Ilustrasi/ nasional.kompas.com

Keputusan Presiden Jokowi yang didukung Jusuf Kalla menghidupkan kembali pasal penghinaan pada kepala negara merupakan kemunduran dalam demokrasi.

Dari 786 pasal RUU KUHP yang disodorkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, terselip pasal-pasal karet tersebut, padahal MK pada 6 Desember 2006 telah mencabutnya dengan mengabulkan gugatan uji materi atas pasal penghinaan itu.

Sikap Jokowi ini patut disayangkan karena berpotensi berangus kebebasan berekspresi yang diatur dalam UUD Pasal 28, 28E (2), & 28E (3). Protes dan pendapat sebagai kritik bisa ditafsirkan sebagai penghinaan pada penguasa.

Pemerintah, sebagai pihak yang menyiapkan naskah, harus mengkaji benar-benar pasal demi pasal. Dengan demikian, revisi atas KUHP yang merupakan warisan kolonial itu bisa mencerminkan hukum yang melindungi hak-hak warga, kebebasan sipil, & HAM.

Pembaruan hukum pidana harus mengarah pada hukum pidana modern yang mampu fasilitasi & pastikan Indonesia sebagai negara demokratis. Demikian kutipan tajuk tempo.

(rr)