www.bola.net

SETELAH kritik diwaspadai sebagai penghinaan oleh pemerintahan Jokowi, masyarakat justru semakin kencang mengkritik. Melalui media sosial ketidakpercayaan terhadap kepemimpinan Jokowi terus mengalir. Bahkan ada yang menulis, "Pak Karno dan Pak Harto saja boleh dikritik, kenapa Pak Joko tidak boleh dikritik?".

Ingat Pak Joko ingat senyum cengar-cengirnya yang khas Jawa dan kebapakan. Namun kalau ingat pernyataannya bahwa ekonomi Indonesia masih sehat, masih bisa sehat pada semester kedua kepemimpinannya ~tak urung kritik pun menyebar lagi. Mungkin lebih deras dari sebelum ia menyampaikan optimisme ekonomi itu. 

Jokowi yakin ekonomi membaik di akhir tahum 2015 menjadi headline media massa awal bulan Agustus ini. Katanya ketika pasar modal Indonesia dibuka kembali di Bursa Efek Indonesia, kemarin saya hitung-hitung setiap kementerian, berapa yang bisa diserap tahun ini. Kami tanya satu persatu, akhirnya didapat data bahwa serapan anggaran sampai akhir tahun bisa mencapai 93%.

Akan tetapi Rabu 12 Agustus 2015 kurs dolar AS terhadap rupiah mencapai Rp13.895 dan tersiar kabar pemerintah RI mau berhutang lagi sebesar Rp2,5 trilyun. Belum lama tersiar kabar bahwa Indonesia menempati posisi nomor lima pada urutan negara yang paling banyak hutangnya. 

Ketika masyarakat dipusingkan oleh ketidakpastian ekonomi, Jokowi menghibur dengan buaian mimpinya. Kata dia bursa saham memang saat ini sedang lemah, namun pelemahan ini juga terjadi di negara maju dan berkembang. Hal itu menimbulkan konsekuensi melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia.

"Kita jangan merasa hanya Indonesia paling lambat. Penegasan ini perlu karena media massa sering mengangkat ekonomi kita lemah. Iya itu benar tapi pertumbuhan ekonomi negara lain juga melambat dan pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lima besar di dunia", kata Pak Joko.

TETANGGA saya pedagang sapu keliling yang hampir tiap hari keluar masuk lorong kota menjajakan komoditinya. Ia kaget saat diberi tahu bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia masuk kategori lima besar dengan fakta negara penghutang nomor lima sedunia. Yang diketahui pedagang sapu keliling itu tidak lain adalah susahnya pihak sekolah anak-anaknya memaklumi kondisi ekonominya. Buku LKS (Lembar Kerja Siswa) yang harus dibeli serentak, uang pendafaran ulang yang wajib dibayar untuk mengikuti pelajaran pada semester baru, dan nilainya mencapai ratusan ribu rupiah.

Ketika beberapa tagihan pihak sekolah datang ketika itu pula kebetulan transaksi jual beli sapu tengah sepi. Tentu saja ia kalang kabut mengumpulkan sejumlah uang. Pihak sekolah sama sekali tidak memberi keringanan pembayaran secara cicilan misalnya. Belum lagi lonjakan harga kebutuhan sehari-hari yang terus naik.

Mengingat itu semua sang pedagang sapu tidak percaya sama sekali kepada Pak Joko bahwa ekonomi Indonesia dikategorikan membaik. Terlebih jika dibandingkan penurunannya yang 0,3% disebut tidak membahayakan ekonomi negara.

Berangkat dari "pelarangan" kritik yang dianggap nyinyir dan cenderung menghina Pak Joko sebenarnya tersirat keinginan pemerintahan di bawah kepemimpinan Pak Joko untuk menggiring masyarakat pada suasana single mayority, mayoritas tunggal, yang sepakat pada itikad pemerintah untuk memperbaiki tata kelola ekonomi negara. Artinya apabila ada suara nyinyir (kritik yang dinilai destruktif) maka sang kritikus mesti berhadapan dengan pasal-pasal dan ketentuan yang sangat mungkin mempidanakannya.

Padahal sebelumnya Pak Joko dengan gaya kebapakannya itu sama sekali tidak bergeming dengan kritik model apa pun. Entah perintah siapa atau atas dasar apa Pak Joko berubah. Yang jelas di mata pedagang sapu keliling tetangga saya, Pak Joko sudah tidak mampu lagi membuktikan kebenaran ucapan-ucapannya manakala sebelum menjadi Presiden RI.

PEDAGANG sapu keliling dan Pak Joko sama-sama sebagai lelaki yang punya tanggung jawab. Sama-sama punya anak istri dan sama-sama tinggal di Jawa. Bedanya, pedagang sapu kerap kelimpungan diterpa tingginya beban hidup dan kebutuhan ekonomi; sementara Pak Joko masih bisa membuka hutang dalam jumlah besar yang pembayarannya  dibebankan  kepada pedagang sapu, pedagang sapi, dan pedagang lainnya.

Perbedaan "tipis" itulah yang hendak disampaikan dalam tulisan pendek ini, bahwa Pak Joko terbukti belum bisa memperbaiki kesejahteraan ekonomi pedagang sapu keliling tetangga saya.***

(rr/DK)