www.edisinews.com

Think like Jack. Berpikirlah seperti Jack. Demikian pesan Kapten Jack Sparrow, sang bajak laut Karibia dalam film “Pirates of the Caribbean”. Film yang sekuel kelimanya sedang dipersiapkan ini, memang menceritakan kisah petualangan para bajak laut, dengan tokoh utamanya Kapten Jack Sparrow yang diperankan dengan sangat baik oleh Johny Depp. Dalam setiap kisah petualangannya, Jack Sparrow hampir selalu berada bersama tokoh-tokoh bajak laut lain yang juga memiliki kepentingan sendiri. Hanya sedikit di antara anak buahnya yang benar-benar setia dan dapat dipercaya oleh sang kapten.

Ada begitu banyak intrik dimainkan oleh para tokoh bajak laut, ketika mereka bersama-sama berada dalam sebuah kapal bernama Black Pearl, milik Jack Sparrow. Pengkhianatan, penipuan dan saling memanfaatkan dilakukan dengan sangat baik tetapi juga amat tersamar, sehingga meski mereka saling kenal tetapi mereka tidak pernah tahu persis siapa sedang menipu siapa, atau siapa yang sedang dimanfaatkan oleh dua atau tiga tokoh lain. Tidak heran bahwa akhir dari setiap kisah bisa sangat mengejutkan, entah bagi sang tokoh sendiri maupun bagi penonton.

Rasionalitas instrumental terlihat begitu nyata dipraktikkan oleh masing-masing tokoh dalam film ini. Kehadiran yang lain dianggap tidak lebih dari sekedar alat atau sarana untuk mencapai tujuan-tujuan pribadi setiap tokoh. Tidak ada tujuan bersama yang benar-benar diperjuangkan, sebab masing-masing tokoh berjuang demi kepentingannya dalam sebuah “kebersamaan.” Komunikasi yang terjalin pun bukan komunikasi yang dibangun di atas dasar klaim-klaim komunikasi yang benar seperti gagasan Jurgen Habermas. Artinya, hampir tidak ditemukan adanya rasionalitas komunikatif dalam kisah-kisah petualangan Kapten Jack Sparrow, sang bajak laut dari Karibia.

Habermas mengungkapkan empat klaim kesahihan yang terkandung dalam bahasa yang kemudian menjadi klaim kesahihan sebuah argumen dalam berkomunikasi atau berdiskursus. Keempat klaim itu: a) kejelasan, artinya orang mesti mengungkapkan dengan tepat apa yang ia maksudkan, b) benar, orang mesti mampu mengungkapkan apa yang ingin diungkapkan. c)  jujur, tidak adanya kebohongan. d) tepat, sesuai dengan norma-norma yang diandaikan bersama. Sebuah komunikasi yang baik dalam diskursus baru bisa dicapai kalau masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya mampu memenuhi tuntutan klaim-klain di atas.

Terlepas dari klaim kesahihan komunikasi yang benar di ruang publik, salah satu keunikan sang kapten Jack Sparrow adalah kebiasaannya berpikir di luar dugaan atau sering diistilahkan think out of the box, berpikir di luar kebiasaan atau melampaui situasi dan perkiraan orang lain. Kebiasaan berpikirnya inilah yang memberi kejutan sekaligus harapan bahwa kebaikan selalu bisa menemukan jalan untuk keluar sebagai pemenang dalam setiap petarungan melawan kejahatan. Pun dalam diri setiap orang jahat, masih tersisa ruang-ruang kebaikan yang mungkin tidak disadari keberadaannya, tetapi dapat muncul pada saat-saat yang tidak terduga. 

Negara Bajak Laut

Kisah dalam film “Pirates of the Caribbean” adalah sebuah contoh situasi yang akan terjadi ketika para bajak laut berkumpul untuk memperjuangkan sebuah tujuan yang tidak pernah benar-benar menjadi tujuan bersama. Di sana, di atas kapal bernama Black Pearl, yang ada hanya kumpulan segelintir kecil elit yang sedang memperjuangkan kepentingan masing-maing dengan mempekerjakan begitu banyak awak kapal yang sudah cukup senang ketika dijanjikan harta jarahan berlimpah ketika kelak mereka melakukan tindakan pembajakan di lautan.

Apa yang terjadi setelah setahun Jokowi terpilih sebagai presiden, dan sembilan bulan kabinet kerjanya terbentuk dan bekerja, beberapa kejadian seakan memberi wawasan, jangan sampai negara ini sedang atau telah diubah menjadi seperti kapal Black Pearl milik Kapten Jack Sparrow. Beberapa kesalahan yang dilakukan para pembantu presiden, oleh sebagian kalangan terutama para pengamat dilihat sebagai upaya terselubung yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan wibawa presiden Joko Widodo. Sebut saja kekeliruan presiden ketika menandatangani Keppres uang muka mobil pejabat, kesalahan Jokowi menyebut tempat lahir Bung Karno, Jaminan Hari Tua, hingga kesalahan penulisan kepanjangan akronim Badan Intelijen Negara (BIN) menjadi Badan Intelijen Nasional dalam undangan yang disebar untuk pelantikan kepala BIN. Belum lagi bila harus menyebut konflik dua institusi penegak hukum, KPK dan Polri, hingga kasus terakhir yang menimpa dua komisioner Komisis Yudisial (KY).

Saling memanfaatkan dan saling mengkhianati sering dianggap sebagai karakter dasar yang mesti dimiliki seorang bajak laut. Bila karakter yang sama dilekatkan pada para politisi dan segelintir elit yang ada dalam lingkaran kekuasaan di negara kita saat ini, maka persoalannya ialah kita tidak pernah tahu dengan pasti siapa sedang memanfaatkan siapa, atau kepentingan siapa yang sedang diperjuangkan saat ini.

Namun, itulah realita politik. Negara memang dapat dipikirkan sebagai sebuah kontrak sosial di mana kepentingan dari masing-masing kelompok dikompromikan, tetapi tetap akan muncul intrik-intrik demi memenangkan terlebih dahulu satu dua kepentingan dari kelompok tertentu. Hanya agak sulit untuk mengidentifikasi kelompok-kelompok yang sedang saling memanfaatkan ketika semuanya bertindak atas nama negara dan kepentingan rakyat. Dibutuhkan lebih dari sekedar keberanian untuk berpikir dan bertindak di luar kebiasaan agar dapat melampaui situasi yang tidak pasti dan selalu berubah dengan cepat.

Berkali-kali presiden Joko Widodo menunjukkan kemampuan berpikir dan bertindak out of the box yang terbukti membawanya menduduki kursi nomor satu di republik ini. Ia bahkan mampu keluar dari tekanan koalisi oposisi di parlemen yang pada awalnya dikhawatirkan akan menjegal langkah-langkahnya. Ia bertemu dengan Prabowo dan Aburizal Bakrie, dua sosok yang diyakini punya pengaruh besar dalam tubuh Koalisi Merah Putih.

Seiring berjalannya waktu, tantangan sesungguhnya justru muncul dari dalam kabinet kerja yang dibentuk presiden. Kesalahan-kesalahan sering terjadi, membuat publik menaruh perhatian lebih kepada presiden dan berharap presiden akan melakukan perubahan. Barangkali ada kecemasan bahwa bila situasi dibiarkan seperti ini terus maka akan menurunkan wibawa presiden. Kecemasan ini cukup beralasan mengingat ekspektasi publik yang begitu tinggi terhadap Jokowi pada awal terpilihnya sebagai presiden belum separuhnya terpenuhi. Di pundaknya, Jokowi memikul beban yang sudah cukup berat sejak terpilih sebagai presiden. Beban itu akan makin berat dengan makin serinya kesalahan-kesalahan kecil dilakukan sementara hal-hal besar yang berdampak positif bagi publik belum mampu diwujudkan.

Pada satu sisi, publik sudah semakin berani dan terang-terangan mengungkapkan kekecewaan mereka, sementara pada sisi lain para pembantu  presiden terksesan tidak kompak dan melakukan manuver yang entah untuk kepentingan siapa. Apalagi dalam beberapa situasi presiden mengaku tidak mengetahui apa yang sedang terjadi. Ini berarti presiden bukan pengendali situasi sepenuhnya. Sangat mungkin ada sosok lain yang juga mengendalikan situasi dan bertindak di bawah bayang-bayang presiden untuk kepentingan tertentu. 

Out Of The Box

Dalam kondisi ini, yang bisa dilakukan presiden adalah kembali menunjukkan kepiawaiannya dalam berpikir dan bertindak out of the box. Presiden mesti mampu melampaui situasi yang ada untuk bisa memulihkan kewibawannya juga kepercayaan publik. Presiden bisa mengorbankan satu atau dua orang dalam kabinetnya yang dianggap tidak cukup maksimal bekerja, atau yang terlanjur jauh melangkah sendirian sampai melakukan hal-hal yang justru menjatuhkan wibawa presiden.

Hitung-hitung, waktu kerja kabinet juga masih terlalu singkat, sehingga masih amat terbuka kesempaan bagi presiden untuk menata ulang perangkat kerja di bawahnya. Pembenahan-pembenahan mendasar perlu dilakukan. Meski sudah santer beredar kabar bahwa akan ada reshuffle tetapi sampai saat ini belum ada keputusan resmi tentang ada atau tidaknya reshuffle kabinet.

Kalaupun kelak presiden melakukan reshuffle, maka tentu yang diharapkan ialah penempatan figur-figur yang tepat pada posisi yang tepat, agar kesalahan yang sama tidak perlu terulang lagi. Kemampuan presiden Jokowi untuk keluar dari situasi sekarang dengan tetap berpegang pada trisakti dan nawacita sangat dinanti-nantikan oleh publik. Sebab jika tidak, maka Jokowi seolah membiarkan kapal besar ini tetap dihuni para pembajak berbahaya yang tidak diketahui kapan mereka beraksi dan untuk kepentingan siapa aksi itu mereka lakukan. Saatnya presiden berpikir seperti Jack Sparrow! ***

(rr/AF)