dan bias kembali berjualan di lokasi pasar darurat yang disediakan pemda. Kompensasi diperlukan supaya para pedagang lama bias berniaga di lokasi pasar darurat karena modal dan komoditi jualnya sudah habis terbakar. Pendampingan pun menjadi penting untuk memastikan bahwa di lokasi bekas pasar itu BUKAN dibangun super market akan tetapi pasar tradisional dengan memprioritaskan pedagang lama untuk menghuni kios-kios di pasar baru kelak.

Bukan Kebetulan

Hilangnya bangunan lama lantas berubah wujud menjadi bangun baru dengan fungsi yang lain sudah sering terjadi di Indonesia. Umumnya bangunan lama dibakar lantaran (misalnya) warga masyarakat tidak mau pindah dari lokasi tersebut. Jakarta menjadi contoh bagaimana kekuasaan menindas orang kecil. Kebakaran di Penjaringan Jakarta Utara misalnya merupakan contoh untuk mengusir warga masyarakat, dan tak lama kemudian di lokasi bekas kebakaran itu berdiri bangunan baru yang dialokasikan bagi kaum borjuis dan pemilik finansial. Sementara warga lama hanya ditawarkan untuk kembali ke kampung atau pindah ke daerah lain (hinderland) di pinggiran Jabodetabek.

Ketika pemerintah hendak menunjukkan kuasanya, komplek TNI di Makassar yang dihuni ratusan keluarga  juga dibakar. Kabarnya para penghuni yang melawan saat petugas datang untuk mengusir paksa dan mengosongkan rumah dinas tersebut, petugas pun melakukan tindakan kekerasan. Itu sekadar lintasan ingatan yang menandai kuasa orang kuat dengan bekal selembar peraturan/ undang-undang pertanahan untuk menggunakan “aset negara” sesuai kehendak sang penguasa.

Musibah pada umumnya berupa gunung meletus, banjir, dan gempa. Sedangkan kebakaran (yang kerap menyalahkan akibat korsleting aliran listrik arus pedek)   masih belum dapat diyakini sebagai kejadian yang bersifat kebetulan. Kebakaran lebih dimaknai sebagai kesengajaan alias dibakar oleh oknum tertentu yang diperintah oleh seseorang yang memiliki kedudukan. Boleh jadi orang tersebut pun memiliki kapital yang kuat sehingga ia bisa menyuruh orang lain melakukan apa pun. Tak terkecuali perintahnya merugikan sejumlah orang.

Kebarakaran di Pasar Sumber mengingatkan bagaimana transaksi ekonomi yang berlangsung serta menggerakkan dinamika sosial ekonomi masyarakat sekitar menjadi demikian paradoks dengan kenyataan lemahnya pertumbuhan ekonomi makro Indonesia. Kebarakaran itu pun menjadi pertanda yang hampir sama di pasar-pasar tradisional. Cirebon misalnya. Sebelum Pasar Jagasatru dibangun terjadi kebakaran, begitu pula Pasar Pagi, dan Pasar Gunungsari.

Tidak dapat disangkal bahwa setelah di lokasi bekas kebakaran pasar lantas berdiri pasar dengan pola transaksi yang berbeda. Pasar tradisional adalah tempat transaksi yang pedagang dan pembeli dengan ciri khasnya yakni tawar menawar. Sedangkan di pasar “modern” pembeli tidak bisa menawar barang yang hendak dibelinya. Harga telah dipatok dan diterakan dengan jelas pada bagian tertentu di produk jual tersebut.

Hilangnya proses tawar menawar dapat disebut sebagai hilangnya ciri keakraban antara pedagang dengan pembeli. Di samping itu, pasar sebagai tempat terbuka menjanjikan perputaran ekonomi masyarakat yang dapat menopang keberlangsungan ekonomi di tempat tersebut. Apa jadinya jikalau pasar tradisional semuanya harus berganti rupa menjadi super market? Tidak ada lagi canda bebas pada saat transaksi, tidak ada lagi suasana khas Indonesia yang ditengarai oleh keberadaan pasar tradisional. Justru yang patut diacungi jempol adalah Pemda Kota Semarang yang membatalkan rencana rehabilitasi Pasar Tradisional Johar.

Pertanyaannya kemudian, adakah solusi terbaik yang tidak merugikan para pedagang pasar yang kios beserta barang niaganya habis dilalap si jago merah pada Senin 24 Agustus 2015 yang baru lalu di Sumber Kabupaten Cirebon?***

(rr/DK)